Farah’s TOP 11 Reads for 2021

Yuk intip daftar 11 (+2) buku berkesan yang aku baca pada tahun 2021! 📚

Setelah sempat tergeser oleh nonfiksi dalam daftar terdahulu, buku fiksi kembali mengambil tempat dalam daftar Top 11 Reads 2021. Nonfiksi tidak sepenuhnya lenyap tentu saja. Memoar dan buku kumpulan esai sepertinya dengan setia masih akan menjadi perwakilan untuk buku nonfiksi dalam daftar tahunan ini, setidaknya untuk beberapa tahun mendatang.

2021 juga menandai kembalinya bacaan fiksi yang sudah menjadi makanan pokok-ku sebagai pembaca selama beberapa tahun: fiksi bittersweet dan agak mellow. Era buku fiksi lucu & heart-warming yang sempat mampir pada tahun 2020 akhirnya tutup buku.

Kamu juga bisa mengeksplor daftar Top 11 Reads-ku selama empat tahun terakhir (2020 | 2019 | 2018 | 2017), sebelum membaca daftar terbaru di bawah. Berikut 11 buku berkesan yang aku baca tahun lalu diurut berdasarkan kronologi waktu baca alih-alih ranking:

1. Kitchen (Banana Yoshimoto, ENG Translator: Megan Bachus)

Melalui 2 novella dalam Kitchen, Banana Yoshimoto mengeksplor bagaimana manusia berdamai dengan kenyataan tak terhindarkan dalam hidup: duka dan kematian. Yoshimoto juga menggali tentang rasa sepi yang muncul bersamaan dengan realita ini. Ekplorasi duka yang dilakukan dalam Kitchen begitu berkesan buatku karena selain mengeksplor duka kehilangan orang tercinta, Yoshimoto juga mengeksplor duka yang muncul dari kehilangan jati diri atau impianmu.

Kalau mencari bacaan singkat, bittersweet, tapi pada akhirnya masih penuh rasa harap, Kitchen bisa menjadi bacaan yang tepat.

Kitchen dalam 2 tulisan lain: Ulasan emosionalku di StoryGraph | Monthly Reading List: Maret 2021

2. Honey Girl (Morgan Rogers)

Novel debut ini bisa jadi bukan bacaan untuk semua orang. Akan tetapi, sebagai pembaca berusia 20-an yang sedang dalam proses menemukan jalan sendiri dalam hidup, Honey Girl adalah bacaan yang begitu relatable. Selain menulis tentang rasa cemas yang datang karena ketidakpastian di awal adulthood, Rogers juga menulis tentang dinamika support system yang penting untuk kita miliki: keluarga & pertemanan. Honey Girls juga tidak malu-malu dalam membahas tantangan yang muncul dalam wujud kesehatan mental.

Cocok untuk yang mencari bacaan coming-of-age dengan protagonis yang sudah menginjak adulthood dan masih berusaha menemukan tempatnya dalam hidup.

Honey Girl dalam 3 tulisan lain: Ulasan panjang blog | Monthly Reading List: Maret 2021 | Ulasan bahasa Inggris di StoryGraph

3. In The Dream House (Carmen Maria Machado)

Selain menjadi buku nonfiksi/memoar pertama dalam daftar, In Dream House juga menjadi buku pertama yang aku baca dalam sekali duduk pada tahun 2021. Dalam memoar menghantui ini, Machado menggunakan beragam literary device atau trope (seperti haunted house atau roadtrip stories) untuk berbagi pengalaman personalnya ketika berada dalam hubungan romantis yang toksik. Bukan sekadar merupakan arsip penting realita & pengalaman manusia, In Dream House juga merupakan eksperimen dalam cara dan gaya penulisan.

Aku akan merekomendasikan memoar In Dream House untuk pembaca yang mencari bacaan eksperimental dengan format unik, yang juga mengeksplor salah satu sisi dalam queer relationship yang belum terlalu banyak digali.

In Dream House dalam 1 tulisan lain: Monthly Reading List: Maret 2021

4. The Beautiful Ones (Silvia Moreno-Garcia)

Tidak hanya berjasa mempertemukanku dengan buku-buku Silvia Federici, booktuber Lou Reading Things juga berjasa dalam mengenalkanku pada buku historical romance yang akhirnya menjadi favorit ini:

 

The Beautiful Ones adalah bacaan yang tepat kalau kamu murni mencari bacaan escapism dramatis yang saking over-the-top-nya mengingatkanmu pada telenovela yang begitu nagih untuk ditonton. Meskipun merasa akhir ceritanya agak anti-klimaks, pengalaman membaca The Beautiful Ones adalah salah satu pengalaman baca paling menyenangkan buatku pada tahun 2021 lalu.

5. The Death of Vivek Oji (Akwaeke Emezi)

 

Satu lagi judul yang begitu berkesan karena pengalaman yang kita lalui bersamanya. Pembaca sudah tahu apa yang akan terjadi pada protagonis cerita, the title says it all. Meskipun begitu, perjalanan yang pembaca telusuri supaya sampai ke titik dimana kematian Vivek Oji terjadi tetap terasa memuaskan. Selain merupakan cerita tentang keluarga, The Death of Vivek Oji juga merupakan cerita tentang pertemanan, tentang cinta dan harapan, serta duka dan pengampunan.

Di pusatnya, cerita Vivek adalah cerita tentang bagaimana orang tua tidak akan pernah benar-benar tahu dengan pasti segala hal tentang buah hatinya.

Aku akan merekomendasikan The Death of Vivek Oji untuk yang suka membaca cerita bittersweet tentang dinamika keluarga. Aku membaca edisi audiobook fenomenal bukunya melalui Scribd.

6. Macondo, Para Raksasa, dan Lain-Lain Hal (Ronny Agustinus)

Buku kumpulan esai ini begitu berjasa dalam mengobarkan semangatku untuk mulai belajar Bahasa Spanyol di paruh akhir 2021. Targetku memang ingin memiliki kemampuan untuk membaca tulisan bahasa Spanyol dengan lancar. Bukan hanya informatif, Macondo, Para Raksasa, dan Lain-Lain Hal juga menawarkan esai yang ramah pembaca awam, tidak peduli kamu berminat pada sastra Amerika Latin atau tidak.

Buku yang cocok sebagai bacaan awal bagi yang tertarik dengan sastra Amerika Latin atau hanya sekadar ingin mendapat perkenalan tentang bagaimana kondisi sosial/budaya Amerika Latin memiliki pengaruh signifikan pada perkembangan sastra di sana.

Macondo, Para Raksasa, dan Lain-Lain Hal dalam 1 tulisan lain: Ulasan panjang di StoryGraph.

7. A Mind Spread Out on the Ground (Alicia Elliott)

Berdampingan dengan In The Dream House, memoar dalam bentuk kumpulan esai ini merupakan 2 memoar paling berkesan yang aku baca di tahun 2021. Aku harus berterima kasih pada The StoryGraph Genre Challenge yang sudah mempertemukan aku dengannya.

Kesehatan mental & kolonialisme merupakan dua tema besar dalam memoar heart breaking ini. Alicia Elliott dengan lihai bercerita tentang pengalamannya tumbuh besar di keluarga biracial (white/native american) & menghubungkan anekdot personal dia dengan 2 tema besar tersebut. Bagaimana kolonialisme & opresi terhadap masyarakat indigenous (secara spesifik native american) punya andil besar terhadap masalah kesehatan mental yang berkembang secara generasional dalam komunitas itu.

Sebuah bacaan menantang dan begitu menguras emosi, tapi penting dan worth it untuk dibaca. Aku sangat merekomendasikan A Mind Spread Out on the Ground untuk para penggemar memoar yang tertarik dengan ekplorasi tentang kesehatan mental. Edisi audiobook yang sangat memorable juga bisa kamu dengar di Scribd.

8. In The Country (Mia Alvar)

Beberapa minggu setelah sadar kalau aku belum menemukan kumcer favorit karya penulis luar negeri (kecuali Poe), aku langsung dipertemukan dengan In The Country (terima kasih kepada fitur rekomendasi StoryGraph & ajang Big Bad Wolf online). Tanpa perlu membaca banyak, buku debut Mia Alvar ini langsung meninggalkan kesan dalam setelah aku membaca 2 cerpen pembukanya.

Dalam In The Country, Mia Alvar mengeksplor beragam pengalaman Filipino diaspora dengan latar cerita yang terbentang dari New York sampai Arab Saudi. Terlepas dari segala perbedaan & hal baru yang aku baca dalam cerpen-cerpennya, ada aspek cerita yang (secara tidak terduga) begitu familiar untuk sesama penghuni negara di bawah naungan ASEAN. Tidak mengherankan kalau bukunya begitu mengena.

Aku akan merekomendasikan In The Country kalau kamu mencari buku kumpulan cerpen panjang dengan gaya penulisan yang begitu mengalir dan sulit untuk ditinggalkan.

9. Dress Codes: How the Laws of Fashion Made History (Richard Thompson Ford)

Setelah kesulitan menemukan nonfiksi tentang sejarah dengan gaya bahasa yang tidak “kering”, Dress Codes muncul dan membuktikan kalau buku nonfiksi yang ditulis dengan gaya bahasa menyenangkan itu ada! Dalam buku yang hampir 500 halaman ini, Ford melacak bagaimana baju & cara berpakaian memegang peran sentral dalam mengukuhkan kedudukan sosial suatu kelompok/keluarga dalam masyarakat.

Selain merekomendasikan Dress Codes untuk penggemar bacaan sejarah, Dress Codes juga cocok kalau kamu tertarik mencoba bacaan bertema hukum yang terbilang ringan.

Dress Codes dalam 1 tulisan lain: Monthly Reading List November 2021

10. Hamnet (Maggie O’Farrell)

Mengikuti jejak Maybe You Should Talk to Someone dari tahun lalu, Hamnet menjadi bacaan penghujung tahun yang langsung melejit ke dalam daftar Top 11-ku. Meskipun sering melirik buku-buku literary fiction, genre ini ternyata tidak terlalu sering aku jamah tahun lalu.

Dalam novel bersampul cantik ini, Maggie O’Farrell membawa kita untuk mengikuti narasi fiksional tentang sejarah awal keluarga William Shakespeare. Alih-alih fokus pada THE Shakespeare sendiri, Hamnet fokus pada figur ibu dalam keluarga kecil ini, Agnes (juga dikenal sebagai Anne Hathaway). Satu lagi cerita tentang keluarga, rasa kehilangan, dan duka.

Aku akan merekomendasikan Hamnet untuk penggemar cerita tentang dinamika keluarga dengan gaya penulisan indah & menghanyutkan.

Ulasan Hamnet selengkap dariku bisa dibaca di StoryGraph.

11. Kereta 4.50 Dari Paddington (Agatha Christie, Penerjemah IND: Lily Wibisono)

Maraton baca buku Agatha Christie-ku selama 1 tahun terakhir boleh dikatakan datar-datar saja. Tidak peduli tentang Poirot, Marple, Parker Payne, atau Mr. Shatterwhite, aku tidak kunjung menemukan judul yang memorable. Sampai aku menjadikan Kereta 4.50 Dari Paddington sebagai bacaan penutup 2021… Aku akhirnya menemukan buku Miss Marple favorit!

Bacaan satu ini begitu berkesan karena walaupun merupakan kasus Miss Marple, di akhir hari Kereta 4.50 Dari Paddington adalah buku dengan ensemble cast  yang saling bahu-membahu untuk memecahkan misteri dengan berbagai twist asyik yang tidak aku sangka-sangka kemunculannya.

Mengingat ini adalah satu-satunya buku Agatha Christie yang aku tamatkan dalam kurun waktu satu hari saking penasarannya, Kereta 4.50 Dari Paddington pantas masuk ke dalam daftar Top 11 Reads 2021.

Honorable Mention

1. Twas the Nightshift Before Christmas (Adam Kay)

Setelah memoar debut Adam Kay masuk ke dalam daftar Top 11 Reads tahun 2019, aku tidak terlalu kaget ketika buku singkat edisi christmas special ini muncul dalam daftar Top 11 Reads lagi. Catatan harian dari masa lalu Kay sebagai dokter OBYN di NHS selalu berhasil menghiburku berkat ke-absurd-an anekdotnya & kelihaian Kay dalam menuliskan cerita-cerita ini dengan sangat on-point dan lucu.

Aku sangat merekomendasikan tulisan-tulisan Adam Kay untuk yang suka dengan bacaan yang berhasil memadukan aspek lucu dan miris kehidupan dengan sangat baik.

Baca juga: Ulasan panjangku tentang memoar Adam Kay, This Is Going to Hurt

2. The Majesties (Tiffany Tsao)

Aku tidak heran kalau pembaca thriller yang terbiasa dengan bacaan bertensi tinggi akan kaget ketika membaca The Majesties. Alih-alih thriller bertensi tinggi penuh twist, buku ini adalah eksplorasi lambat tentang kejatuhan sebuah keluarga yang ruthless kepada siapa saja (bahkan anggota mereka sendiri), atas nama survival.

Bacaan yang cocok untuk yang mencari bacaan thriller beda yang fokusnya tidak lepas dari dinamika keluarga. Aku juga sangat merekomendasikan edisi audiobook The Majesties (dinarasikan oleh Nancy Wu). Edisi ini begitu immersive, aku sampai rela begadang supaya bisa mendengar kisah Gwendolyn dan Estella sampai akhir.

Ulasan singkatku tentang The Majesties juga bisa dibaca di StoryGraph.

Terima kasih sudah membaca tulisan ini sampai akhir!
Aku juga penasaran ingin mendengar bacaan favoritmu dari tahun 2021 di kolom komentar 😃⏬
>>>

Terhibur/terbantu dengan tulisan ini? Traktir Farah melalui Karyakarsa

Farah melacak bacaannya di situs buku alternatif  The StoryGraph

Ingin tanya-tanya anonim? Kirim saja pertanyaanmu lewat Curious Cat

Tentang Nonfiction November 2021 dan 8 Buku yang Aku Baca

Tentang partisipasi tidak sengaja dalam Nonfiction November


Mulai aktif kembali di ranah perbukuan internet memperkenalkanku pada istilah baru tahun ini, Nonfiction November. Ternyata beberapa pembaca memilih bulan November untuk fokus membaca buku nonfiksi saja. Aku yang sadar dengan keterbatasan diri memutuskan untuk tidak berpartisipasi dalam tantangan baca satu ini. Sebagai tipe pembaca yang kepalanya mudah mumet, buku nonfiksi buatku harus dibaca berdampingan dengan buku fiksi. Buku nonfiksi yang cenderung aku baca juga rata-rata bertema berat. Jadi, keputusan untuk tidak ikut sebenarnya cukup bijak.

Terlepas dari kenyataan ini, alam bawah sadarku sepertinya tetap ingin menaklukkan Nonfiction November. Meskipun tidak sedrastis hanya membaca nonfiksi selama satu bulan, pada bulan November 2021 aku membaca lebih banyak nonfiksi daripada biasanya.


Rasio nonfiksi & fiksi yang biasanya 25:75 berubah jadi 38:63!

Berikut statistik & daftar bacaanku untuk bulan November 2021:

Statistik Bacaan November 2021

Bulan lalu aku berhasil menamatkan 8 buku. Satu buku nonfiksi sudah aku baca sejak Oktober. Satu nonfiksi lain masuk dalam daftar bacaan favoritku tahun lalu. Mood untuk baca ulang buku favorit memang mendadak menghampiri. Kalau bicara mood bacaan sendiri, mood informatif akhirnya berada di puncak atas nama spirit Nonfiction November yang tanpa sadar aku ikuti:


November ternyata juga merupakan bulan teratas dalam hal jumlah halaman yang aku baca (2.024 halaman) pada tahun 2021. Di tempat kedua ada bulan Maret dengan 1.923 halaman. Seperti yang bisa dilihat dari grafik di bawah, sebagian besar halaman aku baca di paruh awal November. Aku memang menutup bulan dengan membaca audiobook.

Dari segi format, bacaanku tersebar merata dalam bentuk print, digital, dan audio. Belakangan aku memang coba-coba menggilir bacaan dalam 3 format berbeda supaya tidak bosan. Aku sangat puas ketika sadar kalau 3 dari 4 edisi print/cetak adalah campuran TBR fisik lama & baru. Kalau tidak ada halangan, tahun depan aku memang ingin lebih ambis lagi dalam hal mengurangi TBR secara drastis. Walau sudah puas dengan kondisi TBR fisik, aku masih harus coba-coba lagi dengan TBR digital. Ketika tulisan ini ditulis TBR-ku di Scribd sudah sampai 70-an buku 😬

Daftar Bacaan November 2021

Neraka Dunia (Nur Sutan Iskandar)

Aku membuka November dengan bacaan tidak terduga. Seperti yang sudah sempat aku ungkapkan dalam kiriman Instagram dari awal Desember, aku sudah punya ekspektasi khusus untuk buku yang terbilang tipis ini. Tidak hanya memenuhi ekspektasi spesifik itu, cerita dalam Neraka Dunia juga menawarkan perspektif yang belum aku pertimbangkan perihal kondisi sosial budaya di tahun 1930-an. Sebagai pembaca dari 2021, aku terpana dengan betapa drastisnya dunia berubah & bagaimana beberapa hal tetap sama saja. Satu hal yang menurutku tidak berubah baik dulu maupun sekarang adalah ini: komunikasi kesehatan yang jelas dan transparan adalah hal krusial yang harus diperhatikan.

Invisible Cities (Italo Calvino)

Berpartisipasi dalam The StoryGraph’s Genre Challenge mempertemukanku dengan beberapa bacaan menantang yang ada di luar zona nyaman. Meskipun begitu, bahkan buku-buku dalam tantangan ini tidak ada yang membuatku seterkejut Invisible Cities. Ditulis oleh penulis ternama Italia, Invisible Cities merupakan narasi tentang berbagai kota fiksional yang sudah disinggahi Marco Polo (betul, Marco Polo yang ITU). Marco Polo sendiri menarasikan ini kepada figur sejarah lain: Kublai Khan.

Di antara baris demi baris kalimat cantik dan surreal, Calvino menyelipkan renungan dan filosofinya tentang banyak hal. Tentang perjalanan tentu saja. Tentang kematian juga ada. Baca 2 kutipan berkesan yang aku sempat tandai ketika membaca Invisible Cities dalam ulasan StoryGraph ini. Aku menemukan Calvino tanpa sengaja lewat katalog Big Bad Wolf & aku tidak sabar untuk mengeksplor karyanya yang lain dalam waktu dekat. Buku-buku Calvino juga banyak yang tersedia di Scribd.

Aku harap aku bisa membaca memoar The Road to San Giovanni tahun depan.

Sambal & Ranjang (Tenni Purwanti)

Seorang kawan lama dengan baik hati mengirim buku kumpulan cerpen (kumcer) ini bersamaan dengan 2 buku lain yang sempat dia pinjam beberapa waktu lalu (thank you Amik!). Sambal & Ranjang memang sudah nongkrong di wishlist-ku sejak tahun 2020. Senang rasanya ketika bisa mencoret satu judul dari daftar buku kumpulan cerpen yang ingin aku baca.

Selain didominasi oleh cerpen bertema feminisme, tema tentang kesehatan mental juga begitu kentara dalam buku yang mengumpulkan 16 cerpen ini. Cocok untuk pembaca yang mencari cerpen dengan tema segar & belum terlalu sering digali.

Sayang sekali, meskipun bertema segar, aku tidak menikmati Sambal & Ranjang sebesar harapanku di awal. Gaya bahasa & penulisan dalam kumcernya terlampau kaku untuk seleraku. Setelah membaca bagaimana penulis memiliki latar belakang sebagai jurnalis di profil belakang buku, gaya penulisan dalam Sambal & Ranjang jadi lebih masuk akal. Tetap saja, it doesn’t work for me.

Dress Codes: How The Laws of Fashion Made History (Richard Thompson Ford)

Dalam buku nonfiksi > 500 halaman ini, Richard Thompson Ford melacak bagaimana manusia dari abad ke abad (secara spesifik di Barat) tidak pernah kehabisan ide dalam hal mengukuhkan status sosialnya di masyarakat. Ford sendiri fokus membahas bagaimana hukum berkaitan dengan baju atau cara berpakaian (sumptuary law) sangat jamak dalam sejarah peradaban manusia. Profesor di Sekolah Hukum Stanford ini juga berargumen tentang peran sentral yang dimiliki baju/dress code bagi individu atau dalam komunitas/budaya secara umum.

Kalau kamu gemar membaca bacaan sejarah menarik dan ramah pembaca awam, Dress Codes patut dicoba. Walaupun bukan merupakan bacaan sekali duduk (karena tebal & kaya akan info), Dress Codes tetap membuat kita betah membaca sampai akhir.

Buku ini adalah angin segar di tengah rentetan buku nonfiksi dengan gaya penulisan akademik yang membuat pusing & membosankan. Juga bisa menjadi pilihan bacaan untuk yang penasaran dengan bacaan bertema hukum. Salah satu buku favorit & paling berkesan yang aku dibaca di tahun 2021.

From Here to Eternity (Caitlin Doughty)

Mengingat aku sudah membicarakan From Here to Eternity > 2 kali di berbagai platform, aku tidak akan berpanjang-panjang. Ini adalah kali kedua aku membaca kombo memoar/catatan perjalanan ini & apresiasiku terhadapnya masih belum berkurang. Setelah resmi masuk ke dalam daftar bacaan all-time-favorite versiku tahun lalu, sepertinya From Here to Eternity tidak akan beranjak dari sana dalam waktu dekat.

From Here to Eternity dalam 3 tulisan : Ulasan Panjang Blog | Monthly Reading List November 2020 | Top 11 Reads for 2020    

When No One is Watching (Alyssa Cole)

Thriller bukanlah genre yang sering aku jamah sebagai bahan bacaan. When No One is Watching sendiri akhirnya masuk dalam TBR tahun ini karena 2 alasan; (1) Bukunya pas untuk salah satu prompt dalam The StoryGraph’s Genre Challenge, (2) Aku penasaran bagaimana Alyssa Cole, yang begitu dikenal lewat buku romantisnya, akan menggarap cerita thriller. Aku mendadak teringat video ketika WithCindy berceloteh tentang bagaimana romance thriller itu sebenarnya beda-beda tipis:

Meskipun belum berkesempatan membaca novel romantis Alyssa Cole dengan mata kepala sendiri, aku bisa melihat kelihaian penulis dalam menulis romance lewat keterampilannya dalam membangun karakter & hubungan/dinamik yang berkembang di antara mereka. Salah satu highlight novel When No One is Watching buatku sendiri memang hubungan romantis yang menjadi bumbu cerita.

Aku juga suka bagaimana Cole membangun suasana. Sebagai pembaca, aku benar-benar bisa merasakan rasa cemas dan paranoid yang mehinggapi para karakter dari awal cerita. Alasan inilah yang membuatku benar-benar menyukai 2/3 awal buku.

Sayang sekali, 1/3 akhir buku terlampau over-the-top. Sebenarnya ending ini masuk akal kalau kita mengingat bagaimana film Get Out-nya Jordan Peele disebut di blurb. Get Out begitu berkesan dalam benak penontonnya & menginspirasi banyak artis setelahnya berkat kesuksesan film tersebut dalam menyeimbangkan horor realistis & over-the-top. Hal ini menurutku sangat sulit untuk direplikasi & When No One is Watching tidak terlalu berhasil dalam mencapai keseimbangan itu.

Tetap saja, aku masih tertarik untuk membaca buku-buku lain dari Alyssa Cole.

Witches, Witch-Hunting, and Women (Silvia Federici)

Karya-karya Federici muncul di radarku setelah aku mulai menonton video Lou Reading Things di Youtube:

Dalam buku singkat ini (audiobook-nya saja hanya 2 jam), Federici menyajikan argumen yang menghubungkan kemunculan kapitalisme dengan praktik witch-hunting dan kekerasan terhadap perempuan secara umum dalam masyarakat. Meskipun berhasil menawarkan argumen yang compelling & thought-provoking dalam ruang minim, Witches, Witch-Hunting, and Women tetap terasa belum utuh karena Federici kerap menyebut-nyebut bukunya yang lain, Caliban and The Witch.

Judul ini adalah karya Federici pertama yang pernah aku dengar & sepertinya seorang pembaca bisa lebih mengapreasi Witches, Witch-Hunting, and Women kalau sudah familiar dengan argumen Federici dalam buku terdahulu ini.              

Pembunuhan di Lorong (Agatha Christie)

Setelah membaca kumcer Masalah di Teluk Pollensa, aku punya kecenderungan untuk membandingkan kumcer lain karya Christie dengan buku yang tidak aku sukai ini. Kumcer Pembunuhan di Lorong bukanlah sebuah pengecualian. Secara umum, aku memang lebih menikmati pengalaman membaca 4 cerpen dalam buku ini.

Cerpen-cerpen dalam Pembunuhan di Lorong jauh lebih panjang daripada cerpen dalam Masalah di Teluk Pollensa. Aku lebih menyukai cerpen-cerpen Christie yang memiliki ruang untuk bernafas semacam ini alih-alih cerpen singkat Beliau yang rawan meninggalkan tanda tanya. Walaupun kesanku terhadap kumcer Pembunuhan di Lorong sebenarnya standar saja, kesan yang ditinggalkan buku ini masih jauh lebih baik daripada kesan yang ditinggalkan buku Masalah di Teluk Pollensa.

Ulasan selengkapnya dariku bisa dibaca di StoryGraph.

November 2021 vs. November 2020: Perbandingan Dalam Bullet Point

  • November 2021 adalah sebuah anomali. Apalagi kalau mempertimbangkan kecenderunganku untuk tidak membaca terlalu banyak buku di penghujung tahun. Dibandingkan dengan November 2020, aku membaca dua kali lebih banyak buku (4 buku : 8 buku).
  • Jauh sebelum aku mengenal konsep Nonfiction November, aku bisa dibilang sudah menghayati semangatnya. Selama 2 tahun terakhir di bulan November, bacaanku sama-sama didominasi buku nonfiksi ber-mood informatif.
  • Di sisi lain, dari segi pace statistik 2 tahun terakhir agak bertolakbelakang. Di tengah dominasi bacaan medium, di 2021 aku lebih sering membaca buku slow-paced. Berbeda sekali dengan tahun lalu ketika bacaan fast-paced menempati tempat pertama. Salah satu kabar baik dari tahun 2021 sepertinya adalah kenyataan bahwa attention-span-ku sudah berangsur pulih.

Catatan sampingan lain: Walau sedang gemar-gemarnya membaca memoar sebagai asupan nonfiksi, entah kenapa aku tidak membaca satu pun memoar sepanjang November. Bulan April lalu aku juga sempat menulis artikel tentang 6 memoar favoritku di situs Best Present Guide ID. Siapa tahu ada yang sedang mencari rekomendasi memoar bagus 😉 Here’s for reading more fun nonfiction in our life!

Terima kasih sudah membaca tulisan ini sampai akhir!

Bagaimana pengalaman bacamu bulan November lalu?

Menemukan buku favorit baru?
Let me know in the comment!
>>>

Terhibur/terbantu dengan tulisan ini? Traktir Farah di Karyakarsa

Farah melacak bacaannya di situs buku alternatif  The StoryGraph

Ingin tanya-tanya anonim? Kirim saja pertanyaanmu lewat Curious Cat

Klub Buku BSK #2: Sihir Perempuan

BSK memilih kumpulan cerpen horor Sihir Perempuan untuk dibaca di bulan Oktober.

Spooky season boleh jadi 24/7 di Indonesia. Akan tetapi, di landskap media yang terpusat di Amerika Utara, kita mau tidak mau ikut terbawa semarak spooky season bulan Oktober ketika perayaan Halloween di samudra seberang semakin dekat. Jadi, pas rasanya kalau untuk bulan Oktober kita mencari buku-buku horor yang agak creepy, bisa membuat seseorang bergidik ngeri, atau memicu bulu remang berdiri 👻 

Berdasarkan hasil pemungutan suara, kawan-kawan Panagak di server Discord Klub Buku BSK akhirnya memilih kumpulan cerpen (kumcer) horor karangan Intan Paramaditha, Sihir Perempuan, sebagai Buku Pilihan BSK di bulan Oktober 2021.

Sihir Perempuan unggul telak dengan 12 voting ketika disandingkan dengan kumcer terjemahan Edgar Allan Poe, Kisah-Kisah Tengah Malam (diterjemahkan oleh Maggie Tiojakin) yang menggumpulkan 5 voting. Keduanya terdengar menarik? Ingin menambahkan mereka ke dalam daftar bacaanmu sendiri? Kamu juga bisa menemukan kedua buku ini, gratis, di iPusnas.
Mengumpulkan 11 cerpen horor, cerita dalam Sihir Perempuan sendiri kaya akan unsur folklore, fairytale, dan urban legend berskala lokal maupun mancanegaraKalau kamu mencari teman diskusi supaya bisa melacak berbagai inspirasi atau pengaruh yang ada dalam cerita-cerita di kumcer Sihir Perempuan, jangan segan untuk bergabung di pusat komunitas Klub Buku BSK di Discord.   
Buku Pilihan BSK Bulan Oktober 2021

Sampai jumpa di server atau ruang diskusi untuk membahas buku ini di bulan November 2021!


>>>

Terhibur/terbantu dengan tulisan ini? Dukung Farah melalui Karyakarsa

Farah melacak bacaannya di situs buku alternatif The Storygraph | @farbooksventure 

Ingin tanya-tanya & tetap anonim? Kirim saja pertanyaanmu lewat Curious Cat 

Klub Buku BSK #1: Sebuah Perkenalan & Kabut Negeri si Dali

Memperkenalkan klub buku baru untuk pembaca kumpulan cerpen atau esai.

Terlepas dari keterbatasan yang ada, cerita pendek (cerpen) sebagai medium tidak pernah absen dalam memesona penikmatnya dari tahun ke tahun. Ruang terbatas yang ditawarkan cerpen selalu mendorong penulis & para pencerita untuk kreatif dalam mengolah karya mereka. Tidak jarang pembaca dibuat terheran-heran dan tergugah sendiri karena untuk sesuatu yang begitu singkat, cerpen mampu meninggalkan kesan panjang dalam benak pembacanya, bahkan sampai bertahun-tahun ke depan.

Esai pun memainkan peran ini untuk karya nonfiksi. Kamu boleh jadi hanya berniat untuk rehat sejenak dari rutinitas dengan membaca esai 6 menit ini. Setelahnya, kamu melanjutkan hari dengan sudut pandang berbeda atau sebuah pemikiran baru. Esai senantiasa mengajak kita mempertimbangkan perspektif lain atau merevisi pemikiran lama yang kadang patut dibongkar. Di akhir hari, apa arti menjadi manusia kalau bukan untuk merenung, tenggelam dalam sesuatu yang baru, dan mencuat sebagai versi lebih baik dari diri kita sendiri?

Tentu tidak mengherankan ketika cerpen dan esai akhirnya menjadi pilihan untuk pembaca yang tidak punya energi atau sumber daya untuk terikat dengan novel atau karya nonfiksi panjang lain.  

Melalui Klub Buku Bangkitnya Surau Kami (BSK), aku & Reka dari blog Halo Reka ingin membangun komunitas untuk pembaca yang ingin sama-sama mengapresiasi buku kumpulan cerpen dan esai yang berjasa dalam memperkaya kehidupan mereka. Nama yang merupakan permainan kata dari cerpen ternama dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia kita ini hendaknya tidak mengintimidasi teman-teman semua. Alih-alih berkonotasi religius, surau dalam konteks BSK adalah tempat diskusi & bertukar ilmu. Senada dengan harapan BSK untuk menjadi komunitas aman untuk bertukar pikiran dan bercengkrama dengan sesama pembaca lain. 

BSK adalah klub buku berbasis Discord yang rutin mengadakan diskusi buku pilihan bersama melalui Google Meet setiap satu bulan sekali. Diskusi biasanya dilakukan pada hari Minggu terakhir bulan itu. Buku pilihan sendiri adalah buku kumpulan cerpen/esai bahasa Indonesia (baik karya penulis lokal maupun karya terjemahan) yang dipilih oleh anggota klub buku melalui pemungutan suara di server Discord BSK.

Sebagai bentuk apresiasi untuk penulis yang karyanya menginspirasi nama klub buku ini, Buku Pilihan BSK untuk bulan September 2021 adalah Kabut Negeri si Dali karya A.A. Navis. Buku kumpulan cerpen terbitan penerbit Grasindo ini dapat dibaca gratis melalui iPusnas.

Tertarik atau penasaran? Jangan lupa untuk gabung di server Discord komunitas Klub Buku BSK.


Sampai jumpa di server & ruang diskusi kita bulan depan!


>>>

Terhibur/terbantu dengan tulisan ini? Dukung Farah melalui Karyakarsa

Farah melacak bacaannya di situs buku alternatif The Storygraph | @farbooksventure 

Ingin tanya-tanya & tetap anonim? Kirim saja pertanyaanmu lewat Curious Cat

Tentang Honey Girl Karya Morgan Rogers

Review sebuah novel kontemporer berkesan yang aku baca di bulan Maret 2021!

Informasi Buku

Judul: Honey Girl

Penulis: Morgan Rogers (intip situs resmi penulis di sini)

Format Buku: Audio

Narator: York Whitaker

Durasi: 10 jam, 11 menit

Bahasa: Inggris

Penerbit: Harlequin Audio 

ISBN: 9781488210754

Artis Sampul: Poppy Madga

Design Sampul: Gigi Lau 

Tahun publikasi: 2021

Baca juga review lain di The StoryGraph

Blurb Buku

A refreshingly timely and relatable debut novel about a young woman whose life plans fall apart when she meets her wife.


With her newly completed PhD in astronomy in hand, twenty-eight-year-old Grace Porter goes on a girls’ trip to Vegas to celebrate. She’s a straight A, work-through-the-summer certified high achiever. She is not the kind of person who goes to Vegas and gets drunkenly married to a woman whose name she doesn’t know…until she does exactly that. This one moment of departure from her stern ex-military father’s plans for her life has Grace wondering why she doesn’t feel more fulfilled from completing her degree. Staggering under the weight of her parent’s expectations, a struggling job market and feelings of burnout, Grace flees her home in Portland for a summer in New York with the wife she barely knows. In New York, she’s able to ignore all the constant questions about her future plans and falls hard for her creative and beautiful wife, Yuki Yamamoto. But when reality comes crashing in, Grace must face what she’s been running from all along—the fears that make us human, the family scars that need to heal and the longing for connection, especially when navigating the messiness of adulthood.

Pilihan Akses Buku

Aku mendengar edisi audiobook Honey Girl melalui Scribd.

Edisi paperback bisa ditemukan di Periplus.

Edisi e-book juga tersedia di Google Play Book.

Penasaran ingin mencoba Scribd? Kamu bisa menggunakan link referal ini untuk coba-coba.

Menurut Farah Tentang Buku Ini

Membaca blurb Honey Girl akan memberi kesan bahwa novel kontemporer ini adalah kisah romantis. Asumsi yang tidak sepenuhnya salah tentu saja. Romansa antara Grace Porter & Yuki Yamamoto memang merupakan salah satu komponen dalam novel. Akan tetapi, cerita romance mereka bukanlah fokus utama. Honey Girl, pada intinya, adalah kisah coming-of-age seorang perempuan black & queer di penghujung usia 20-an. Buku ini juga bercerita tentang ketidakpastian yang datang setelah kamu menyelesaikan pendidikan akademik yang hampir dekade durasinya.


Menasbihkan genre spesifik untuk Honey Girl memang sulit. Fakta ini juga diamini oleh review buku Honey Girl dari The Seattle Times & wawancara Bitch Media dengan Morgan Rogers sendiri:

When I pitched the book to my agent and we were talking about submitting it to editors, I said it’s not a romance novel. It doesn’t really fit the beats and tropes in the romance genre. It’s first and foremost a coming-of-age [novel], even though those usually skew much younger in age. I’m younger than Grace. I’m 28, but it feels like a time where you can have this rebirth, grow, learn, and figure out who you want to be and where you want to go from here.”


Fleksibilitas dalam hal genre membuat Honey Girl bisa menyinggung banyak topik yang relevan buatku sebagai pembaca. Topik seperti burn out, feeling lost in life, suka-duka pertemanan (friendship), kesehatan mental, sampai hubungan kompleks dengan orang tua membangun cerita coming-of-age seorang Grace Porter. Melihat panjangnya bagian pembuka review Honey Girl ini, jangan heran kalau bagian selanjutnya akan lebih panjang lagi.


Semoga kamu menikmati tulisan panjang tentang (banyak) hal yang aku sukai dari novel Honey Girl:


Hal Yang Disukai

Hal pertama yang membuatku tertarik pada novel Honey Girl (selain sampul cantik) adalah trope “Marriage In Vegas” yang langsung muncul di blurb buku. Sudah bukan rahasia lagi bahwa aku adalah pembaca rutin fanfiction (FF). Trope satu ini adalah staple dari puluhan (bahkan ratusan) FF yang sudah aku baca selama hampir satu dekade terakhir. Meskipun awalnya hanya berspekulasi, Morgan Rogers sudah mengkonfirmasi dalam beberapa wawancara bahwa dia memang terinspirasi dari FF:

“I got my start in writing [through] reading fanfiction, so I’m very familiar with the [genre’s] tropes. I have my favorite tropes that I like to read and look for. So I kept throwing out all these ideas of things I wanted to write and I had all these works in progress. And I was like, why don’t I just write what I want to read? I love the married-in-Vegas trope. I love the idea of two people who don’t know each other having to make things work and figure out how they fit or if they fit.” – dalam wawancara dengan Evette Dione dari Bitch Media.


>>>


Kalau bicara topik, aku sangat menikmati eksplorasi hubungan orang tua/anak dan queer friendship dalam cerita. Dua hubungan ini bisa dibilang merupakan fokus utama dalam perjalanan Grace Porter sebagai karakter (bahkan lebih dari hubungan romantis Grace dengan Yuki).


Aku suka bagaimana Grace belajar melihat orang tuanya dari sudut pandang berbeda. Bahwa di akhir hari orang tua adalah manusia tidak sempurna. Meskipun berusaha sebaik-baiknya, terkadang tindakan mereka akan berefek negatif pada anak, walau mereka tidak berniat memunculkan efek itu. Aku juga suka bagaimana teman-teman queer Grace menjadi support system untuk dia ketika keluarga dekat Grace tidak bisa menawarkan dukungan ini. Hubungan pertemanan mereka juga dipotret dengan realistis. It’s not a perfect friendship at all. Aku sangat mengapresiasi nuance yang Morgan Rogers tawarkan.

Dalam hubungan apapun, akan ada titik ketika konflik muncul & kita berpotensi melukai perasaan satu sama lain. That’s the deal with human relations. Hal yang penting adalah bagaimana kita bekerja sama untuk memecahkan konflik ini. Aku pikir ini adalah hal penting untuk diingat karena meskipun berharap kita tidak melukai perasaan siapa-siapa apalagi orang terdekat, konflik adalah bagian tak terpisahkan dalam hubungan sehat.

>>>

Topik penting lain yang menjadi highlight cerita buatku adalah topik tentang kesehatan mental. Tidak hanya menyinggung burnout, cerita Grace juga menunjukkan usaha dia untuk menjadi lebih sehat & mindful dari segi mental dengan menemukan terapis yang bisa membantu. Kondisi mental seseorang akan mempengaruhi bagaimana dia membangun hubungan berarti dengan orang lain, bukan? Self-awareness in regards to your limitations/boundaries is good.
“The tension between having deeply meaningful relationships and still experiencing loneliness — which for Porter and her friends is tied to depression and other mental illness — is a common experience, but one rarely rendered wholly in fiction. Rogers stays with her characters through this tension, and during their more challenging moments.”  (The Seattle Times, Sarah Neilson).

Membaca berbagai tantangan yang dialami Grace & kawan-kawannya sebagai individu di usia 20-an sangat menenangkan. Aku merasa tidak sendiri.


>>>


Kalau bicara gaya penulisan & produksi audiobook sendiri, they are simply great. Cerita Grace ditulis dengan gaya bahasa yang begitu raw & tender. York Whitaker sebagai narator audiobook juga berhasil menghidupkan cerita perjalanan Grace menjadi sesuatu yang begitu enak didengar. Aku semakin kagum ketika sadar bahwa novel ini merupakan buku debut dari Morgan Rogers. Aku tidak sabar untuk membaca karya Rogers selanjutnya. 

Kenyataan bahwa dua booktuber yang sering aku tonton juga merekomendasikan novel ini adalah pertanda bagus.

Hal Yang Tidak Terlalu Disukai

Seperti yang sudah kamu lihat, aku adalah pengulas bias karena aku benar-benar menyukai buku ini. Bagian “Hal Yang Disukai” di atas (yang hampir 600 kata) adalah buktinya.

Kalau ditanya kritik, berikut beberapa hal yang aku harap bisa dipoles dari novel ini:
  • Meskipun tahu bahwa romance adalah salah satu bagian dari cerita & bukan merupakan fokus, aku sebenarnya masih berharap hubungan Grace & Yuki akan dikembangkan lebih lanjut. Honey Girl sendiri dipasarkan sebagai buku romance. Sayangnya ,romance bukanlah genre yang akan aku asosiasikan dengan cerita ini. Label adult contemporary sepertinya akan lebih cocok.
  • Selain itu, story arc dari salah satu karakter sampingan yang merupakan teman baik Grace menurutku tidak ditutup dengan memuaskan. Penutup arc dia terkesan buru-buru. Sebagai pembaca, aku merasa tidak mendapat closure di arc spesifik ini.
Booktuber WithCindy juga sudah mengulas buku ini & aku setuju dengan kritik dia tentang gaya penulisan Honey Girl yang bepotensi tidak cocok untuk beberapa pembaca. Kamu bisa membaca ulasan lengkap dari Cindy di sini.

Aku Akan Merekomandasikan Honey Girl Untuk…

Pembaca yang tertarik dengan kisah coming-of-age & self-growth seorang perempuan black & queer (dengan PhD) di penghujung usia 20-an. Kalau berharap untuk membaca kisah romantis yang fluffy & wholesome, Honey Girl sepertinya bukanlah buku yang tepat untukmu.


Jangan lupa untuk memeriksa content warning dulu kalau kamu memutuskan untuk membaca buku ini:

Content warnings (dikutip langsung dari situs resmi penulis): discussion and depictions of mental illness, self-harm (scratching skin, nails digging into skin as anxiety coping mechanism), past suicide attempt by side character, depictions of anti-Blackness and homophobia in the academic and corporate settings, casual alcohol consumption, minor drug use (marijuana), discussions of racism experienced by all characters of color, past limb amputation due to war injury (side character), past parent death (side character).


Rating

4,5/5

Bacaan Lanjutan


Terhibur/terbantu dengan tulisan ini? Dukung Farah melalui Karyakarsa

Farah melacak bacaannya di situs buku alternatif  The Storygraph | @farbooksventure

Ingin tanya-tanya & tetap anonim? Kirim saja pertanyaanmu lewat Curious Cat

Maret 2021: Bulan Penulis Perempuan

Satu bulan penuh dengan buku misteri dan karya penulis perempuan.

Mengingat 8 Maret merupakan hari perempuan internasional, aku memutuskan untuk fokus pada buku karya penulis perempuan dari beberapa genre sepanjang bulan ini. Dari buku misteri, horror, alternate history sampai memoar dan kumpulan essai, berikut statistik bacaanku di bulan Maret 2021 menurut The StoryGraph:

Statistik Menunjukkan…

Setelah santai sekali di bulan Februari, di penghujung Maret aku tercatat sudah menyelesaikan 9 buku (1.923 halaman). Bagiku ini adalah rekor pribadi. Kesembilan buku ini terdiri dari tiga buku fisik, empat buku digital, dan dua audiobook. Buku fisik (tentunya) adalah buku-buku lama yang sudah nongkrong di rak buku selama beberapa bulan. Buku Agatha Christie & buku nonfiksi yang aku beli tahun lalu contohnya. Buku digital sendiri aku baca melalui iPusnas dan Scribd (yang juga merupakan tempatku menemukan audiobook).

Mood misterius mendominasi mood bacaan kali ini karena aku membaca tiga buku misteri pembunuhan dan satu buku horor bernuansa misterius di bulan Maret. Melihat mood reflektif dan emosional bergeser dari tempat mereka yang biasanya di dua besar mengejutkan juga. Moody reader, am I right?

Ketika berhasil menyelesaikan 9 buku dalam satu bulan, tentu tidak mengherankan kalau sebagian besar buku ini adalah buku yang <300 halaman. Dua buku dalam rentang 300-499 halaman sendiri adalah buku misteri beralur cepat. Satu-satunya buku yang memang lambat (setidaknya buatku) adalah buku kumpulan esai karya Jia Tolentino yang sudah aku baca sejak akhir Januari lalu dan baru selesai di pertengahan Maret ini. Aku menyambut kemunculan buku beralur lambat dalam statistik karena aku merasa attention-span-ku dalam membaca setidaknya sudah berkembang daripada tahun lalu.

Seperti yang sudah aku tulis dalam kiriman minggu lalu, rasio bacaanku yang 75:25 untuk fiksi & nonfiksi sangat tercermin dalam statistik bulan Maret ini. Statistik untuk genre sendiri juga mencerminkan tulisan kemarin (setidaknya peringkat dua teratas). Genre klasik akhirnya muncul kembali dalam statistik karena genre ini adalah salah satu genre yang ingin aku eksplor lebih jauh, namun sayangnya belum tercapai karena belum ada waktu & energi yang cukup. Aku juga tidak sabar ingin membaca lebih banyak memoar & buku kumpulan cerpen tahun ini!

Daftar Bacaan

Tragedi Tiga Babak adalah buku Agatha Christie pilihanku untuk bulan Februari 2021. Aku menyelesaikan buku ini pada tanggal 2 Maret setelah nekat mulai membaca di penghujung Februari (can’t really read this in one-sitting apparently). Kasus yang harus dipecahkan Poirot dalam buku ini begitu dramatis & scandalous. It’s my type of drama. Meskipun berpotensi menjadi buku favorit Agatha Christie-ku selanjutnya setelah And Then There Were None dan Death on The Nile, ada beberapa aspek dalam Tragedi Tiga Babak yang membuatku tidak nyaman. Aku menjelaskan ini lebih lanjut dalam ulasanku di The StoryGraph.

Tiga cerita awal dalam kumpulan cerpen horor karya Intan Paramaditha ini sejujurnya tidak terlalu berkesan buatku. Akan tetapi, cerita-cerita setelahnya tidak mengecewakan. Setelah pertama kali membaca tulisan beliau dalam kumcer Kumpulan Budak Setan (ditulis bersama Eka Kurniawan & Ugoran Prasad), aku tidak terlalu kaget dengan gaya penulisan dalam kumcer ini yang memang bisa menjurus ke brutal.

 
Dalam 11 cerpen ini, kita akan membaca berbagai cerita tentang perjuangan dan duka hidup perempuan. Cerita perjuangan ini dibungkus dengan medium dongeng/ folklore/ urban legend yang dituturkan kembali. Hasilnya adalah cerpen horor yang surreal & penuh simbolisme. Sihir Perempuan juga mengingatkanku pada kumcer horor karya penulis perempuan Argentina, Mariana Enriquez, yang sempat aku baca bulan Oktober lalu bertajuk Things We Lost in The Fire. Kalau menyukai salah satu buku ini, sepertinya buku yang lain akan cocok dengan selera bacaanmu.

Aku membaca buku ini gratis melalui iPusnas.

Aku punya harapan tinggi ketika memulai buku kumpulan esai ini pada akhir Januari lalu. Sayang sekali, meskipun menawarkan argumen menarik, gaya penulisan Jia Tolentino yang panjang dan berputar-putar membuat esai dalam Trick Mirror begitu sulit untuk diikuti (pendapatku selengkapnya bisa dibaca di The StoryGraph). Aku akhirnya menyelesaikan buku ini dalam rentang waktu 2 bulan karena meskipun segan membaca gaya tulisan semacam ini, aku tetap kepo dengan argumen yang penulis gagas. Secara keseluruhan, bukan pengalaman baca menyenangkan.

Terima kasih pada kiriman Tumblr ini, aku akhirnya bisa bersenang-senang sambil mencoba genre baru. Aku sebenarnya sudah melirik buku-buku alternate history sejak lama, namun baru buku inilah yang membuatku “Oke, aku ingin langsung membaca buku ini sekarang.” Mungkin karena premis River of Teeth yang seolah terinspirasi dari crack fanfiction juga ya.

Secara keseluruhan audiobook 4 jam ini adalah bacaan cepat & oke. Aku sebenarnya bukan penggemar narator audiobook ini, but it’s not bad by any means & I have a good time. Aku memutuskan untuk tidak melanjutkan seri novella ini karena meskipun bersenang-senang membaca ceritanya, aku tidak terlalu peduli dengan para karakternya. Jadi, aku tidak terlalu tertarik dengan kelanjutan kisah mereka. Kalau kamu penyuka kisah-kisah western, sepertinya River of Teeth berpotensi menjadi bacaan menarik untukmu.

Kadang kita menemukan buku yang dari gaya penulisannya, kita akan tahu bahwa si penulis mencurahkan segenap jiwa, raga, dan emosinya dalam proses penulisan. Menurutku Kitchen adalah salah satu buku jenis ini. Ada sesuatu yang begitu melankolik & emosional tentang buku yang terbilang singkat ini. Sampai-sampai aku harus break beberapa kali sebelum selesai membacanya dalam 4 sesi.

Meskipun menjadikan duka sebagai inti utama cerita, Kitchen bukanlah bacaan yang membuat kita merasa hopeless atau tak berdaya. Sebaliknya, ada sesuatu yang hopeful tentang bagaimana buku ini berakhir. Aku juga sempat menulis ulasan emosional langsung setelah menamatkan bukunya. Kalau sedang mencari bacaan penuh refleksi tentang duka, buku karya Banana Yoshimoto ini bisa menjadi pilihan untukmu.

AKA salah satu BOTM (Book of The Month) untuk klub buku The Diversitea pada bulan Maret. Aku mulai membaca Rainbirds dengan pengetahuan seminimal mungkin. Meskipun bisa melihat daya tarik dari cerita ini, Rainbirds sepertinya bukan buku untukku. Dari segi plot, bukunya tidak menjaga rasa penasaranku cukup lama sehingga aku bisa menikmati cerita. Kalau bicara karakter sendiri, sebagian besar dari mereka begitu menyebalkan di mataku sehingga aku kesulitan untuk bersimpati. Begitulah, aku akhirnya tidak menyematkan rating apa-apa untuk buku satu ini.

Aku membaca buku ini gratis melalui iPusnas


Novel kontemporer satu ini adalah tipe novel yang bisa nyaman menempati beberapa kategori genre. Bukan hanya merupakan buku romance, Honey Girl juga adalah buku coming-of-age dengan protagonis di usia 20-an. Tanpa dibatasi genre, kisah yang fokus pada usaha Grace Porter untuk menemukan arah hidup pasca lulus dari program PhD ini adalah kisah tentang burn-out, trauma, hubungan rumit antara orang tua/anak, dan pertemanan (dan konteks ini queer friendship).

Tema mental health juga menjadi topik penting yang dibicarakan dalam audiobook 10 jam ini. Setelah membaca buku biasa-biasa saja sepanjang bulan, novel ini adalah salah satu bacaan berkesan yang aku temukan di bulan Maret. Aku akan merekomendasikan Honey Girl untuk pembaca yang mencari novel kontemporer dengan gaya tulisan mengena & membahas suka-duka menjadi manusia di usia 20-an. 

Kalau kamu sepertiku dan bingung ingin membaca novel ini dulu atau menonton film adaptasi tahun 2018 saja, rekomendasiku pilihlah novelnya. Kalau tidak menonton versi adaptasi film ini terlebih dahulu, boleh jadi Pembunuhan di Orient Express akan masuk dalam tiga besar novel Agatha Christie favoritku. That ending is so good! 

Ini adalah tipe novel yang akan semakin berkesan kalau kita tidak tahu apa-apa sebelum mulai membacanya. Ulasan (yang sedikit menyinggung spoiler) juga sempat aku tulis di The StoryGraph.

Aku sudah melirik memoar karya Carmen Maria Machado ini sejak tahun lalu setelah mendengar pujian tidak henti dari berbagai pembaca yang sudah menyelesaikan bukunya. They aren’t wrong. Ditulis dengan indah & jujur, In the Dream House membahas topik sulit dan penting dengan gaya penyampaian eksperimental. Gaya penyampaian tidak biasa ini (menggunakan narrative trope seperti choose-your-own-adventure misalnya) membuat apa yang ingin penulis sampaikan terasa lebih mengena.

Teks/narasi tentang dinamika abusif dalam queer relationship belum terlalu banyak ditulis & Machado berusaha untuk terbuka tentang pengalaman yang dialami dalam memoar In the Dream House ini. Memoar ini bukanlah bacaan mudah. Akan tetapi, setelah kau tenggelam dalam tulisan Machado kau tidak akan bisa berpaling lagi (sebuah bukti: aku membaca ini dalam sekali duduk).  

Aku membaca e-book ini melalui Scribd | Kamu juga bisa menggunakan link referral-ku untuk mencoba Scribd.

>>>

Bagaimana denganmu? Apa menemukan bacaan favorit baru di bulan Maret? 

Let me know in the comment! 

Apa kamu melihat buku menarik di antara daftar bacaanku juga? 👀

Terhibur/terbantu dengan tulisan ini? Dukung Farah melalui Karyakarsa

Farah melacak bacaannya di situs buku alternatif  The Storygraph | farbooksventure di The StoryGraph

Ingin tanya-tanya & tetap anonim? Kirim saja pertanyaanmu lewat Curious Cat