Tentang Nonfiction November 2021 dan 8 Buku yang Aku Baca

Tentang partisipasi tidak sengaja dalam Nonfiction November


Mulai aktif kembali di ranah perbukuan internet memperkenalkanku pada istilah baru tahun ini, Nonfiction November. Ternyata beberapa pembaca memilih bulan November untuk fokus membaca buku nonfiksi saja. Aku yang sadar dengan keterbatasan diri memutuskan untuk tidak berpartisipasi dalam tantangan baca satu ini. Sebagai tipe pembaca yang kepalanya mudah mumet, buku nonfiksi buatku harus dibaca berdampingan dengan buku fiksi. Buku nonfiksi yang cenderung aku baca juga rata-rata bertema berat. Jadi, keputusan untuk tidak ikut sebenarnya cukup bijak.

Terlepas dari kenyataan ini, alam bawah sadarku sepertinya tetap ingin menaklukkan Nonfiction November. Meskipun tidak sedrastis hanya membaca nonfiksi selama satu bulan, pada bulan November 2021 aku membaca lebih banyak nonfiksi daripada biasanya.


Rasio nonfiksi & fiksi yang biasanya 25:75 berubah jadi 38:63!

Berikut statistik & daftar bacaanku untuk bulan November 2021:

Statistik Bacaan November 2021

Bulan lalu aku berhasil menamatkan 8 buku. Satu buku nonfiksi sudah aku baca sejak Oktober. Satu nonfiksi lain masuk dalam daftar bacaan favoritku tahun lalu. Mood untuk baca ulang buku favorit memang mendadak menghampiri. Kalau bicara mood bacaan sendiri, mood informatif akhirnya berada di puncak atas nama spirit Nonfiction November yang tanpa sadar aku ikuti:


November ternyata juga merupakan bulan teratas dalam hal jumlah halaman yang aku baca (2.024 halaman) pada tahun 2021. Di tempat kedua ada bulan Maret dengan 1.923 halaman. Seperti yang bisa dilihat dari grafik di bawah, sebagian besar halaman aku baca di paruh awal November. Aku memang menutup bulan dengan membaca audiobook.

Dari segi format, bacaanku tersebar merata dalam bentuk print, digital, dan audio. Belakangan aku memang coba-coba menggilir bacaan dalam 3 format berbeda supaya tidak bosan. Aku sangat puas ketika sadar kalau 3 dari 4 edisi print/cetak adalah campuran TBR fisik lama & baru. Kalau tidak ada halangan, tahun depan aku memang ingin lebih ambis lagi dalam hal mengurangi TBR secara drastis. Walau sudah puas dengan kondisi TBR fisik, aku masih harus coba-coba lagi dengan TBR digital. Ketika tulisan ini ditulis TBR-ku di Scribd sudah sampai 70-an buku 😬

Daftar Bacaan November 2021

Neraka Dunia (Nur Sutan Iskandar)

Aku membuka November dengan bacaan tidak terduga. Seperti yang sudah sempat aku ungkapkan dalam kiriman Instagram dari awal Desember, aku sudah punya ekspektasi khusus untuk buku yang terbilang tipis ini. Tidak hanya memenuhi ekspektasi spesifik itu, cerita dalam Neraka Dunia juga menawarkan perspektif yang belum aku pertimbangkan perihal kondisi sosial budaya di tahun 1930-an. Sebagai pembaca dari 2021, aku terpana dengan betapa drastisnya dunia berubah & bagaimana beberapa hal tetap sama saja. Satu hal yang menurutku tidak berubah baik dulu maupun sekarang adalah ini: komunikasi kesehatan yang jelas dan transparan adalah hal krusial yang harus diperhatikan.

Invisible Cities (Italo Calvino)

Berpartisipasi dalam The StoryGraph’s Genre Challenge mempertemukanku dengan beberapa bacaan menantang yang ada di luar zona nyaman. Meskipun begitu, bahkan buku-buku dalam tantangan ini tidak ada yang membuatku seterkejut Invisible Cities. Ditulis oleh penulis ternama Italia, Invisible Cities merupakan narasi tentang berbagai kota fiksional yang sudah disinggahi Marco Polo (betul, Marco Polo yang ITU). Marco Polo sendiri menarasikan ini kepada figur sejarah lain: Kublai Khan.

Di antara baris demi baris kalimat cantik dan surreal, Calvino menyelipkan renungan dan filosofinya tentang banyak hal. Tentang perjalanan tentu saja. Tentang kematian juga ada. Baca 2 kutipan berkesan yang aku sempat tandai ketika membaca Invisible Cities dalam ulasan StoryGraph ini. Aku menemukan Calvino tanpa sengaja lewat katalog Big Bad Wolf & aku tidak sabar untuk mengeksplor karyanya yang lain dalam waktu dekat. Buku-buku Calvino juga banyak yang tersedia di Scribd.

Aku harap aku bisa membaca memoar The Road to San Giovanni tahun depan.

Sambal & Ranjang (Tenni Purwanti)

Seorang kawan lama dengan baik hati mengirim buku kumpulan cerpen (kumcer) ini bersamaan dengan 2 buku lain yang sempat dia pinjam beberapa waktu lalu (thank you Amik!). Sambal & Ranjang memang sudah nongkrong di wishlist-ku sejak tahun 2020. Senang rasanya ketika bisa mencoret satu judul dari daftar buku kumpulan cerpen yang ingin aku baca.

Selain didominasi oleh cerpen bertema feminisme, tema tentang kesehatan mental juga begitu kentara dalam buku yang mengumpulkan 16 cerpen ini. Cocok untuk pembaca yang mencari cerpen dengan tema segar & belum terlalu sering digali.

Sayang sekali, meskipun bertema segar, aku tidak menikmati Sambal & Ranjang sebesar harapanku di awal. Gaya bahasa & penulisan dalam kumcernya terlampau kaku untuk seleraku. Setelah membaca bagaimana penulis memiliki latar belakang sebagai jurnalis di profil belakang buku, gaya penulisan dalam Sambal & Ranjang jadi lebih masuk akal. Tetap saja, it doesn’t work for me.

Dress Codes: How The Laws of Fashion Made History (Richard Thompson Ford)

Dalam buku nonfiksi > 500 halaman ini, Richard Thompson Ford melacak bagaimana manusia dari abad ke abad (secara spesifik di Barat) tidak pernah kehabisan ide dalam hal mengukuhkan status sosialnya di masyarakat. Ford sendiri fokus membahas bagaimana hukum berkaitan dengan baju atau cara berpakaian (sumptuary law) sangat jamak dalam sejarah peradaban manusia. Profesor di Sekolah Hukum Stanford ini juga berargumen tentang peran sentral yang dimiliki baju/dress code bagi individu atau dalam komunitas/budaya secara umum.

Kalau kamu gemar membaca bacaan sejarah menarik dan ramah pembaca awam, Dress Codes patut dicoba. Walaupun bukan merupakan bacaan sekali duduk (karena tebal & kaya akan info), Dress Codes tetap membuat kita betah membaca sampai akhir.

Buku ini adalah angin segar di tengah rentetan buku nonfiksi dengan gaya penulisan akademik yang membuat pusing & membosankan. Juga bisa menjadi pilihan bacaan untuk yang penasaran dengan bacaan bertema hukum. Salah satu buku favorit & paling berkesan yang aku dibaca di tahun 2021.

From Here to Eternity (Caitlin Doughty)

Mengingat aku sudah membicarakan From Here to Eternity > 2 kali di berbagai platform, aku tidak akan berpanjang-panjang. Ini adalah kali kedua aku membaca kombo memoar/catatan perjalanan ini & apresiasiku terhadapnya masih belum berkurang. Setelah resmi masuk ke dalam daftar bacaan all-time-favorite versiku tahun lalu, sepertinya From Here to Eternity tidak akan beranjak dari sana dalam waktu dekat.

From Here to Eternity dalam 3 tulisan : Ulasan Panjang Blog | Monthly Reading List November 2020 | Top 11 Reads for 2020    

When No One is Watching (Alyssa Cole)

Thriller bukanlah genre yang sering aku jamah sebagai bahan bacaan. When No One is Watching sendiri akhirnya masuk dalam TBR tahun ini karena 2 alasan; (1) Bukunya pas untuk salah satu prompt dalam The StoryGraph’s Genre Challenge, (2) Aku penasaran bagaimana Alyssa Cole, yang begitu dikenal lewat buku romantisnya, akan menggarap cerita thriller. Aku mendadak teringat video ketika WithCindy berceloteh tentang bagaimana romance thriller itu sebenarnya beda-beda tipis:

Meskipun belum berkesempatan membaca novel romantis Alyssa Cole dengan mata kepala sendiri, aku bisa melihat kelihaian penulis dalam menulis romance lewat keterampilannya dalam membangun karakter & hubungan/dinamik yang berkembang di antara mereka. Salah satu highlight novel When No One is Watching buatku sendiri memang hubungan romantis yang menjadi bumbu cerita.

Aku juga suka bagaimana Cole membangun suasana. Sebagai pembaca, aku benar-benar bisa merasakan rasa cemas dan paranoid yang mehinggapi para karakter dari awal cerita. Alasan inilah yang membuatku benar-benar menyukai 2/3 awal buku.

Sayang sekali, 1/3 akhir buku terlampau over-the-top. Sebenarnya ending ini masuk akal kalau kita mengingat bagaimana film Get Out-nya Jordan Peele disebut di blurb. Get Out begitu berkesan dalam benak penontonnya & menginspirasi banyak artis setelahnya berkat kesuksesan film tersebut dalam menyeimbangkan horor realistis & over-the-top. Hal ini menurutku sangat sulit untuk direplikasi & When No One is Watching tidak terlalu berhasil dalam mencapai keseimbangan itu.

Tetap saja, aku masih tertarik untuk membaca buku-buku lain dari Alyssa Cole.

Witches, Witch-Hunting, and Women (Silvia Federici)

Karya-karya Federici muncul di radarku setelah aku mulai menonton video Lou Reading Things di Youtube:

Dalam buku singkat ini (audiobook-nya saja hanya 2 jam), Federici menyajikan argumen yang menghubungkan kemunculan kapitalisme dengan praktik witch-hunting dan kekerasan terhadap perempuan secara umum dalam masyarakat. Meskipun berhasil menawarkan argumen yang compelling & thought-provoking dalam ruang minim, Witches, Witch-Hunting, and Women tetap terasa belum utuh karena Federici kerap menyebut-nyebut bukunya yang lain, Caliban and The Witch.

Judul ini adalah karya Federici pertama yang pernah aku dengar & sepertinya seorang pembaca bisa lebih mengapreasi Witches, Witch-Hunting, and Women kalau sudah familiar dengan argumen Federici dalam buku terdahulu ini.              

Pembunuhan di Lorong (Agatha Christie)

Setelah membaca kumcer Masalah di Teluk Pollensa, aku punya kecenderungan untuk membandingkan kumcer lain karya Christie dengan buku yang tidak aku sukai ini. Kumcer Pembunuhan di Lorong bukanlah sebuah pengecualian. Secara umum, aku memang lebih menikmati pengalaman membaca 4 cerpen dalam buku ini.

Cerpen-cerpen dalam Pembunuhan di Lorong jauh lebih panjang daripada cerpen dalam Masalah di Teluk Pollensa. Aku lebih menyukai cerpen-cerpen Christie yang memiliki ruang untuk bernafas semacam ini alih-alih cerpen singkat Beliau yang rawan meninggalkan tanda tanya. Walaupun kesanku terhadap kumcer Pembunuhan di Lorong sebenarnya standar saja, kesan yang ditinggalkan buku ini masih jauh lebih baik daripada kesan yang ditinggalkan buku Masalah di Teluk Pollensa.

Ulasan selengkapnya dariku bisa dibaca di StoryGraph.

November 2021 vs. November 2020: Perbandingan Dalam Bullet Point

  • November 2021 adalah sebuah anomali. Apalagi kalau mempertimbangkan kecenderunganku untuk tidak membaca terlalu banyak buku di penghujung tahun. Dibandingkan dengan November 2020, aku membaca dua kali lebih banyak buku (4 buku : 8 buku).
  • Jauh sebelum aku mengenal konsep Nonfiction November, aku bisa dibilang sudah menghayati semangatnya. Selama 2 tahun terakhir di bulan November, bacaanku sama-sama didominasi buku nonfiksi ber-mood informatif.
  • Di sisi lain, dari segi pace statistik 2 tahun terakhir agak bertolakbelakang. Di tengah dominasi bacaan medium, di 2021 aku lebih sering membaca buku slow-paced. Berbeda sekali dengan tahun lalu ketika bacaan fast-paced menempati tempat pertama. Salah satu kabar baik dari tahun 2021 sepertinya adalah kenyataan bahwa attention-span-ku sudah berangsur pulih.

Catatan sampingan lain: Walau sedang gemar-gemarnya membaca memoar sebagai asupan nonfiksi, entah kenapa aku tidak membaca satu pun memoar sepanjang November. Bulan April lalu aku juga sempat menulis artikel tentang 6 memoar favoritku di situs Best Present Guide ID. Siapa tahu ada yang sedang mencari rekomendasi memoar bagus 😉 Here’s for reading more fun nonfiction in our life!

Terima kasih sudah membaca tulisan ini sampai akhir!

Bagaimana pengalaman bacamu bulan November lalu?

Menemukan buku favorit baru?
Let me know in the comment!
>>>

Terhibur/terbantu dengan tulisan ini? Traktir Farah di Karyakarsa

Farah melacak bacaannya di situs buku alternatif  The StoryGraph

Ingin tanya-tanya anonim? Kirim saja pertanyaanmu lewat Curious Cat

0 thoughts on “Tentang Nonfiction November 2021 dan 8 Buku yang Aku Baca

  1. TBR Audio mencapai 70 daftar…hahaha Mba Farah gokil juga, aku sebagai tipe pembaca yg agak gatal melihat tumpukan TBR pasti udah kelabakan sendiri melihat list sebanyak itu. Omong-omong sampai saat ini aku belum bisa menemukan kecocokan dengan audiobook, pernah coba sekali tp berakhir kutinggalkan begitu saja hehehe.

    Semenjak baca ulasan singkat Mba Farah mengenai buku "When no one is watching", aku sudah mulai kepo dgn buku ini, jarang banget baca buku thriller bercampur padu dgn nuansa romantic, apa ending dari ceritanya mirip dengan Get out? ..

    oh aku baru tau Agathar christie punya edisi kumcer selain Problem at pollensa bay, jadi ingat pengalaman baca bareng kita soal buku ini yang….mengejutkan di 2 cerita terakhir hahaha, agak mengecewakan tapi justru memberi kesan akhir yang tidak mudah dilupakan ya Mba

  2. Yang TBR Scribd itu campuran e-book & audiobook, Reka. Aku mudah tergiur judul atau sampul buku menarik soalnya, jadi TBR memanjang terus tidak ada berhenti. Mengintimidasi sekali memang 😰 Kalau bicara audiobook, aku sendiri juga lumayan lama baru ketemu yang suka. Pengaruh narator yang cocok itu besar, semoga kamu belum menyerah & terus mencari 😀

    Romance di When No One is Watching sebenarnya minim, tapi aku suka karena jadi bumbu untuk memperkaya thriller gitu. Ada poin dalam cerita ketika si protagonis nggak yakin gitu dengan si love interest, aku suka karena dramatis haha. Plot twist di bagian ending menurutku memang terinspirasi dari Get Out.

    Ternyata Agatha Christie lumayan banyak kumcer-nya, Reka. Tahun 2022 aja aku bakal baca 2 kumcer Beliau yang lain. Dari kumcer yang aku baca sejauh ini memang Problem at Pollensa Bay itu yang paling mengecewakan 😂

  3. Membaca tulisan ini, aku malah penasaran dgn Storygraph. Pernah baca ulasan suatu blog tentang perbedaan Goodreads & Storygraph. Dan saat melihat ini, jadi pengen nyoba, itung2 melakukan hal baru di tahun 2022.:)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *