[25/05/17] Tentang Kado Istimewa: Cerpen Pilihan KOMPAS 1992

“Ibu sendiri kenapa tidak mengikuti jejak Pak Gi?”“Sebagai mantan bagian dapur umum saya tetap berjuang terus, lho! Melawan kelaparan….”

Informasi Buku

Judul: Kado Istimewa: Cerpen Pilihan Kompas 1992
Penulis: Abrar Yusra, Agus Vrisaba, Ahmad Tohari, B.M. Syamsuddin, Edi Haryono, Harris Effendi Thahar, Hudri Hamdi, Jujur Prananto, Putu Wijaya, Ratna Indraswari Ibrahim, Santyarini, Umar Kayam, Yanusa Nugroho
Penerbit: Kompas
ISBN: 9786024121631
Tahun publikasi: 2016 (pertama kali dipublikasikan pada 1992)
Jumlah halaman: 156 halaman
Buku: milik pribadi
Temukan buku ini di Goodreads

Blurb
Penulis-penulis Terpilih:
Abrar Yusra
Agus Vrisaba

Ahmad Tohari


B.M. Syamsuddin

Edi Haryono



Harris Effendi Thahar


Hudri Hamdi


Jujur Prananto

Putu Wijaya

Ratna Indraswari Ibrahim

Santyarini

Umar Kayam

Yanusa Nugroho



…dunia yang dimasuki pengarang dikenalnya sampai teras garis kecil, sehingga yang tampil di dalam cerita atau melatarbelakanginya, cukup meyakinkan… (Subagio Sastrowardoyo)




…Para pengarang, masing-masing, memang telah memilih, dari pengamatan atau pengalaman, suatu unikum dan kemudian menyajikannya kepada kita dengan bahasa yang terang, sederhana, dan mengalir. Itulah salah satu cara untuk mengokohkan kembali ikatan kita dengan kenyataan, yakni kenyataan yang sudah dirusak oleh nilai guna. Dengan begitu kita dapat berharap lagi memanggil nilai manusiawi… (Nirwan Dewanto)




Menurut Farah Tentang Buku Ini



Cerpen terbaik dari kumpulan cerpen ini, Kado Istimewa, menuturkan kisah tentang seorang Ibu yang seolah tidak melek akan kenyataan. Cerpen pembuka ini miris dan lucu disaat yang bersamaan sebenarnya. Pada satu titik aku bahkan sempat frustasi dan sebal sendiri dengan tokoh Ibu ini. Sesungguhnya kenyataan sudah tersaji di depan matanya tapi, si Ibu kukuh menolak untuk mengakuinya. Pada akhirnya si Ibu percaya dengan angan-angan yang dia buat sendiri. Bagus memang untuk si Ibu. Tapi, mengesalkan untuk para pembaca yang menyadari kenyataan sebenarnya.



Bersama dengan dua cerpen lain, Sket karya Putu Wijaya dan Randu Alas karya Agus Vrisaba, Kado Istimewa menjadi tiga cerpen favoritku dalam buku kumpulan cerpen ini. Meskipun ceritanya membuat frustasi campur geli, aku sangat menyukai Kado Istimewa karena (mirisnya) aku memang sering melihat “kasus-kasus” sekelas cerpen ini terjadi di sekitarku. Beberapa orang terkadang cenderung (tanpa mereka sadari) membiarkan hidupnya dikendalikan oleh kenangan dari masa lalu. Mereka acap kali lupa untuk mempertimbangkan bahwa kemungkinan untuk berubah akan selalu ada dan beberapa hal dari masa lalu pasti tidak akan sama lagi di masa sekarang. Aku pikir cerpen ini menyampaikan pesan ceritanya dengan baik.

Untuk cerpen Sket karya Putu Wijaya sendiri, aku sangat menyukai cerpen ini karena cara penyampaian cerita Beliau yang sangat mengalir dan menyenangkan. Aku langsung tahu Sket adalah cerpen favoritku ketika aku membaca kalimat ini:

Orangtua boleh terpisah bagaikan langit dengan comberan. Tetapi di mata Tony dan Udin, dunia ini hanya satu. – 67 

Plot twist yang muncul menjelang akhir dari cerpen ini juga patut diacungi jempol. Aku pikir cerpen ini diakhiri dengan sangat mulus. Setelah beberapa waktu disuguhi dengan berbagai cerpen yang memiliki ending yang cenderung kabur, membaca cerpen dengan ending jelas dan mulus mengasyikkan juga.

Sama dengan alasanku yang menyukai cerpen Kado Istimewa, aku menyukai cerpen Randu Alas karya Agus Vrisaba karena cerpen ini terasa begitu relatable dengan berbagai hal yang aku jumpai di kehidupan sehari-hari. Ketika dalam Kado Istimewa kita dihadapkan pada karakter seorang Ibu yang tidak bisa menerima kenyataan, dalam Randu Alas kita dikenalkan pada karakter seorang pria yang tidak pernah bisa yakin dengan keputusan yang dia ambil. Seperti yang dideskripsikan oleh sang penulis, Agus Vrisaba, dalam ceritanya tentang karakter pria ini;

“… di dalam benaknya bermunculan gagasan-gagasan macam gelembung-gelembung di mata air.”

Lucunya kita memang sering kali menemukan tipe-tipe manusia seperti ini. Terkadang beberapa orang memiliki keinginan (baca: kerakusan) yang terlampau banyak. Tapi, sering kali pada akhirnya dari keinginan-keinginan yang banyak itu tidak ada satu pun yang benar-benar terlaksana atau terwujud dengan sempurna. Mungkin itulah salah satu alasan mengapa akan lebih baik untuk fokus pada satu hal daripada terobsesi untuk melakukan banyak hal dalam satu waktu. Apa gunanya melakukan banyak hal tapi tidak pernah ada hal yang benar-benar kita selesaikan bukan? Ini sepertinya dapat menjadi bahan renungan untuk para pembaca 😀

Selain tiga cerpen di atas sebenarnya ada dua cerpen lain yang juga cukup menarik perhatianku. Kedua cerpen itu adalah cerpen Ngarai karya Harris Effendi Thahar dan Burung Ketitiran karya Abrar Yusra. Kedua cerpen ini menarik perhatianku karena Bukittinggi, Padang, dan sekitarnya merupakan latar tempat dari peristiwa dalam kedua cerpen ini. Aku serasa berada di rumah ketika membacanya. Membaca cerpen-cerpen seperti ini sangat menyenangkan.

Cerpen Penipu yang Keempat dan Mata Yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari juga dapat ditemukan dalam buku kumpulan cerpen pilihan KOMPAS ini. Aku sudah menyinggung kedua cerpen ini dalam ulasanku tentang buku kumpulan cerpen Mata Yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari dalam postingan terdahulu

Buku-buku kumpulan cerpen pilihan KOMPAS bisa dikatakan memang merupakan pilihan bacaan yang tepat bagi para pembaca yang ingin membaca cerpen-cerpen pilihan terbaik yang pernah diterbitkan di koran Kompas dari tahun ke tahun. 

Rating
3.5/5

Temukan ulasanku tentang buku cerpen pilihan kompas yang lain di sini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *