Tentang Honey Girl Karya Morgan Rogers

Review sebuah novel kontemporer berkesan yang aku baca di bulan Maret 2021!

Informasi Buku

Judul: Honey Girl

Penulis: Morgan Rogers (intip situs resmi penulis di sini)

Format Buku: Audio

Narator: York Whitaker

Durasi: 10 jam, 11 menit

Bahasa: Inggris

Penerbit: Harlequin Audio 

ISBN: 9781488210754

Artis Sampul: Poppy Madga

Design Sampul: Gigi Lau 

Tahun publikasi: 2021

Baca juga review lain di The StoryGraph

Blurb Buku

A refreshingly timely and relatable debut novel about a young woman whose life plans fall apart when she meets her wife.


With her newly completed PhD in astronomy in hand, twenty-eight-year-old Grace Porter goes on a girls’ trip to Vegas to celebrate. She’s a straight A, work-through-the-summer certified high achiever. She is not the kind of person who goes to Vegas and gets drunkenly married to a woman whose name she doesn’t know…until she does exactly that. This one moment of departure from her stern ex-military father’s plans for her life has Grace wondering why she doesn’t feel more fulfilled from completing her degree. Staggering under the weight of her parent’s expectations, a struggling job market and feelings of burnout, Grace flees her home in Portland for a summer in New York with the wife she barely knows. In New York, she’s able to ignore all the constant questions about her future plans and falls hard for her creative and beautiful wife, Yuki Yamamoto. But when reality comes crashing in, Grace must face what she’s been running from all along—the fears that make us human, the family scars that need to heal and the longing for connection, especially when navigating the messiness of adulthood.

Pilihan Akses Buku

Aku mendengar edisi audiobook Honey Girl melalui Scribd.

Edisi paperback bisa ditemukan di Periplus.

Edisi e-book juga tersedia di Google Play Book.

Penasaran ingin mencoba Scribd? Kamu bisa menggunakan link referal ini untuk coba-coba.

Menurut Farah Tentang Buku Ini

Membaca blurb Honey Girl akan memberi kesan bahwa novel kontemporer ini adalah kisah romantis. Asumsi yang tidak sepenuhnya salah tentu saja. Romansa antara Grace Porter & Yuki Yamamoto memang merupakan salah satu komponen dalam novel. Akan tetapi, cerita romance mereka bukanlah fokus utama. Honey Girl, pada intinya, adalah kisah coming-of-age seorang perempuan black & queer di penghujung usia 20-an. Buku ini juga bercerita tentang ketidakpastian yang datang setelah kamu menyelesaikan pendidikan akademik yang hampir dekade durasinya.


Menasbihkan genre spesifik untuk Honey Girl memang sulit. Fakta ini juga diamini oleh review buku Honey Girl dari The Seattle Times & wawancara Bitch Media dengan Morgan Rogers sendiri:

When I pitched the book to my agent and we were talking about submitting it to editors, I said it’s not a romance novel. It doesn’t really fit the beats and tropes in the romance genre. It’s first and foremost a coming-of-age [novel], even though those usually skew much younger in age. I’m younger than Grace. I’m 28, but it feels like a time where you can have this rebirth, grow, learn, and figure out who you want to be and where you want to go from here.”


Fleksibilitas dalam hal genre membuat Honey Girl bisa menyinggung banyak topik yang relevan buatku sebagai pembaca. Topik seperti burn out, feeling lost in life, suka-duka pertemanan (friendship), kesehatan mental, sampai hubungan kompleks dengan orang tua membangun cerita coming-of-age seorang Grace Porter. Melihat panjangnya bagian pembuka review Honey Girl ini, jangan heran kalau bagian selanjutnya akan lebih panjang lagi.


Semoga kamu menikmati tulisan panjang tentang (banyak) hal yang aku sukai dari novel Honey Girl:


Hal Yang Disukai

Hal pertama yang membuatku tertarik pada novel Honey Girl (selain sampul cantik) adalah trope “Marriage In Vegas” yang langsung muncul di blurb buku. Sudah bukan rahasia lagi bahwa aku adalah pembaca rutin fanfiction (FF). Trope satu ini adalah staple dari puluhan (bahkan ratusan) FF yang sudah aku baca selama hampir satu dekade terakhir. Meskipun awalnya hanya berspekulasi, Morgan Rogers sudah mengkonfirmasi dalam beberapa wawancara bahwa dia memang terinspirasi dari FF:

“I got my start in writing [through] reading fanfiction, so I’m very familiar with the [genre’s] tropes. I have my favorite tropes that I like to read and look for. So I kept throwing out all these ideas of things I wanted to write and I had all these works in progress. And I was like, why don’t I just write what I want to read? I love the married-in-Vegas trope. I love the idea of two people who don’t know each other having to make things work and figure out how they fit or if they fit.” – dalam wawancara dengan Evette Dione dari Bitch Media.


>>>


Kalau bicara topik, aku sangat menikmati eksplorasi hubungan orang tua/anak dan queer friendship dalam cerita. Dua hubungan ini bisa dibilang merupakan fokus utama dalam perjalanan Grace Porter sebagai karakter (bahkan lebih dari hubungan romantis Grace dengan Yuki).


Aku suka bagaimana Grace belajar melihat orang tuanya dari sudut pandang berbeda. Bahwa di akhir hari orang tua adalah manusia tidak sempurna. Meskipun berusaha sebaik-baiknya, terkadang tindakan mereka akan berefek negatif pada anak, walau mereka tidak berniat memunculkan efek itu. Aku juga suka bagaimana teman-teman queer Grace menjadi support system untuk dia ketika keluarga dekat Grace tidak bisa menawarkan dukungan ini. Hubungan pertemanan mereka juga dipotret dengan realistis. It’s not a perfect friendship at all. Aku sangat mengapresiasi nuance yang Morgan Rogers tawarkan.

Dalam hubungan apapun, akan ada titik ketika konflik muncul & kita berpotensi melukai perasaan satu sama lain. That’s the deal with human relations. Hal yang penting adalah bagaimana kita bekerja sama untuk memecahkan konflik ini. Aku pikir ini adalah hal penting untuk diingat karena meskipun berharap kita tidak melukai perasaan siapa-siapa apalagi orang terdekat, konflik adalah bagian tak terpisahkan dalam hubungan sehat.

>>>

Topik penting lain yang menjadi highlight cerita buatku adalah topik tentang kesehatan mental. Tidak hanya menyinggung burnout, cerita Grace juga menunjukkan usaha dia untuk menjadi lebih sehat & mindful dari segi mental dengan menemukan terapis yang bisa membantu. Kondisi mental seseorang akan mempengaruhi bagaimana dia membangun hubungan berarti dengan orang lain, bukan? Self-awareness in regards to your limitations/boundaries is good.
“The tension between having deeply meaningful relationships and still experiencing loneliness — which for Porter and her friends is tied to depression and other mental illness — is a common experience, but one rarely rendered wholly in fiction. Rogers stays with her characters through this tension, and during their more challenging moments.”  (The Seattle Times, Sarah Neilson).

Membaca berbagai tantangan yang dialami Grace & kawan-kawannya sebagai individu di usia 20-an sangat menenangkan. Aku merasa tidak sendiri.


>>>


Kalau bicara gaya penulisan & produksi audiobook sendiri, they are simply great. Cerita Grace ditulis dengan gaya bahasa yang begitu raw & tender. York Whitaker sebagai narator audiobook juga berhasil menghidupkan cerita perjalanan Grace menjadi sesuatu yang begitu enak didengar. Aku semakin kagum ketika sadar bahwa novel ini merupakan buku debut dari Morgan Rogers. Aku tidak sabar untuk membaca karya Rogers selanjutnya. 

Kenyataan bahwa dua booktuber yang sering aku tonton juga merekomendasikan novel ini adalah pertanda bagus.

Hal Yang Tidak Terlalu Disukai

Seperti yang sudah kamu lihat, aku adalah pengulas bias karena aku benar-benar menyukai buku ini. Bagian “Hal Yang Disukai” di atas (yang hampir 600 kata) adalah buktinya.

Kalau ditanya kritik, berikut beberapa hal yang aku harap bisa dipoles dari novel ini:
  • Meskipun tahu bahwa romance adalah salah satu bagian dari cerita & bukan merupakan fokus, aku sebenarnya masih berharap hubungan Grace & Yuki akan dikembangkan lebih lanjut. Honey Girl sendiri dipasarkan sebagai buku romance. Sayangnya ,romance bukanlah genre yang akan aku asosiasikan dengan cerita ini. Label adult contemporary sepertinya akan lebih cocok.
  • Selain itu, story arc dari salah satu karakter sampingan yang merupakan teman baik Grace menurutku tidak ditutup dengan memuaskan. Penutup arc dia terkesan buru-buru. Sebagai pembaca, aku merasa tidak mendapat closure di arc spesifik ini.
Booktuber WithCindy juga sudah mengulas buku ini & aku setuju dengan kritik dia tentang gaya penulisan Honey Girl yang bepotensi tidak cocok untuk beberapa pembaca. Kamu bisa membaca ulasan lengkap dari Cindy di sini.

Aku Akan Merekomandasikan Honey Girl Untuk…

Pembaca yang tertarik dengan kisah coming-of-age & self-growth seorang perempuan black & queer (dengan PhD) di penghujung usia 20-an. Kalau berharap untuk membaca kisah romantis yang fluffy & wholesome, Honey Girl sepertinya bukanlah buku yang tepat untukmu.


Jangan lupa untuk memeriksa content warning dulu kalau kamu memutuskan untuk membaca buku ini:

Content warnings (dikutip langsung dari situs resmi penulis): discussion and depictions of mental illness, self-harm (scratching skin, nails digging into skin as anxiety coping mechanism), past suicide attempt by side character, depictions of anti-Blackness and homophobia in the academic and corporate settings, casual alcohol consumption, minor drug use (marijuana), discussions of racism experienced by all characters of color, past limb amputation due to war injury (side character), past parent death (side character).


Rating

4,5/5

Bacaan Lanjutan


Terhibur/terbantu dengan tulisan ini? Dukung Farah melalui Karyakarsa

Farah melacak bacaannya di situs buku alternatif  The Storygraph | @farbooksventure

Ingin tanya-tanya & tetap anonim? Kirim saja pertanyaanmu lewat Curious Cat

Tentang Parade Hantu Siang Bolong Karya Titah AW

 

“Ia percaya bahwa jurnalisme yang bertutur sebagai cerita bisa jadi taktik memahami, bahkan hal paling absurd sedunia.”

Informasi Buku

Judul: Parade Hantu Siang Bolong
Penulis: Titah AW
Ilustrasi sampul: Sekar Bestari
Fotografer: Umarudin Wicaksono & Noe Prasetya
Penerbit: Warning Books
ISBN: 9786239330484
Tahun publikasi: 2020
Cetakan: pertama (September)
Jumlah halaman: 247 halaman
Buku: paperback milik pribadi
Bahasa: Indonesia
Baca detail buku ini di The Storygraph

Blurb Buku

Berisi 16 reportase jurnalistik-sastrawi, buku ini membahas peristiwa-peristiwa di seputar isu mitos dan lokalitas. Dua tema yang seolah berjarak, namun kenyataannya begitu lekat di keseharian. Dari puncak gunung Langgeran yang sunyi, hingga riuhnya pentas kesurupan massal di Banyumas. Dari perburuan pusaka leluhur, hingga konferensi alien tahunan. Dari tinder ala jawa, hingga teror klitih yang merajai jalanan malam Yogyakarta. Bagai parade, satu per satu tampil membentuk realitas yang kompleks dan kerap di luar nalar.

Pilihan Akses Buku

Aku membeli edisi paperback buku ini dari Buku Akik Bookshop di Tokopedia.

Menurut Farah Tentang Buku Ini

Parade Hantu Siang Bolong merupakan buku kumpulan reportase karya jurnalis independen Titah AW. Sebelumnya, versi sunting 16 reportase ini sudah tayang di situs VICE Indonesia dalam rentang waktu 2017-2020. Dalam Parade Hantu Siang Bolong, kita akan menemukan reportase ini dalam bentuk utuh (uncut). Alih-alih menggunakan gaya bahasa “steril” & to-the-point dalam menjabarkan laporannya, Titah AW menulis layaknya seorang penulis yang merangkai prosa untuk karya fiksi. Hasil akhirnya adalah tulisan informatif menarik yang tidak membosankan ketika dibaca.

Hal Yang Disukai

Berikut adalah kutipan dari kalimat penutup pada kolom identitas penulis di akhir buku:
“Ia percaya bahwa jurnalisme yang bertutur sebagai cerita bisa jadi taktik memahami, bahkan hal paling absurd sedunia.”
Dan aku setuju. Points are made, me thinks.
Gaya penulisan “nyastra” dalam Parade Hantu Siang Bolong membuat reportase jadi lebih menarik perhatian ketika dibaca. Pengalaman pribadi membuatku segan membaca reportase karena gaya bahasanya yang seringkali kaku & tidak engaging. Dua perasaan barusan tidak muncul ketika aku membaca tulisan dalam buku 247 halaman ini. Titah AW berhasil meniti jalan untuk membuat reportase yang memicu rasa penasaran, informatif, dan mudah diikuti.
Hal lain yang menjadi daya tarik buku adalah tema yang diusung dalam reportasenya. Tersebar dalam 16 tulisan, kita akan menemukan laporan tentang berbagai mitos dan tradisi lokal yang berkembang di Pulau Jawa. Perkara mitos dan lokalitas memang mulai mengusik rasa penasaranku selama satu tahun belakangan. Kenyataan bahwa masyarakat Indonesia masa kini dengan effortless hidup bersisian dengan mitos yang merupakan warisan dari nenek moyang terdahulu membuatku bertanya-tanya. Bagaimana dan kenapa?
Untuk pembaca yang tidak punya waktu luang banyak, reportase yang terbilang pendek juga bisa dibaca dalam waktu singkat. Ini juga cocok untuk pembaca dengan attention-span singkat (aka me, myself, & I). Gambar hitam-putih yang melengkapi setiap reportase juga sangat membantu pembaca memvisualisasikan apa yang baru saja dibaca.
Penampakan buku fisik Parade Hantu Siang Bolong (seperti detail dan daftar isi) bisa dilihat dalam cuitan di bawah ini:

Detail, daftar isi, dan penampakan buku bisa dilihat dalam 4 gambar di cuitan ini: pic.twitter.com/252PQrotvP

— Farah (@farbooksventure) December 13, 2020

Dari 16 tulisan yang ada, ada tiga reportase yang paling berkesan buatku:

  • Mengunjungi Kampung Pitu, Desa yang Hanya Bisa Dihuni Tujuh Keluarga di Puncak Langgeran
Kampung yang ternama karena hanya bisa ditinggali oleh tujuh keluarga (tidak kurang/tidak lebih) ini memang menarik untuk diulik sejarahnya dari awal berdiri. Tapi, poin yang sangat membekas dari tulisan ini buatku adalah bagaimana minimnya populasi anak muda di Kampung Pitu saat ini. Sekilas mengingatkanku pada video Ask A Mortician tentang desa Nagoro di Jepang.

Sebuah masalah modern tentang bagaimana orang hidup bersesak-sesak di kota setelah meninggalkan desa yang akhirnya kosong tak berpenghuni (pembangunan yang merata when?)
  • Sekolah Pagesangan Ajak Anak Gali Budaya Tani Subsisten di Lahan Gersang Gunung Kidul
Ketika berujar bahwa aku ingin membuat perubahan yang berarti dalam hidup, apa yang dilakukan pendiri Sekolah Pagesangan inilah yang aku maksud. Inisiatif yang dia gagas membantu berdirinya komunitas masyarakat yang berdaya and I think it’s neat.
  • Info Cegatan Jogja, Utopia Media Komunitas Itu Nyata
Boleh jadi merupakan reportase paling wholesome dalam buku Parade Hantu Siang Bolong. Aku sangat membutuhkan asupan positif semacam ini selama beberapa bulan terakhir. Tidak berlebihan kalau reportase ini ditutup dengan kalimat “Faith in humanity restored!”

Kalau tertarik baca, aku juga sudah mencantumkan link menuju versi sunting tiga reportase ini pada bagian Bacaan Lanjutan di akhir kiriman ini.

Hal Yang Tidak Terlalu Disukai

Layaknya buku kumpulan tulisan kebanyakan, beberapa tulisan dalam buku lebih menonjol & solid daripada tulisan lain. Hal ini sangat aku rasakan ketika aku membaca reportase kelima tentang Tim SAR, pencarian pendaki yang hilang, dan bantuan dukun. Dari 16 reportase yang ada, reportase inilah yang paling menggugah rasa ingin tahuku ketika membaca judulnya di daftar isi.

Sayang sekali aku merasa ada sesuatu yang kurang setelah membacanya. Reportase ini seperti berakhir tiba-tiba dan belum terasa utuh. Mungkin aku akan lebih menikmati reportase ini kalau ada data/laporan pembanding tentang petunjuk dukun yang memang berhasil membantu SAR menemukan pendaki yang hilang.

Aku Akan Merekomendasikan Buku Ini Untuk…

Pembaca yang tertarik pada buku nonfiksi karya penulis lokal, ingin membaca reportase menarik & tidak membosankan, dan ingin mencari tahu lebih lanjut tentang beragam mitos dan tradisi/budaya lokal di Pulau Jawa.

Rating

3,5/5

Catatan dari Diskusi Kebab Reading Club (Sabtu, 19/12/20)

Parade Hantu Siang Bolong adalah salah satu book-pick dari Kebab Reading Club di tahun 2020. Selama kurang lebih dua jam pada 19 Desember 2020, anggota book club berdiskusi langsung dengan si penulis, Titah AW tentang buku dan proses penulisan beliau. Berikut adalah beberapa poin menarik yang aku catat dari diskusi ini:
  • Aku bukan satu-satunya pembaca yang merasa bahwa beberapa tulisan dalam Parade Hantu Siang Bolong berakhir cukup tiba-tiba (terutama tulisan tentang Tim SAR). Titah AW pun mengamini pendapat ini. Beliau menjelaskan bagaimana ini disebabkan oleh singkatnya waktu liputan yang dia punya & keterbatasan yang muncul mengingat tulisan ini adalah tulisan untuk tujuan jurnalistik.
  • Seorang pengulas di Goodreads sempat menggarisbawahi betapa jawa-sentris buku ini. Dalam diskusi pun muncul banyak pertanyaan tentang apakah ada rencana untuk menulis tentang mitos & lokalitas di luar pulau Jawa. Titah AW dengan antusias menjawab bahwa tentu saja keinginan itu ada. Dia sedang memikirkan jalan untuk merealisasikan ini. Selanjutnya, Titah juga berbagi cerita tentang liputan yang sempat dia lakukan ke Pulau Sulawesi.
  • Hal lain yang memicu diskusi seru adalah foto yang menghiasi Parade Hantu Siang Bolong. Beberapa orang merasa bahwa penggunaan foto hitam-putih sudah efektif. Di sisi lain, ada  yang menyarankan agar foto yang disematkan menggunakan kertas glossy atau dibuat full-color. Diskusi pada akhirnya tentu membahas biaya produksi & harga buku yang akan naik kalau saran ini direalisasikan. Aku pribadi merasa penggunakan kertas glossy untuk foto hitam-putih adalah solusi ideal karena foto hitam-putih di kertas buku kadang susah untuk dinikmati karena penampakannya yang bisa agak buram. Aku sendiri tidak keberatan kalau ada kenaikan harga karena ini.
  • Trivia/fun-fact: Ketika liputan tentang Golek Garwo, Titah AW sempat dikira sebagai peserta oleh panitia acara. 
Semoga rencana untuk menulis tentang mitos & lokalitas di luar pulau Jawa segera terealisasi ya. Aku akan sangat tertarik untuk membaca ini. 

Bacaan Lanjutan

Terhibur/terbantu dengan tulisan ini? Dukung Farah melalui Karyakarsa

Farah melacak bacaannya di situs buku alternatif  The Storygraph | farbooksventure di The StoryGraph

Ingin tanya-tanya & tetap anonim? Kirim saja pertanyaanmu lewat Curious Cat

[10/12/20] Tentang From Here to Eternity Karya Caitlin Doughty

“All that surrounds us comes from death, every part of every city, and every part of every person.”

Informasi Buku

Judul: From Here to Eternity: Traveling The World to Find the Good Death
Penulis: Caitlin Doughty
Penerbit: Weidenfeld & Nicolson (W&N)
Illustrator: Landis Blair
ISBN: 9781474606530
Tahun publikasi: 2019 (pertama kali dipublikasikan tahun 2017)
Jumlah halaman: 272 halaman
Buku: paperback milik pribadi
Bahasa: Inggris
Kategori Umur: Adult
Trigger Warning: Death (animal death / child death), Grief
Baca detail buku ini di The Storygraph

Blurb Buku

The best-selling author of Smoke Gets in Your Eyes expands our sense of what it means to treat the dead with “dignity.”


Fascinated by our pervasive terror of dead bodies, mortician Caitlin Doughty set out to discover how other cultures care for their dead. In rural Indonesia, she observes a man clean and dress his grandfather’s mummified body. Grandpa’s mummy has lived in the family home for two years, where the family has maintained a warm and respectful relationship. She meets Bolivian natitas (cigarette-smoking, wish-granting human skulls), and introduces us to a Japanese kotsuage, in which relatives use chopsticks to pluck their loved-ones’ bones from cremation ashes.

With curiosity and morbid humor, Doughty encounters vividly decomposed bodies and participates in compelling, powerful death practices almost entirely unknown in America. Featuring Gorey-esque illustrations by artist Landis Blair, From Here to Eternity introduces death-care innovators researching green burial and body composting, explores new spaces for mourning—including a glowing-Buddha columbarium in Japan and America’s only open-air pyre—and reveals unexpected new possibilities for our own death rituals.

Pilihan Akses Buku

Aku membeli edisi paperback From Here to Eternity di Big Bad Wolf (BBW) Tokopedia. Buku ini juga ada di katalog Toko Buku Online Periplus & Opentrolley Indonesia. Buku elektronik sendiri bisa ditemukan di Google Play Book. Aku mendengar edisi audiobook From Here to Eternity di Scribd.

Scribd Tips 1: Kalau ingin mencoba Scribd, kamu bisa sign up melalui link referral ini. Kamu bisa free trial Scribd selama 60 hari. Aku sendiri mendapat jatah langganan selama 30 hari. Simbiosis mutualisme, am I right? 
Scribd Tips 2: Kamu juga bisa patungan langganan dengan 4 orang lain (satu akun Scribd bisa dibuka di lima gawai berbeda). Kalau aktif di Twitter, mampir saja ke Literary Base. Sesama pembaca rutin mencari teman patungan di sana.

Menurut Farah Tentang Buku Ini

Hal Yang Dibahas

Dalam From Here to Eternity, Caitlin Doughty mengeksplorasi berbagai ritual yang dilakukan masyarakat dari delapan tempat berbeda untuk menanggapi kematian anggota komunitas mereka. Beberapa kelompok memilih kremasi. Kelompok lain rutin berinteraksi dengan mereka yang sudah berpulang dengan cara yang boleh jadi tidak terbayangkan oleh masyarakat Barat (baca Amerika Serikat, selanjutnya disebut AS).

Dalam buku 272 halaman ini, Doughty mengkritik bagaimana komersialisasi industri pemakaman di AS selama beberapa dekade terakhir berimbas negatif pada persepsi masyarakat AS tentang kematian. Komersialisasi ini secara tidak langsung membangun “dinding” antara yang berpulang dan yang ditinggalkan. “Dinding” ini terbentuk seiring dengan kecenderungan penyelenggaraan jenazah di AS yang dilakukan sepenuhnya oleh staf funeral home tanpa melibatkan keluarga jenazah. Keluarga sering kali tidak memiliki ruang atau kesempatan untuk terlibat langsung dalam ritual kematian orang terdekatnya.

Doughty percaya bahwa partisipasi langsung keluarga jenazah dalam ritual kematian adalah langkah krusial dalam proses berduka yang mereka lalui. Iklim industri pemakaman saat ini sayangnya tidak mendukung keterlibatan seperti ini. Jarak yang terbentuk antara jenazah dan keluarga yang ditinggalkan inilah yang membentuk “dinding” tadi.

Alih-alih menerima kematian sebagai realita kehidupan, “dinding” ini membuat sebagian besar orang menolak untuk bahkan membicarakannya. Bagaimana kita bisa berduka sepenuhnya agar bisa pulih di kemudian hari, kalau kita masih menolak untuk hidup berdampingan dengan kenyataan ini?

Melalui eksplorasinya ke berbagai komunitas yang hidup bersisian dengan kematian, Doughty berharap akan ada lebih banyak orang AS yang terbuka untuk membicarakan kenyataan hidup ini. Dia juga berharap agar orang-orang lebih terbuka dan tidak langsung menghakimi ketika berhadapan dengan ritual kematian yang berbeda dari tradisi mereka sendiri.

Hal Yang Disukai

Jauh sebelum menyebarkan pesan tentang death-positivity melalui buku nonfiksi, Caitlin Doughty sudah melakukan ini dalam berbagai video di kanal Youtube-nya; Ask A Mortician. Keluwesan & humor Doughty dalam video-video ini ikut terbawa ke dalam gaya penulisan di From Here to Eternity. Tidak peduli dalam bentuk video atau tulisan, Doughty selalu mengedukasi audiensnya tentang kematian/industri pemakaman secara terbuka tanpa kehilangan gaya humor penuh hormatnya. Doughty mampu mengemas beragam topik & pertanyaan sulit yang muncul tentang kematian menjadi narasi informatif yang tetap menarik & membuat tenang ketika kita coba resapi.

Dari delapan tempat yang Doughty tulis dalam buku ini, tiga tulisan tentang tiga tempat begitu memorable bagiku;
  • Indonesia: South Sulawesi
Tulisan Doughty tentang Tana Toraja benar-benar menunjukkan kelihaiannya dalam membuat tulisan kaya humor tanpa mengesamping rasa hormat. Peak humor yang aku bicarakan: ketika turis lokal dari Jakarta secara random mengajak Doughty untuk selfie. Mengutip langsung dari buku:

“Strange as this felt in the moment, I could see why the discovery of a six-foot-tall white girl in a pol-ka-dot dress in the corner of a cave filled with skulls would be an Instagrammable moment. They took several pictures with me in different poses before moving on.”

Aku mengapresiasi pendekatan Doughty yang tidak menghakimi dan terbuka dalam tulisannya.

  • Mexico: Michoacan
Ini boleh jadi merupakan tulisan paling heartbreaking dalam buku ini. Doughty menulis tentang Dia de Muertos & bagaimana hari libur ini sangat berarti untuk seorang teman yang tengah berduka. Aku suka bagaimana bagian ini menggarisbawahi pentingnya menghadapi kematian secara terbuka ketika sedang berduka agar kita bisa melanjutkan hidup di kemudian hari.

  • California: Joshua Tree
Aku mengenal tradisi sky burial dan Tower of Silence untuk pertama kalinya dalam tulisan penutup buku ini. Aku rasa aku tidak akan melupakan apa yang sudah aku baca ini dalam waktu dekat. Sedikit banyaknya aku bisa mengerti kenapa Doughty merasa tradisi sky burial akan memberi ketenangan untuknya secara pribadi setelah kematian. Diskusi tentang bagaimana tradisi ini mulai ditinggalkan karena berbagai faktor juga sungguh menarik untuk dibaca.

Hal Yang Tidak Terlalu Disukai

Secara keseluruhan aku tidak memiliki kritik untuk From Here to Eternity sebagai sebuah buku. Tapi, aku memiliki kritik untuk edisi audiobook buku ini.

Ketika mendengar audiobook & membaca edisi paperback secara bersamaan, aku mengamati ada beberapa bagian yang tidak dibacakan dalam edisi audiobook. Bagian yang tidak dibacakan biasanya adalah detail statistik (contoh: paragraf dua dari bawah di halaman 29 edisi paperback). Meskipun tidak banyak, aku harap edisi audiobook bisa diperbaharui sehingga bagian yang hilang bisa ditambahkan karena detail yang ditinggalkan sangat menarik untuk diketahui.

Aku juga lebih menyukai edisi paperback karena kita bisa mengapresiasi beragam ilustrasi ciamik yang melengkapi From Here to Eternity di sepanjang buku:

First things first, it’s a nice book to look at. The illustrations provided are great too! pic.twitter.com/H78ARf0dhg

— Farah (@farbooksventure) November 14, 2020

Minus lain untuk edisi audiobook adalah fakta bahwa author acknowledgement dan daftar pustaka tidak tersedia untuk dibaca. Aku harap provider audiobook juga menawarkan dua hal ini dalam produknya di masa depan.

Aku Akan Merekomendasikan Buku Ini Untuk…

Seseorang yang mencari bacaan non fiksi unik, bisa dibaca cepat/sekali duduk, dan disampaikan dalam bahasa Inggris mudah dimengerti. Kalau kamu adalah tipe orang dengan selera humor morbid, buku-buku & video Caitlin Doughty sepertinya dibuat untukmu.

Aku mengenal Ask A Mortician sendiri lewat video tentang Lake Superior ini:



Aku sudah menjadi subscriber setia Doughty sejak saat itu.

Rating

5/5 

Tontonan Lanjutan


Farah melacak bacaannya di The Storygraph.

Tentang Less Karya Andrew Sean Greer

“How does Less get the world so wrong? Over and over again? Where is the exit from moments like this? Where is the donkey door out?”

Informasi Buku

Judul: Less
Penulis: Andrew Sean Greer
Penerbit: Back Bay Books
ISBN: 9780316316132
Bulan/tahun publikasi: Mei 2018 (pertama kali dipublikasikan pada Juli 2017)
Jumlah halaman: 263 halaman
Cetakan: reprint edition
Buku: paperback milik pribadi (dibeli di Periplus Online Bookstore)
Bahasa: Inggris
Kategori umur: adult
Temukan buku ini di Goodreads

Blurb


Who says you can’t run away from your problems? You are a failed novelist about to turn fifty. A wedding invitation arrives in the mail: your boyfriend of the past nine years is engaged to someone else. You can’t say yes–it would be too awkward–and you can’t say no–it would look like defeat. On your desk are a series of invitations to half-baked literary events around the world.

QUESTION: How do you arrange to skip town?
ANSWER: You accept them all.

What would possibly go wrong? Arthur Less will almost fall in love in Paris, almost fall to his death in Berlin, barely escape to a Moroccan ski chalet from a Saharan sandstorm, accidentally book himself as the (only) writer-in-residence at a Christian Retreat Center in Southern India, and encounter, on a desert island in the Arabian Sea, the last person on Earth he wants to face. Somewhere in there: he will turn fifty. Through it all, there is his first love. And there is his last.

Because, despite all these mishaps, missteps, misunderstandings and mistakes, Less is, above all, a love story.



Menurut Farah Tentang Buku Ini

Semua dimulai dari sampul Less. Aku rasa aku sedang dalam mood untuk membeli buku secara “buta” waktu itu. Aku tidak mencari tahu apa-apa tentang buku ini. Tidak genre. Tidak sinopsis cerita. Apalagi ulasan buku. Aku bahkan belum tahu buku inilah yang diganjar penghargaan Pulitzer untuk Fiksi pada 2018. Aku hanya melihat sampulnya, jatuh hati, dan tanpa ragu langsung beli. Keputusan yang cukup berani mengingat bagaimana harga Less masih terbilang tinggi waktu itu (lucunya, saat menulis ini Less sedang diskon di toko buku langgananku 👀). Kalau kurang beruntung dan tidak suka dengan apa yang novel ini tawarkan tentu aku hanya bisa gigit jari.

Jujur saja aku sempat khawatir inilah yang akan terjadi ketika membaca seperempat awal novel ini. Less menuturkan kisah Arthur Less, seorang penulis pria paruh baya di tengah masa sulit dalam ranah personal/profesional yang melakukan perjalanan 80 hari ke berbagai tempat di dunia. Sekilas premis ini terdengar familiar dan biasa saja. Nothing new really. Ini adalah premis yang entah bagaimana aku asumsikan merupakan resep menuju critical acclaim; tulisan serius (yang di dalam-dalamkan padahal trivial) tentang seorang pria yang mencari jati diri/makna hidup lewat kunjungannya ke berbagai tempat baru/tidak biasa. Ketika mendengar istilah literary fiction, jenis tulisan yang aku bayangkan adalah tulisan introspektif & suram. Biasanya bukan bacaan menyenangkan yang mengundang senyum. Aku bersyukur karena Less tidak mengikuti jalur ini.

Setelah membaca beragam wawancara Andrew Sean Greer terkait novel Less di internet, tidak mengherankan mungkin kalau pada awalnya memang jalur inilah yang ingin ditempuh Greer;
 
ASG’s decided to make it comedy! (Adrienne Westenfeld – Esquire)

   







An important realization (Elizabeth Flock – PBS)

Saking meta-nya, Geer bahkan membuat penulis protagonis cerita kita, Arthur Less, menulis novel semacam ini untuk buku keduanya (yang gagal). Sebelum akhirnya disadarkan tokoh lain bahwa buku jenis ini terlampau pretentious dan tidak akan menyenangkan untuk dibaca. Ulasan dari The Guardian ini bahkan di buka dengan momen meta yang aku bicarakan di atas;

Saking meta-nya aku pun pusing sendiri (Patrick Gale – The Guardian)


Ketika menamatkan novel ini untuk pertama kali, aku kesulitan untuk menjelaskan alasan dibalik kecintaanku padanya. Fakta bahwa Less “menyimpang” dari jalur yang biasanya diambil penulis literary fiction pemenang perhargaan bisa jadi adalah salah satu alasannya. Kesadaran bahwa buku ini mengambil premis lama yang dibungkus dalam bentuk baru yang lebih menyenangkan datang setelah aku membaca novel fiksi romantis lain (yang protagonisnya juga adalah penulis di tengah kesulitan personal dan finansial).

You never told me what you write, Everett. I’m sure it’s something really groundbreaking and important. Totally new and fresh. Like a story about a disillusioned white guy, wandering the world, misunderstood and coldly horny.”

Kutipan tersebut diucapkan oleh January Andrews, salah satu protagonis dalam novel Beach Read karya Emily Henry yang baru rilis pertengahan Mei 2020. Ketika membaca ini, aku entah mengapa merasa ter-called out karena sangat familiar dengan genre bacaan semacam ini.  Beberapa minggu lalu, aku juga mengenal sepupu lebih sinister dari “genre” ini, terima kasih pada cuitan seseorang di Twitter;
Porny gay novel/memoir about an American who goes to a foreign country and screws around with a native then ditches him to go back to the US: a genre

— Anton Hur (@AntonHur) May 13, 2020

Novel yang langsung muncul di kepala karena cuitan ini adalah novel What Belongs to You-nya Garth Greenwell. Aku gagal paham dengan apa yang sebenarnya ingin novel ini kisahkan. There’s no point in this story I feel. Gaya penulisannya juga membuat sakit kepala alih-alih indah. Secara superfisial, novel ini berbagi kesamaan dengan Less; mengisahkan tentang perjalanan seorang pria kulit putih yang melarikan diri dari kenyataan dengan melakukan perjalanan ke negeri asing.


Less berhasil menurutku karena ditulis dengan self-aware. Alih-alih membuat Less menjadi the-next-deep-and-oh-so-serious-fiction, penulis memutuskan untuk bersenang-senang dan memasukan humor & kebahagiaan sebanyak yang dia bisa dalam cerita. Protagonis kita mengalami kesulitan bertubi-tubi sepanjang cerita, sampai akhirnya dia belajar dari kesalahan serta ketidaktahuannya untuk akhirnya mencicipi kebahagiaan di akhir. The author truly making fun of his protagonist in this one, it’s fun to read until the end. Dalam wawancaranya dengan Esquire, Geer membeberkan ini;

Pada akhirnya, yang membuatku begitu menikmati Less adalah kisah romantis & outlook positif yang kadang diikuti momen bittersweet dalam ceritanya. Aku tidak menyangka kisah romantis bisa begitu memuaskan & se-nyastra kisah yang satu ini. Arthur Less bukanlah seorang saint tanpa dosa (meskipun ada sesuatu yang “naif” tentang karakternya). Di masa lalu dia melakukan banyak tindakan questionable. Hanya saja, setelah melihat bagaimana Arthur sampai pada kesadaran diri baru di akhir perjalanannya, sebagai pembaca aku ikut bersorak untuknya. 
This is exactly me at the end of Less (Adrienne Westenfeld – Esquire)
Less boleh saja menjadi bacaan berhasil untukku. Namun ternyata beberapa pembaca di Goodreads malah merasakan sebaliknya.
Kalau kamu ingin membaca literary fiction pemenang Pulitzer, tapi tidak mood dengan bacaan serius & suram… Aku harap kamu memberi buku ini kesempatan.

Rating

4,5/5

Tulisan Lain Dalam Kiriman Ini/Bacaan Lanjutan

1. Urban Dictionary – Definisi Meta

Terhibur/terbantu dengan tulisan ini? Dukung Farah melalui Karyakarsa

Farah melacak bacaannya di situs buku alternatif  The Storygraph | @farbooksventure

Ingin tanya-tanya & tetap anonim? Kirim saja pertanyaanmu lewat Curious Cat

[16/05/20] Tentang Mythology: An Illustrated Journey Into Our Imagined World Karya Christopher Dell


“The desire to tell stories is a fundamental part of the human condition. When it’s coupled with an innate need to make sense of our surroundings and to understand the origins of things, the result is mythology.”

Informasi Buku

Judul: Mythology: An Illustrated Journey Into Our Imagined World
Penulis: Christopher Dell
Penerbit: Thames Hudson
ISBN: 9780500291511
Bulan/tahun publikasi: Januari 2016 (pertama kali dipublikasikan September 2012)
Jumlah halaman: 352 halaman
Buku: paperback milik sendiri (dibeli di Toko Buku Daring Periplus)
Bahasa: Inggris
Temukan buku ini di Goodreads

Blurb

 Every culture has its own myths, and this lively and accessible compendium gathers some of humankind’s most enduring stories in one place. Here, from every corner of the globe, are tales of the world’s creation, undying love, the Sun and the Moon, gods of the weather, tricksters, terrible monsters, the afterlife and the underworld, and more. Looking at the overarching themes of the world’s mythologies, Christopher Dell shows how many myths share common patterns and traces how the human imagination, in all its diversity, has expressed itself through the ages.

From the ancient Norse characters to Homer’s epics to Gilgamesh, from the Hindu deities to the Old Testament and King Arthur, this is the perfect introduction to mythology. Brought to life through hundreds of colorful, beautiful, and sometimes bizarre illustrations, this book will appeal to anyone interested in the tales we tell to make sense of the world around us.


Menurut Farah Tentang Buku Ini

Ketertarikanku terhadap mitologi berkembang secara perlahan selama beberapa tahun terakhir. Sebagai seorang newbie, aku menyadari bahwa alih-alih langsung terjun ke satu mitologi spesifik, aku lebih menikmati overview (selayang pandang) terhadap beragam mitologi yang ada di dunia. Untuk kemudian mengamati benang merah yang ada dalam mitologi-mitologi bersangkutan. Kesadaran ini datang setelah aku menyaksikan rangkaian video Crash CourseWorld Mythology’ di Youtube:
 
Tangkapan layar dari playlist ‘World Mythology’ di kanal Youtube Crash Course
Rangkaian video inilah yang akhirnya membuatku tergerak untuk mencari buku nonfiksi yang mengangkat mitologi sebagai pembahasan. Pencarian ini ternyata cukup sulit karena ada begitu banyak pilihan di luar sana. Sebagian besar buku juga cenderung fokus pada mitologi dari peradaban tertentu. Aku yang masih belum tahu ingin fokus pada mitologi apa ingin mencari buku yang bisa menawarkan “perkenalan” terhadap beragam mitologi di dunia agar bisa mengambil keputusan kemudian. Gayung bersambut ketika aku menemukan buku Mythology: An Illustrated Journey Into Our Imagined World di situs toko buku langganan.

Sampul biru & cantik buku inilah yang pertama kali menangkap mataku. Setelah menelusuri ulasan bukunya di Goodreads, aku makin yakin bahwa ini adalah pilihan tepat sebagai bacaan pembuka. Aku dibuat terkejut campur senang ketika menyadari bahwa buku ini tidak hanya menyirami otak tapi juga memanjakan mata. Keindahan memang tidak berakhir di sampul buku ini saja. Dilengkapi dengan kurang lebih 400 ilustrasi, perjalanan menelusuri benang merah mitologi antar peradaban menjadi lebih berwarna dan semarak dalam buku 352 halaman ini. Mythology: An Illustrated Journey Into Our Imagined World memadukan narasi singkat & informatif dengan beragam ilustrasi cantik untuk mengenalkan beragam topik yang bisa dijadikan bahan diskusi dalam mitologi kepada pembacanya.
Aku sempat membagikan beberapa gambar dari ilustrasi favorit yang aku temukan dalam buku ini di utas bacaku di Twitter;
Some more pictures that caught my eyes in this round of reading; pic.twitter.com/BAs6AWhOPn

— Farah (@farbooksventure) May 8, 2020

Dibagi menjadi 8 bab besar, pembaca akan disuguhi pembahasan tentang ranah supernatural dalam beragam mitos, senyawa/bahan simbolis, penciptaan bumi/manusia, makhluk yang hanya ada dalam mitos, serta para pahlawan serta kisah perjalanan epik mereka. Pada bagian penutup  juga dicantumkan overview dari beberapa peradaban yang mitologinya sudah disinggung dalam pembahasan di halaman awal. Indeks & daftar bacaan lanjutan juga tersedia bagi pembaca yang ingin mencari sumber bacaan spesifik.

Membaca Mythology: An Illustrated Journey Into Our Imagined World adalah pengalaman yang menyenangkan. Aku tidak pernah berhenti terkagum-kagum ketika membaca bagaimana kreatifnya manusia dari zaman ke zaman dalam membuat cerita untuk memahami fenomena di lingkungan sekitarnya. Kekaguman ini terasa begitu kuat ketika aku mengenal mitos yang dibuat penduduk Yunani kuno untuk menjelaskan fenomena pergantian musim; The Abduction of Persephone untuk kali pertama. Kekaguman ini semakin bertambah ketika buku ini menggarisbawahi bagaimana terlepas dari kondisi peradaban / sosio-demografik berbeda, berbagai peradaban tetap berbagi kesamaan dalam beragam cerita-cerita mitosnya.

Aku hanya memiliki keluhan minor. Dari segi fisik, buku ini terbilang besar dan berat. Jadi, buku ini memang bukan buku yang tepat untuk diboyong kemana-mana. Pembaca juga harus hati-hati ketika membuka buku ini karena binding bukunya rentan lepas. Dari segi isi, beberapa pengulas di Goodreads menyayangkan dangkalnya informasi yang ditawarkan buku ini. Aku bisa bersimpati dengan poin itu tentu saja. Akan tetapi, karena memang sudah memiliki ekspektasi bahwa buku ini adalah Mythology 101, keluhan ini tidak terlalu mengusikku. Kritik lain yang bisa aku amini adalah bagaimana western-centric-nya topik dalam buku ini. Aku harap aku bisa menemukan buku semacam ini yang lebih memusatkan pembahasan pada mitologi di daerah Asia atau Afrika.


Akhir kata, aku akan merekomendasikan buku ini untuk pendatang baru dalam dunia mitologi. Kalau kau mencari bacaan pengantar yang memberi uraian singkat tentang beragam mitologi yang ada di dunia & tidak keberatan mendapat bonus ilustrasi yang memanjakan mata, buku ini dapat menjadi pilihan bacaanmu.

Aku juga merekomendasikan membaca Mythology: An Illustrated Journey Into Our Imagined World sembari menyaksikan playlist Crash Course World Mythology. Berdasarkan pengalaman pribadiku, dua medium ini saling melengkapi satu sama lain & memperkaya pengalaman membaca kita.

Rating

5/5

Farah di tempat lain: Goodreads | Instagram | Twitter 

[31/01/20] Tentang Traveling Aja Dulu! Karya Olivia Dianina Purba

 “Meski terdengar klise, memang benar bahwa saya tidak pernah sendiri selama perjalanan [panjang ke luar negeri] itu.

Informasi Buku 

Judul: Traveling Aja Dulu!
Penulis: Olivia Dianina Purba
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 9786020622071
Tahun publikasi: 2018
Jumlah halaman: 256 halaman 
Buku: milik pribadi (terima kasih atas kiriman bukunya Kak Olivia!)
Bahasa: Indonesia
Kategori umur: young adult
Temukan buku ini di Goodreads

Blurb

Olivia telah bepergian ke 35 negera di dunia, hampir seluruhnya didanai. Dalam buku ini, ia akan menceritakan pengalamannya dan tips and trick seru yang bisa dipraktikkan, baik bagi kamu yang newbie maupun expert dalam dunia traveling.

Dalam buku ini kamu akan mendapatkan paket lengkap, yakni;
> Alasan-alasan penting untuk traveling
> Visa, paspor, dan asuransi perjalanan
> Koper isi minimalis
> Cara mendapatkan sponsor traveling dan kerja samnil kuliah di luar negeri
> Menjalin pertemanan di seluruh dunia
> Berhemat saat traveling
 > Cerita traveling yang inspiratif dan informatif
Jadi, tidak masalah kalau bujetmu terbatas dan bukan terlahir dari keluarga kaya raya, masih ada banyak jalan menuju Roma.
Tidak percaya? Kalau begitu, buku ini tepat untukmu!

Menurut Farah Tentang Buku Ini

Beberapa bulan sudah berlalu sejak aku terakhir kali membaca buku-buku travelogue/catatan perjalanan. Pada satu titik dalam beberapa tahun terakhir, aku memang akan selalu kembali ke bacaan sejenis ini. Buku travelogue ibarat bacaan penenang (comfort read?) untukku. Sepanjang tahun aku sudah berkelana ke berbagai semesta dalam buku fiksi & tenggelam dalam beragam argumen di buku non-fiksi. Membaca travelogue yang notabene-nya adalah tulisan personal tentang pengalaman, pengamatan, kesan, serta pemikiran yang singgah ke pemikiran seorang penulis yang tengah berinteraksi dengan lingkungan baru entah kenapa terasa menenangkan. Kejujuran para penulis ini dalam memaparkan kisah-kisah mereka & kekaguman yang dapat kita rasakan dalam setiap tulisan boleh jadi merupakan beberapa hal yang membuat buku-buku travelogue begitu mempesona buatku.
Ketika Kak Olivia (@odianina) dari @traveling.aja.dulu
datang dengan tawaran menarik untuk mengulas sebuah buku yang merupakan
gabungan memoar & catatan perjalanan (a.k.a 2 jenis buku yang
menarik hatiku!), aku langsung setuju. Secara garis besar,
Traveling Aja Dulu! merupakan buku catatan perjalanan seseorang yang berkesempatan singgah ke beberapa puluh negara di dunia lewat jalur yang juga bisa ditempuh masyarakat kebanyakan. Pembaca juga bisa menemukan beragam tips & trik berfaedah yang bisa langsung diterapkan ketika ingin mulai ber-traveling ria.
Traveling Aja Dulu! juga menyemangati kita agar tidak ragu untuk memulai traveling, bahkan ketika harus melakukannya sendiri.

Apa hal berbeda yang ditawarkan buku ini?

Dalam Traveling Aja Dulu!, Olivia Dianina Purba menawarkan sudut pandang baru dalam lautan cerita-cerita perjalanan yang sudah ada. Sebagian besar travelogue yang sudah aku baca sejauh ini dituturkan dari sudut pandang traveler yang menjadikan traveling sebagai sarana escapism (rehat sejenak) dari rutinitas & pekerjaan mereka. Traveling & pekerjaan biasanya adalah 2 hal yang terpisah. Menariknya, dalam Traveling Aja Dulu! kita akan melihat bagaimana traveling dan sepak terjang profesional seseorang dalam dilakukan dengan bersisian. Buku ini memang fokus pada bagaimana seseorang dapat berkelana ke berbagai negara dengan modal seminimal mungkin. Caranya bagaimana? Memanfaatkan jalur pendidikan tentu saja!
Buku 256 halaman ini dibagi ke dalam 10 bab & ditutup dengan sebuah epilog. Dalam 4 bab awal, penulis menjabarkan tips&trik pribadinya ketika traveling. Enam bab berikutnya merupakan kumpulan cerita penulis tentang pengalamannya mengunjungi berbagai tempat; pengalaman traveling pertama, kemana menuntut ilmu membawanya, tempat-tempat apa saja yang sempat dia kunjungi di tengah menunaikan kewajiban profesional di berbagai negara. Beragam grant, beasiswa, maupun program yang mengantarkan penulis ke beragam tempat ini juga tidak ketinggalan uraiannya dalam buku Traveling Aja Dulu!

Bagian favoritku tentu saja adalah anekdot yang lahir dari pengamatan penulis dalam perjalanannya melanjutkan pendidikan tinggi di Australia ini;

Bagian Favorit: Tentang Canberra & Minimnya Transportasi Umum

Sebagai seorang pejalan kaki & pengguna transportasi umum garis keras, topik tentang pilihan transportasi umum di berbagai tempat selalu menarik minatku. Sebagai seseorang yang lahir serta besar di Indonesia dan belum ada kesempatan untuk traveling lintas benua, aku selalu berasumsi bahwa benua seperti Australia secara merata sudah memiliki sistem transportasi umum nan efektif & menjadi idaman semua pengguna transportasi umum di luar sana. Ternyata asumsi ini tidak sepenuhnya benar ya kalau merujuk pada penuturan Kak Olivia tentang kota Canberra dalam Bab 7: Traveling Sambil Kuliah di Luar Negeri‘.
Sepertinya tidak peduli di negara maju ataupun negara berkembang, beberapa tempat memang memiliki sistem transportasi umum yang lebih efektif/efisien daripada tempat lain (tata kota & faktor lain tentu saja mempengaruhi hal ini!). Glad to know this fact before I have chances to explore Australia myself.

Honorable mention (bagian favorit Farah): tulisan kedua dalam ‘Bab 8: Rasanya Tinggal di Berbagai Benua‘, membuatku tergoda & ingin mampir ke kota Medellin di Kolombia juga!

More Anecdote, Please!

Menuju ke akhir buku, sayang sekali beberapa bagian menjadi agak monoton. Aku tentu bisa maklum mengingat bagaimana buku ini ditulis dengan gaya catatan perjalanan yang personal. Bagian yang terasa monoton biasanya berisi daftar beruntun beragam tempat/atraksi wisata yang sempat penulis kunjungi.