Tentang Nonfiction November 2021 dan 8 Buku yang Aku Baca

Tentang partisipasi tidak sengaja dalam Nonfiction November


Mulai aktif kembali di ranah perbukuan internet memperkenalkanku pada istilah baru tahun ini, Nonfiction November. Ternyata beberapa pembaca memilih bulan November untuk fokus membaca buku nonfiksi saja. Aku yang sadar dengan keterbatasan diri memutuskan untuk tidak berpartisipasi dalam tantangan baca satu ini. Sebagai tipe pembaca yang kepalanya mudah mumet, buku nonfiksi buatku harus dibaca berdampingan dengan buku fiksi. Buku nonfiksi yang cenderung aku baca juga rata-rata bertema berat. Jadi, keputusan untuk tidak ikut sebenarnya cukup bijak.

Terlepas dari kenyataan ini, alam bawah sadarku sepertinya tetap ingin menaklukkan Nonfiction November. Meskipun tidak sedrastis hanya membaca nonfiksi selama satu bulan, pada bulan November 2021 aku membaca lebih banyak nonfiksi daripada biasanya.


Rasio nonfiksi & fiksi yang biasanya 25:75 berubah jadi 38:63!

Berikut statistik & daftar bacaanku untuk bulan November 2021:

Statistik Bacaan November 2021

Bulan lalu aku berhasil menamatkan 8 buku. Satu buku nonfiksi sudah aku baca sejak Oktober. Satu nonfiksi lain masuk dalam daftar bacaan favoritku tahun lalu. Mood untuk baca ulang buku favorit memang mendadak menghampiri. Kalau bicara mood bacaan sendiri, mood informatif akhirnya berada di puncak atas nama spirit Nonfiction November yang tanpa sadar aku ikuti:


November ternyata juga merupakan bulan teratas dalam hal jumlah halaman yang aku baca (2.024 halaman) pada tahun 2021. Di tempat kedua ada bulan Maret dengan 1.923 halaman. Seperti yang bisa dilihat dari grafik di bawah, sebagian besar halaman aku baca di paruh awal November. Aku memang menutup bulan dengan membaca audiobook.

Dari segi format, bacaanku tersebar merata dalam bentuk print, digital, dan audio. Belakangan aku memang coba-coba menggilir bacaan dalam 3 format berbeda supaya tidak bosan. Aku sangat puas ketika sadar kalau 3 dari 4 edisi print/cetak adalah campuran TBR fisik lama & baru. Kalau tidak ada halangan, tahun depan aku memang ingin lebih ambis lagi dalam hal mengurangi TBR secara drastis. Walau sudah puas dengan kondisi TBR fisik, aku masih harus coba-coba lagi dengan TBR digital. Ketika tulisan ini ditulis TBR-ku di Scribd sudah sampai 70-an buku 😬

Daftar Bacaan November 2021

Neraka Dunia (Nur Sutan Iskandar)

Aku membuka November dengan bacaan tidak terduga. Seperti yang sudah sempat aku ungkapkan dalam kiriman Instagram dari awal Desember, aku sudah punya ekspektasi khusus untuk buku yang terbilang tipis ini. Tidak hanya memenuhi ekspektasi spesifik itu, cerita dalam Neraka Dunia juga menawarkan perspektif yang belum aku pertimbangkan perihal kondisi sosial budaya di tahun 1930-an. Sebagai pembaca dari 2021, aku terpana dengan betapa drastisnya dunia berubah & bagaimana beberapa hal tetap sama saja. Satu hal yang menurutku tidak berubah baik dulu maupun sekarang adalah ini: komunikasi kesehatan yang jelas dan transparan adalah hal krusial yang harus diperhatikan.

Invisible Cities (Italo Calvino)

Berpartisipasi dalam The StoryGraph’s Genre Challenge mempertemukanku dengan beberapa bacaan menantang yang ada di luar zona nyaman. Meskipun begitu, bahkan buku-buku dalam tantangan ini tidak ada yang membuatku seterkejut Invisible Cities. Ditulis oleh penulis ternama Italia, Invisible Cities merupakan narasi tentang berbagai kota fiksional yang sudah disinggahi Marco Polo (betul, Marco Polo yang ITU). Marco Polo sendiri menarasikan ini kepada figur sejarah lain: Kublai Khan.

Di antara baris demi baris kalimat cantik dan surreal, Calvino menyelipkan renungan dan filosofinya tentang banyak hal. Tentang perjalanan tentu saja. Tentang kematian juga ada. Baca 2 kutipan berkesan yang aku sempat tandai ketika membaca Invisible Cities dalam ulasan StoryGraph ini. Aku menemukan Calvino tanpa sengaja lewat katalog Big Bad Wolf & aku tidak sabar untuk mengeksplor karyanya yang lain dalam waktu dekat. Buku-buku Calvino juga banyak yang tersedia di Scribd.

Aku harap aku bisa membaca memoar The Road to San Giovanni tahun depan.

Sambal & Ranjang (Tenni Purwanti)

Seorang kawan lama dengan baik hati mengirim buku kumpulan cerpen (kumcer) ini bersamaan dengan 2 buku lain yang sempat dia pinjam beberapa waktu lalu (thank you Amik!). Sambal & Ranjang memang sudah nongkrong di wishlist-ku sejak tahun 2020. Senang rasanya ketika bisa mencoret satu judul dari daftar buku kumpulan cerpen yang ingin aku baca.

Selain didominasi oleh cerpen bertema feminisme, tema tentang kesehatan mental juga begitu kentara dalam buku yang mengumpulkan 16 cerpen ini. Cocok untuk pembaca yang mencari cerpen dengan tema segar & belum terlalu sering digali.

Sayang sekali, meskipun bertema segar, aku tidak menikmati Sambal & Ranjang sebesar harapanku di awal. Gaya bahasa & penulisan dalam kumcernya terlampau kaku untuk seleraku. Setelah membaca bagaimana penulis memiliki latar belakang sebagai jurnalis di profil belakang buku, gaya penulisan dalam Sambal & Ranjang jadi lebih masuk akal. Tetap saja, it doesn’t work for me.

Dress Codes: How The Laws of Fashion Made History (Richard Thompson Ford)

Dalam buku nonfiksi > 500 halaman ini, Richard Thompson Ford melacak bagaimana manusia dari abad ke abad (secara spesifik di Barat) tidak pernah kehabisan ide dalam hal mengukuhkan status sosialnya di masyarakat. Ford sendiri fokus membahas bagaimana hukum berkaitan dengan baju atau cara berpakaian (sumptuary law) sangat jamak dalam sejarah peradaban manusia. Profesor di Sekolah Hukum Stanford ini juga berargumen tentang peran sentral yang dimiliki baju/dress code bagi individu atau dalam komunitas/budaya secara umum.

Kalau kamu gemar membaca bacaan sejarah menarik dan ramah pembaca awam, Dress Codes patut dicoba. Walaupun bukan merupakan bacaan sekali duduk (karena tebal & kaya akan info), Dress Codes tetap membuat kita betah membaca sampai akhir.

Buku ini adalah angin segar di tengah rentetan buku nonfiksi dengan gaya penulisan akademik yang membuat pusing & membosankan. Juga bisa menjadi pilihan bacaan untuk yang penasaran dengan bacaan bertema hukum. Salah satu buku favorit & paling berkesan yang aku dibaca di tahun 2021.

From Here to Eternity (Caitlin Doughty)

Mengingat aku sudah membicarakan From Here to Eternity > 2 kali di berbagai platform, aku tidak akan berpanjang-panjang. Ini adalah kali kedua aku membaca kombo memoar/catatan perjalanan ini & apresiasiku terhadapnya masih belum berkurang. Setelah resmi masuk ke dalam daftar bacaan all-time-favorite versiku tahun lalu, sepertinya From Here to Eternity tidak akan beranjak dari sana dalam waktu dekat.

From Here to Eternity dalam 3 tulisan : Ulasan Panjang Blog | Monthly Reading List November 2020 | Top 11 Reads for 2020    

When No One is Watching (Alyssa Cole)

Thriller bukanlah genre yang sering aku jamah sebagai bahan bacaan. When No One is Watching sendiri akhirnya masuk dalam TBR tahun ini karena 2 alasan; (1) Bukunya pas untuk salah satu prompt dalam The StoryGraph’s Genre Challenge, (2) Aku penasaran bagaimana Alyssa Cole, yang begitu dikenal lewat buku romantisnya, akan menggarap cerita thriller. Aku mendadak teringat video ketika WithCindy berceloteh tentang bagaimana romance thriller itu sebenarnya beda-beda tipis:

Meskipun belum berkesempatan membaca novel romantis Alyssa Cole dengan mata kepala sendiri, aku bisa melihat kelihaian penulis dalam menulis romance lewat keterampilannya dalam membangun karakter & hubungan/dinamik yang berkembang di antara mereka. Salah satu highlight novel When No One is Watching buatku sendiri memang hubungan romantis yang menjadi bumbu cerita.

Aku juga suka bagaimana Cole membangun suasana. Sebagai pembaca, aku benar-benar bisa merasakan rasa cemas dan paranoid yang mehinggapi para karakter dari awal cerita. Alasan inilah yang membuatku benar-benar menyukai 2/3 awal buku.

Sayang sekali, 1/3 akhir buku terlampau over-the-top. Sebenarnya ending ini masuk akal kalau kita mengingat bagaimana film Get Out-nya Jordan Peele disebut di blurb. Get Out begitu berkesan dalam benak penontonnya & menginspirasi banyak artis setelahnya berkat kesuksesan film tersebut dalam menyeimbangkan horor realistis & over-the-top. Hal ini menurutku sangat sulit untuk direplikasi & When No One is Watching tidak terlalu berhasil dalam mencapai keseimbangan itu.

Tetap saja, aku masih tertarik untuk membaca buku-buku lain dari Alyssa Cole.

Witches, Witch-Hunting, and Women (Silvia Federici)

Karya-karya Federici muncul di radarku setelah aku mulai menonton video Lou Reading Things di Youtube:

Dalam buku singkat ini (audiobook-nya saja hanya 2 jam), Federici menyajikan argumen yang menghubungkan kemunculan kapitalisme dengan praktik witch-hunting dan kekerasan terhadap perempuan secara umum dalam masyarakat. Meskipun berhasil menawarkan argumen yang compelling & thought-provoking dalam ruang minim, Witches, Witch-Hunting, and Women tetap terasa belum utuh karena Federici kerap menyebut-nyebut bukunya yang lain, Caliban and The Witch.

Judul ini adalah karya Federici pertama yang pernah aku dengar & sepertinya seorang pembaca bisa lebih mengapreasi Witches, Witch-Hunting, and Women kalau sudah familiar dengan argumen Federici dalam buku terdahulu ini.              

Pembunuhan di Lorong (Agatha Christie)

Setelah membaca kumcer Masalah di Teluk Pollensa, aku punya kecenderungan untuk membandingkan kumcer lain karya Christie dengan buku yang tidak aku sukai ini. Kumcer Pembunuhan di Lorong bukanlah sebuah pengecualian. Secara umum, aku memang lebih menikmati pengalaman membaca 4 cerpen dalam buku ini.

Cerpen-cerpen dalam Pembunuhan di Lorong jauh lebih panjang daripada cerpen dalam Masalah di Teluk Pollensa. Aku lebih menyukai cerpen-cerpen Christie yang memiliki ruang untuk bernafas semacam ini alih-alih cerpen singkat Beliau yang rawan meninggalkan tanda tanya. Walaupun kesanku terhadap kumcer Pembunuhan di Lorong sebenarnya standar saja, kesan yang ditinggalkan buku ini masih jauh lebih baik daripada kesan yang ditinggalkan buku Masalah di Teluk Pollensa.

Ulasan selengkapnya dariku bisa dibaca di StoryGraph.

November 2021 vs. November 2020: Perbandingan Dalam Bullet Point

  • November 2021 adalah sebuah anomali. Apalagi kalau mempertimbangkan kecenderunganku untuk tidak membaca terlalu banyak buku di penghujung tahun. Dibandingkan dengan November 2020, aku membaca dua kali lebih banyak buku (4 buku : 8 buku).
  • Jauh sebelum aku mengenal konsep Nonfiction November, aku bisa dibilang sudah menghayati semangatnya. Selama 2 tahun terakhir di bulan November, bacaanku sama-sama didominasi buku nonfiksi ber-mood informatif.
  • Di sisi lain, dari segi pace statistik 2 tahun terakhir agak bertolakbelakang. Di tengah dominasi bacaan medium, di 2021 aku lebih sering membaca buku slow-paced. Berbeda sekali dengan tahun lalu ketika bacaan fast-paced menempati tempat pertama. Salah satu kabar baik dari tahun 2021 sepertinya adalah kenyataan bahwa attention-span-ku sudah berangsur pulih.

Catatan sampingan lain: Walau sedang gemar-gemarnya membaca memoar sebagai asupan nonfiksi, entah kenapa aku tidak membaca satu pun memoar sepanjang November. Bulan April lalu aku juga sempat menulis artikel tentang 6 memoar favoritku di situs Best Present Guide ID. Siapa tahu ada yang sedang mencari rekomendasi memoar bagus 😉 Here’s for reading more fun nonfiction in our life!

Terima kasih sudah membaca tulisan ini sampai akhir!

Bagaimana pengalaman bacamu bulan November lalu?

Menemukan buku favorit baru?
Let me know in the comment!
>>>

Terhibur/terbantu dengan tulisan ini? Traktir Farah di Karyakarsa

Farah melacak bacaannya di situs buku alternatif  The StoryGraph

Ingin tanya-tanya anonim? Kirim saja pertanyaanmu lewat Curious Cat

Maret 2021: Bulan Penulis Perempuan

Satu bulan penuh dengan buku misteri dan karya penulis perempuan.

Mengingat 8 Maret merupakan hari perempuan internasional, aku memutuskan untuk fokus pada buku karya penulis perempuan dari beberapa genre sepanjang bulan ini. Dari buku misteri, horror, alternate history sampai memoar dan kumpulan essai, berikut statistik bacaanku di bulan Maret 2021 menurut The StoryGraph:

Statistik Menunjukkan…

Setelah santai sekali di bulan Februari, di penghujung Maret aku tercatat sudah menyelesaikan 9 buku (1.923 halaman). Bagiku ini adalah rekor pribadi. Kesembilan buku ini terdiri dari tiga buku fisik, empat buku digital, dan dua audiobook. Buku fisik (tentunya) adalah buku-buku lama yang sudah nongkrong di rak buku selama beberapa bulan. Buku Agatha Christie & buku nonfiksi yang aku beli tahun lalu contohnya. Buku digital sendiri aku baca melalui iPusnas dan Scribd (yang juga merupakan tempatku menemukan audiobook).

Mood misterius mendominasi mood bacaan kali ini karena aku membaca tiga buku misteri pembunuhan dan satu buku horor bernuansa misterius di bulan Maret. Melihat mood reflektif dan emosional bergeser dari tempat mereka yang biasanya di dua besar mengejutkan juga. Moody reader, am I right?

Ketika berhasil menyelesaikan 9 buku dalam satu bulan, tentu tidak mengherankan kalau sebagian besar buku ini adalah buku yang <300 halaman. Dua buku dalam rentang 300-499 halaman sendiri adalah buku misteri beralur cepat. Satu-satunya buku yang memang lambat (setidaknya buatku) adalah buku kumpulan esai karya Jia Tolentino yang sudah aku baca sejak akhir Januari lalu dan baru selesai di pertengahan Maret ini. Aku menyambut kemunculan buku beralur lambat dalam statistik karena aku merasa attention-span-ku dalam membaca setidaknya sudah berkembang daripada tahun lalu.

Seperti yang sudah aku tulis dalam kiriman minggu lalu, rasio bacaanku yang 75:25 untuk fiksi & nonfiksi sangat tercermin dalam statistik bulan Maret ini. Statistik untuk genre sendiri juga mencerminkan tulisan kemarin (setidaknya peringkat dua teratas). Genre klasik akhirnya muncul kembali dalam statistik karena genre ini adalah salah satu genre yang ingin aku eksplor lebih jauh, namun sayangnya belum tercapai karena belum ada waktu & energi yang cukup. Aku juga tidak sabar ingin membaca lebih banyak memoar & buku kumpulan cerpen tahun ini!

Daftar Bacaan

Tragedi Tiga Babak adalah buku Agatha Christie pilihanku untuk bulan Februari 2021. Aku menyelesaikan buku ini pada tanggal 2 Maret setelah nekat mulai membaca di penghujung Februari (can’t really read this in one-sitting apparently). Kasus yang harus dipecahkan Poirot dalam buku ini begitu dramatis & scandalous. It’s my type of drama. Meskipun berpotensi menjadi buku favorit Agatha Christie-ku selanjutnya setelah And Then There Were None dan Death on The Nile, ada beberapa aspek dalam Tragedi Tiga Babak yang membuatku tidak nyaman. Aku menjelaskan ini lebih lanjut dalam ulasanku di The StoryGraph.

Tiga cerita awal dalam kumpulan cerpen horor karya Intan Paramaditha ini sejujurnya tidak terlalu berkesan buatku. Akan tetapi, cerita-cerita setelahnya tidak mengecewakan. Setelah pertama kali membaca tulisan beliau dalam kumcer Kumpulan Budak Setan (ditulis bersama Eka Kurniawan & Ugoran Prasad), aku tidak terlalu kaget dengan gaya penulisan dalam kumcer ini yang memang bisa menjurus ke brutal.

 
Dalam 11 cerpen ini, kita akan membaca berbagai cerita tentang perjuangan dan duka hidup perempuan. Cerita perjuangan ini dibungkus dengan medium dongeng/ folklore/ urban legend yang dituturkan kembali. Hasilnya adalah cerpen horor yang surreal & penuh simbolisme. Sihir Perempuan juga mengingatkanku pada kumcer horor karya penulis perempuan Argentina, Mariana Enriquez, yang sempat aku baca bulan Oktober lalu bertajuk Things We Lost in The Fire. Kalau menyukai salah satu buku ini, sepertinya buku yang lain akan cocok dengan selera bacaanmu.

Aku membaca buku ini gratis melalui iPusnas.

Aku punya harapan tinggi ketika memulai buku kumpulan esai ini pada akhir Januari lalu. Sayang sekali, meskipun menawarkan argumen menarik, gaya penulisan Jia Tolentino yang panjang dan berputar-putar membuat esai dalam Trick Mirror begitu sulit untuk diikuti (pendapatku selengkapnya bisa dibaca di The StoryGraph). Aku akhirnya menyelesaikan buku ini dalam rentang waktu 2 bulan karena meskipun segan membaca gaya tulisan semacam ini, aku tetap kepo dengan argumen yang penulis gagas. Secara keseluruhan, bukan pengalaman baca menyenangkan.

Terima kasih pada kiriman Tumblr ini, aku akhirnya bisa bersenang-senang sambil mencoba genre baru. Aku sebenarnya sudah melirik buku-buku alternate history sejak lama, namun baru buku inilah yang membuatku “Oke, aku ingin langsung membaca buku ini sekarang.” Mungkin karena premis River of Teeth yang seolah terinspirasi dari crack fanfiction juga ya.

Secara keseluruhan audiobook 4 jam ini adalah bacaan cepat & oke. Aku sebenarnya bukan penggemar narator audiobook ini, but it’s not bad by any means & I have a good time. Aku memutuskan untuk tidak melanjutkan seri novella ini karena meskipun bersenang-senang membaca ceritanya, aku tidak terlalu peduli dengan para karakternya. Jadi, aku tidak terlalu tertarik dengan kelanjutan kisah mereka. Kalau kamu penyuka kisah-kisah western, sepertinya River of Teeth berpotensi menjadi bacaan menarik untukmu.

Kadang kita menemukan buku yang dari gaya penulisannya, kita akan tahu bahwa si penulis mencurahkan segenap jiwa, raga, dan emosinya dalam proses penulisan. Menurutku Kitchen adalah salah satu buku jenis ini. Ada sesuatu yang begitu melankolik & emosional tentang buku yang terbilang singkat ini. Sampai-sampai aku harus break beberapa kali sebelum selesai membacanya dalam 4 sesi.

Meskipun menjadikan duka sebagai inti utama cerita, Kitchen bukanlah bacaan yang membuat kita merasa hopeless atau tak berdaya. Sebaliknya, ada sesuatu yang hopeful tentang bagaimana buku ini berakhir. Aku juga sempat menulis ulasan emosional langsung setelah menamatkan bukunya. Kalau sedang mencari bacaan penuh refleksi tentang duka, buku karya Banana Yoshimoto ini bisa menjadi pilihan untukmu.

AKA salah satu BOTM (Book of The Month) untuk klub buku The Diversitea pada bulan Maret. Aku mulai membaca Rainbirds dengan pengetahuan seminimal mungkin. Meskipun bisa melihat daya tarik dari cerita ini, Rainbirds sepertinya bukan buku untukku. Dari segi plot, bukunya tidak menjaga rasa penasaranku cukup lama sehingga aku bisa menikmati cerita. Kalau bicara karakter sendiri, sebagian besar dari mereka begitu menyebalkan di mataku sehingga aku kesulitan untuk bersimpati. Begitulah, aku akhirnya tidak menyematkan rating apa-apa untuk buku satu ini.

Aku membaca buku ini gratis melalui iPusnas


Novel kontemporer satu ini adalah tipe novel yang bisa nyaman menempati beberapa kategori genre. Bukan hanya merupakan buku romance, Honey Girl juga adalah buku coming-of-age dengan protagonis di usia 20-an. Tanpa dibatasi genre, kisah yang fokus pada usaha Grace Porter untuk menemukan arah hidup pasca lulus dari program PhD ini adalah kisah tentang burn-out, trauma, hubungan rumit antara orang tua/anak, dan pertemanan (dan konteks ini queer friendship).

Tema mental health juga menjadi topik penting yang dibicarakan dalam audiobook 10 jam ini. Setelah membaca buku biasa-biasa saja sepanjang bulan, novel ini adalah salah satu bacaan berkesan yang aku temukan di bulan Maret. Aku akan merekomendasikan Honey Girl untuk pembaca yang mencari novel kontemporer dengan gaya tulisan mengena & membahas suka-duka menjadi manusia di usia 20-an. 

Kalau kamu sepertiku dan bingung ingin membaca novel ini dulu atau menonton film adaptasi tahun 2018 saja, rekomendasiku pilihlah novelnya. Kalau tidak menonton versi adaptasi film ini terlebih dahulu, boleh jadi Pembunuhan di Orient Express akan masuk dalam tiga besar novel Agatha Christie favoritku. That ending is so good! 

Ini adalah tipe novel yang akan semakin berkesan kalau kita tidak tahu apa-apa sebelum mulai membacanya. Ulasan (yang sedikit menyinggung spoiler) juga sempat aku tulis di The StoryGraph.

Aku sudah melirik memoar karya Carmen Maria Machado ini sejak tahun lalu setelah mendengar pujian tidak henti dari berbagai pembaca yang sudah menyelesaikan bukunya. They aren’t wrong. Ditulis dengan indah & jujur, In the Dream House membahas topik sulit dan penting dengan gaya penyampaian eksperimental. Gaya penyampaian tidak biasa ini (menggunakan narrative trope seperti choose-your-own-adventure misalnya) membuat apa yang ingin penulis sampaikan terasa lebih mengena.

Teks/narasi tentang dinamika abusif dalam queer relationship belum terlalu banyak ditulis & Machado berusaha untuk terbuka tentang pengalaman yang dialami dalam memoar In the Dream House ini. Memoar ini bukanlah bacaan mudah. Akan tetapi, setelah kau tenggelam dalam tulisan Machado kau tidak akan bisa berpaling lagi (sebuah bukti: aku membaca ini dalam sekali duduk).  

Aku membaca e-book ini melalui Scribd | Kamu juga bisa menggunakan link referral-ku untuk mencoba Scribd.

>>>

Bagaimana denganmu? Apa menemukan bacaan favorit baru di bulan Maret? 

Let me know in the comment! 

Apa kamu melihat buku menarik di antara daftar bacaanku juga? 👀

Terhibur/terbantu dengan tulisan ini? Dukung Farah melalui Karyakarsa

Farah melacak bacaannya di situs buku alternatif  The Storygraph | farbooksventure di The StoryGraph

Ingin tanya-tanya & tetap anonim? Kirim saja pertanyaanmu lewat Curious Cat

Februari 2021: Bulan Baca Lambat

 

1 fiksi di awal bulan dan 1 nonfiksi di akhir bulan. Februari adalah bulan baca santai.

Statistik Menunjukkan…

Tidak terlalu banyak untuk bulan Februari.

Pada bulan Februari 2021, aku berhasil menyelesaikan dua buku (576 halaman). Kedua buku ini merupakan buku elektronik (e-book) yang aku akses dari situs Bookmate. Buku fiksi sendiri memberiku asupan bacaan yang misterius, emosional, dan penuh petualangan. Nonfiksi pun mengimbangi dengan bacaan informatif, reflektif, dan menantang. Potongan moods merata pada tabel pie di atas terlihat begitu memuaskan, bukan? Tidak hanya menghibur, bacaan bulan ini juga memperluas dan memperkaya sudut pandangku sebagai manusia.

Entah kenapa, aku kaget sendiri ketika sadar bahwa dua buku yang aku tamatkan ini adalah buku beralur medium. Apalagi kalau mengingat kecenderunganku untuk membaca buku beralur cepat yang masih bertahan sampai bulan Januari. Melihat pergeseran kecenderungan ini, tidak mengherankan kalau jumlah bacaanku tidak setinggi bulan sebelumnya. Aku juga masih setia dengan buku kurang dari 500 halaman.

Sama seperti bulan Januari lalu, aku masih setia membaca buku fantasi YA & LGBTQ. Terima kasih (lagi-lagi) pada klub buku The Diversitea di Twitter, aku juga berhasil membaca satu buku nonfiksi tentang politik, identitas, dan ras yang sudah menarik perhatianku sejak lama. Kalau diperhatikan, dua buku yang berhasil aku tamatkan ini memiliki kesamaan. Keduanya sama-sama buku yang memiliki tenggat waktu/deadline.


Buku pertama adalah buku yang aku baca bersama dengan seorang teman. Buku kedua sendiri adalan book pick klub buku yang harus aku selesaikan dalam waktu dua minggu supaya bisa berpartisipasi dalam diskusi klub. Kalau tidak ada tenggat waktu, sepertinya aku tidak akan menyelesaikan satu buku pun di bulan Februari. Moody reader ya begini kebiasaannya.


Meskipun tidak menyelesaikan buku sebanyak di bulan Januari, aku cukup puas dengan diskusi yang muncul dari dua buku yang aku tamatkan pada bulan Februari ini.  


Catatan sampingan: sesuai dengan rencana dari kiriman kemarin, aku membaca satu buku Agatha Christie di bulan Februari. Mengingat buku bersangkutan baru aku tamatkan pada tanggal dua Maret, jangan heran kalau di Monthly Reading List bulan Maret akan ada dua buku Agatha Christie yang tercantum dalam daftar bacaan.


Daftar Bacaan

  • Cemetery Boys – Aiden Thomas (buku fantasi kontemporer kaya dengan unsur kebudayaan Amerika Latin)

Premis spooky novel 320 halaman ini langsung menarik perhatian ketika aku pertama kali membaca blurb-nya. Aku juga penasaran dengan perjalanan yang harus dilalui protagonis transgender kita di lingkungan yang masih memiliki norma agak kaku tentang gender. Aspek cerita tentang perjalanan Yadriel ini adalah bagian terbaik dalam Cemetery Boys, menurutku.


Sayang sekali, aku tidak menyukai novel ini sebesar yang aku harapkan. Selain merasa tidak terhubung dengan karakter remaja dalam cerita (risiko membaca ini di adulthood mungkin?), aku juga bukan penggemar villain cartoonish dalam ceritanya. Meskipun aspek misteri menarik perhatian di awal, twist cerita yang ada pada akhirnya tidak begitu mengejutkan. Kesulitanku untuk terhubung dengan karakter juga membuat romansa dalam cerita ini tidak terlalu menarik.


Aku masih akan merekomendasikan buku ini bagaimanapun juga, terutama untuk pembaca muda yang tertarik dengan buku YA fantasi stand alone yang tidak terlalu berat.


Aku juga menulis tentang buku ini di The StoryGraph.


Dalam buku 256 halaman ini, Ijeoma Oluo memaparkan pendapat dan saran yang dia punya untuk orang-orang yang ingin memiliki percakapan produktif tentang ras. Secara spesifik, percakapan ras dalam konteks ini adalah ras di Amerika Serikat.


Kalau mencari buku yang memberi panduan konkrit tentang langkah apa yang harus dilakukan seorang individu tentang topik ini, So You Want to Talk about Race adalah buku untukmu. Tidak hanya memberi saran, Oluo juga menjelaskan definisi dari berbagai istilah yang sering muncul dalam percakapan semacam ini dengan bahasa yang mudah dimengerti. Penulis juga tidak segan untuk memberi contoh & membagikan pengalaman pribadinya supaya penjelasan yang dia berikan bisa langsung dipahami pembaca. 


Aku harap buku So You Want to Talk about Race bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dalam waktu dekat supaya bisa dibaca lebih banyak orang.


Video Booktube Favorit Bulan Ini

Aku sudah menjadi penonton rutin beberapa kanal booktube berbahasa Inggris selama satu tahun terakhir. Pada bagian (baru) dalam kiriman ini, aku akan mendokumentasikan beberapa video booktube berkesan yang aku tonton setiap bulan:


Daya tarik kanal Cindy selain ulasan buku informatif dan jelas adalah personanya yang terbilang chaotic. Persona ini membuat Cindy menghadirkan berbagai video tidak biasa yang sangat menghibur. Contohnya saja ketika dia mengulas buku Kissing the Coronavirus dengan keseriusan yang patut dikagumi. Tidak hanya itu, Cindy juga memiliki kemampuan untuk merilis video diskusi yang seimbang & thought-provoking. She truly has the range.


Aku sangat mengapresiasi video diskusi di atas karena topik yang diangkat tidak hanya bisa diaplikasikan untuk penulis, tapi juga bisa digunakan untuk memandang content creator atau figur publik secara umum.


Aku mulai mengikuti kanal Seji setelah melihat interest-nya terhadap karya sastra klasik yang jarang disorot. Video ulasan buku Rahasia Hati karya Natsume Soseki sendiri adalah salah satu video favoritku dari Seji. Melalui video literary overview ini, aku menemukan kesamaan lain dengan Seji sebagai pembaca. Ternyata kami sama-sama menyukai bacaan pendek. Ada setidaknya 6 buku yang menarik perhatianku dalam video ini (dan semua buku ini adalah buku yang tidak terlalu sering dibicarakan di booktube). Label on-my-radar-ku di The StoryGraph semakin penuh buku berkat video panjang ini.


Kalau tertarik dengan sastra/literatur Jepang, kamu juga bisa menemukan banyak rekomendasi menarik dari kanal The Artisan Geek ini.


Bacaan Lanjutan

  1. Intan dari BP-Guide ID dengan baik hati mewawancarai aku tentang blog buku ini di bulan Februari! Artikel wawancaranya bisa dibaca di sini: Tenggelam Dalam Dunia Farah di Far’s Books Space: Dunia Dimana Buku adalah Cinta Pertamamu! [BP Guide]
  2. Monthly Reading List: Januari 2021 [Far’s Books Space]
>>>

Terhibur atau terbantu dengan tulisan ini? Kamu juga bisa mendukung Farah lewat Karyakarsa

Farah melacak bacaannya di situs buku alternatif  The Storygraph

Ingin tanya-tanya & tetap anonim? Kirim saja pertanyaanmu lewat Curious Cat

>>>

Terima kasih karena sudah membaca sampai akhir!

Januari 2021: Bulan Baca Biasa Saja

Dari YA sampai novel Agatha Christie, berikut daftar enam buku yang aku baca di bulan pertama tahun 2021.

2021 dibuka dengan serangkaian buku biasa saja dari segi rasa sukaku sebagai pembaca. Dari beberapa buku ini, hanya satu buku yang menurutku pas untuk dibaca di awal tahun karena ceritanya yang menghangatkan hati & membuat pembaca merasa lebih hopeful tentang kehidupan secara umum.


Berikut garis besar statistik bacaanku menurut situs buku alternatif, The StoryGraph:


Statistik Menunjukkan…

Di bulan Januari 2021, aku berhasil menamatkan enam buku (1.260 halaman). Tiga buku merupakan buku elektronik (e-book) yang dibaca melalui Google Play Book & Scribd. Dua buku aku nikmati dalam wujud audiobook (juga lewat Scribd) dan satu buku merupakan buku fisik yang aku pilih secara acak dari timbunan di rak. Dilihat dari daftar bukunya, bacaan bulan ini memang didominasi buku yang sudah ada di TBR fisik/digital-ku sejak lama. Aku harap aku bisa mempertahankan tren ini sepanjang tahun, mengingat rencanaku yang memang ingin membabat jumlah buku di TBR pribadi selama beberapa tahun terakhir.

Dilihat dari mood bacaan, tidak mengejutkan mungkin ketika bacaanku didominasi buku emotional & reflektif. Bacaan jenis ini memang go-to-ku sepanjang tahun. Hal yang menarik adalah bagaimana tahun baru membuatku mendadak tergerak untuk membaca buku dengan mood hopeful.


Kalau mengintip alur bacaan, buku beralur cepat masih menjadi bacaan primadona. Aku cukup senang bagaimanapun juga karena bisa menyelesaikan satu buku beralur lambat lagi. Perubahan juga tampak ketika melihat statistik jumlah halaman buku. Pada Desember 2020, 75% bacaanku adalah buku <300 halaman. Tahun baru akhirnya mengantarkanku pada ritme membaca yang bisa fokus menyelesaikan buku 300-400 halaman.


Tidak hanya itu saja, bacaan fiksi juga kembali berjaya di bulan Januari (5/6 buku). Setelah mengintip statistik lebih detail, ternyata rasio bacaanku memang hampir selalu 75:25 untuk fiksi & nonfiksi dari tahun ke tahun. Nonfiksi begitu bersinar pada 2020 karena buku-buku ini akhirnya mengisi jajaran Top 11 Reads yang biasanya diduduki buku fiksi. Jadi ya, aku rasa prediksiku tahun lalu tentang bagaimana rasio bacaan fiksi & nonfiksi akan mendekati 50:50 tidak akan terjadi dalam waktu dekat.


Satu hal yang berjasa dalam membuat buku YA & LGBTQ+ mendominasi daftar bacaan bulan ini (dan bisa jadi sepanjang tahun) adalah klub buku The Diversitea di Twitter. Kalau mencari klub buku lokal yang fokus merekomendasikan/mendiskusikan bacaan diverse/own-voice, The Diversitea sepertinya adalah klub buku untukmu. Keterlibatanku dengan klub buku ini juga membuatku bersemangat untuk membaca buku YA & LGBTQ+ yang masih banyak bersenyam di TBR digital.


Jangan heran juga kalau genre misteri/crime mendadak rutin muncul dalam rangkaian tulisan Monthly Reading List ini. Masih dengan semangat membabat TBR (kali ini TBR fisik), aku akan berusaha untuk membaca satu buku Agatha Christie setiap bulan sepanjang 2021. Aku memang memiliki setumpuk buku karya penulis yang satu ini di rak. Buku-buku ini sudah nongkrong di sana selama > 6 tahun. Sepertinya waktu untuk membaca mereka sudah datang.

Daftar Bacaan

  • The Weight of Our Sky – Hanna Alkaf (A historical fiction that isn’t about world war & written by SEA author)

Aku (akhirnya) membaca buku yang sudah lama duduk manis di TBR ini karena The Diversitea menjadikan buku ini sebagai book pick pertama mereka pada 2021. The Weight of Our Sky adalah bacaan yang cocok untuk pembaca yang baru pertama kali mencoba genre fiksi sejarah (historical fiction). Gaya bahasa yang digunakan juga ramah untuk pembaca yang masih membiasakan diri dengan buku berbahasa Inggris.  Novel ini juga terbilang tipis (<300 halaman) sehingga sangat mungkin untuk dibaca dalam waktu singkat.


Aku membaca edisi buku elektronik The Weight of Our Sky melalui Scribd.

Pendapat selengkapnya bisa dibaca dalam ulasanku di The StoryGraph.



  • The House in the Cerulean Sea – T.J. Klune (A story about found-family & being brave enough to choose happiness for yourself, January favorite reads!)

Betul sekali, Kawan. Ini lah buku hopeful yang berhasil menghangatkan hatiku di awal tahun. Fantasi tidak selalu menjadi pilihan bacaan pertamaku, tapi novel ini berhasil menggabungkan aspek buku kontemporer & fantasi dengan seimbang. Cocok untuk pembaca yang mencari buku fantasi yang tidak terlalu berbeda dari realita kita. Juga buku untuk pembaca yang ingin menikmati cerita wholesome & mengundang senyum. FF (fanfic) hurt/comfort adalah bacaan favoritmu? Sepertinya The House in the Cerulean Sea adalah novel untukmu juga! 


Aku membaca edisi audiobook The House in The Cerulean Sea melalui Scribd.

Pendapat selengkapnya bisa dibaca dalam ulasanku di The StoryGraph.


Buku ini adalah sebuah kekecewaan. Aku punya ekspektasi tinggi karena aku menemukan Ghostland dari rekomendasi Youtuber yang video-videonya sangat aku nikmati. Topik yang diangkat dalam buku ini pun sejalan dengan minatku pada hal/tempat berbau sejarah & punya reputasi supernatural. Sayang sekali, buku nonfiksi beralur lambat ini sangat sulit untuk dibaca karena gaya penulisan bertele-tele & format buku membingungkan. Meskipun menemukan beberapa informasi menarik, gaya penulisan tidak bersahabat ini benar-benar menghilangkan kesenanganku dalam membaca buku ini.


Aku membeli edisi buku elektronik Ghostland di Google Play Book.

Pendapat selengkapnya bisa dibaca dalam ulasanku di The StoryGraph.


  • Mrs. McGinty Sudah Mati/Mrs. McGinty is Dead – Agatha Christie (Hercule Poirot detective story set in English country-side)

AKA buku Agatha Christie pertama yang aku baca tahun ini. Secara keseluruhan, Mrs. McGinty Sudah Mati adalah bacaan cepat & singkat. Meskipun bukan magnum opus Agatha Christie, aku tetap menikmati pengalamanku membaca buku ini. Tanpa terasa aku jadi membandingkan vibe yang diberikan novel ini dengan novel Pembunuhan di Sungai Nil/Death on the Nile yang aku baca sekitar 3 bulan lalu. Cerita dalam Pembunuhan di Sungai Nil begitu melankolik & dramatis ketika dibaca. Di sisi lain, ada sesuatu yang ringan & penuh humor tentang gaya penulisan Agatha Christie dalam Mrs. McGinty Sudah Mati ini. Definitely a book for readers that are looking for a lighter detective novel.     


Buku ini adalah satu buku dari bundel novel Agatha Christie yang aku beli di toko buku > 6 tahun lalu.

Pendapat selengkapnya bisa dibaca dalam ulasanku di The StoryGraph



Kalau mencari novel yang mengikuti perjalanan seorang protagonis dalam membangun hubungan lebih baik dengan diri sendiri & orang di sekitarnya, Darius the Great Is Not Okay sepertinya adalah novel untukmu. Cerita Darius juga adalah cerita tentang identitas & berdamai dengan diri sendiri. Lagi-lagi novel untuk pembaca yang suka membaca cerita hurt/comfort. Meskipun ditutup dengan vibe yang lumayan hopeful, buku ini tidak se-memorable The House in the Cerulean Sea karena aku masih mengharapkan agar plot line tentang male friendship dalam novel ini bisa lebih digali lagi.   


Aku membeli edisi buku elektronik Darius the Great Is Not Okay di Google Play Book.

Pendapat selengkapnya bisa dibaca dalam ulasanku di The StoryGraph.


  • If You See Me, Don’t Say Hi – Neel Patel (Collection of short stories following the life of various first generation Indian-American characters) 

Kumcer ini sampai di radarku berkat algoritma rekomendasi The StoryGraph. Their book recs algorithm is on point, Folks! Belakangan aku memang tertarik untuk mengeksplorasi kumcer semacam ini. If You See Me, Don’t Say Hi bukan kumcer untuk pembaca yang mencari sarana eskapisme. Cerpen dalam kumcer ini sangat realistis dan begitu suram ketika dibaca. Walaupun gaya penulisannya indah & memiliki banyak potensi, tema & karakter yang ada dalam cerpen-cerpen ini menjadi begitu repetitif di akhir. Not the biggest fan of this book, unfortunately.    


Aku membaca edisi audiobook If You See Me, Don’t Say Hi melalui Scribd.

Pendapat selengkapnya bisa dibaca dalam ulasanku di The StoryGraph.

Bagaimana denganmu? Sudah menemukan bacaan favorit baru bulan ini? 


Farah melacak bacaannya di situs buku alternatif  The StoryGraph
Ingin tanya-tanya & tetap anonim? Kirim saja pertanyaanmu lewat Curious Cat

December 2020: A Mediocre Reading Month To Close This Year

64/64 – I (barely) make it to my 2020 reading goal.

Setelah diberkahi bulan baca yang begitu memuaskan pada November lalu, tentu saja bulan ini akhirnya menjadi bulan baca yang biasa-biasa saja. Dalam kiriman ini, aku akan memaparkan statistik bacaan, satu buku memorable yang mendapat rating 5/5 di penghujung tahun, dan buku lain yang aku harap bisa menjadi bacaan menyenangkan, namun ternyata tidak terlalu memuaskan.

Statistik Menunjukkan…

Pada bulan Desember 2020, aku berhasil menamatkan 6 buku (1.338 halaman). Kalau tidak menargetkan untuk membaca 64 buku tahun ini, boleh jadi aku tidak akan menamatkan buku sebanyak ini di penghujung 2020. Keinginanku untuk membaca memang tidak terlalu tinggi menjelang pergantian tahun. Mood bacaan sendiri (seperti biasa) didominasi oleh buku emosional & reflektif. Meskipun menggunakan buku sebagai sarana escapism, entah kenapa sebagai pembaca aku memang tergerak untuk membaca sesuatu yang mengaduk-aduk perasaan & membuat kita merenung.
Kalau bicara genre, usahaku untuk mengejar target bacaan terlihat dari dua cerita pendek yang dibaca bulan ini. Cerita pendek memang sudah menjadi andalan dari dulu kalau ingin membaca banyak dalam waktu singkat. Aku tidak kaget juga ketika genre kontemporer muncul di tempat teratas. Meskipun sempat melalui fase ketika aku membaca banyak historical fiction secara berturut-turut, di akhir hari kontemporer adalah comfort genre-ku.
Aku juga sempat berasumsi bahwa fantasi adalah genre yang sudah jarang aku jamah beberapa tahun belakangan. Ternyata genre ini masih sering muncul dalam daftar bacaan tanpa aku sadari. Kalau tidak mengintip statistik yang dibuat The Storygraph, aku sepertinya tidak menyadari ini.

Di awal bulan aku sempat merasa bahwa kecepatan bacaku menjadi agak lambat. Ternyata perasaan ini muncul karena aku membaca buku-buku beralur medium waktu itu. RIP long attention span. Aku harap attention span-ku bisa sedikit meningkat di 2021. Meskipun membaca buku < 300 halaman & beralur cepat menyenangkan, aku harap aku juga bisa mengangsur buku di TBR dengan halaman lebih banyak dan alur lebih lambat. Melanjutkan tren bacaanku pada 2020, bacaan nonfiksiku hampir menyeimbangi bacaan fiksi bulan ini.
Meskipun menemukan satu bacaan bintang lima menjelang akhir Desember, secara keseluruhan tidak ada yang spesial untuk bulan ini. Ada lebih banyak miss daripada hits dalam hal bacaan. Kalau membandingkan dengan bacaan bulan November, Desember adalah bulan yang agak mengecewakan. Aku curiga mood membacaku yang tidak terlalu tinggi juga ikut berpartisipasi dalam hal ini. Sepertinya ada banyak kasus it’s not you (books), it’s me (the reader).

Daftar Bacaan 

Setelah maraton baca banyak buku death-related sepanjang November, aku membuka Desember dengan buku romantis yang menggemaskan. Seperti yang sudah dikatakan para pembaca sebelumku, buku pertama dalam seri The Brown Sisters ini memang bacaan romantis asyik. Duo protagonisnya begitu menggemaskan. Selain memiliki representasi untuk chronic illness, Hibbert juga berhasil membahas tema serius seperti pemulihan setelah lepas dari hubungan toksik/abusif. Aku tidak memberi buku ini rating 5/5 karena aku merasa konflik yang muncul di akhir cerita tidak perlu. I could do without them, honestly.
That being said, aku tetap merekomendasikan buku ini untuk pembaca yang mencari buku romance dengan cerita wholesome & memiliki a healthy dose of smut scenes.
Senang rasanya karena menemukan bacaan nonfiksi semacam ini karya penulis lokal. Pendapat selengkapnya dariku bisa dibaca dalam kiriman ini: [17/12/20] Tentang Parade Hantu Siang Bolong karya Titah AW.
Aku akan merekomendasikan buku yang bisa dibaca cepat ini untuk pembaca yang ingin membaca reportase lokal yang ditulis dengan gaya yang tidak membosankan.
Buku ini muncul di radarku berkat seorang kenalan di Twitter yang merupakan penggemar bukunya. Aku tergerak untuk membacanya bulan ini karena durasi edisi audiobook-nya yang terbilang singkat. Menurutku, world building buku fantasi yang satu ini menarik & tidak biasa. Gaya baca narator audiobook-nya juga engaging.
Sayang sekali, meskipun sudah berusaha aku tidak kunjung terhubung dengan ceritanya. It’s simply not my cup of tea. Meskipun audiobook ini <2 jam, aku butuh lebih dari seminggu untuk menyelesaikannya. Aku rasa mood-ku juga mempengaruhi penilaian ini. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk tidak memberi buku ini rating.
Kalau kamu pembaca yang menggemari buku fantasi, just take my words with a grain of salt. Mayoritas kawanku yang gemar membaca fantasi menyukai buku ini. Kalau mencari bacaan fantasi non-serial & bisa dibaca cepat, A Dead Djinn in Cairo bisa menjadi pilihan bacaanmu.
Inilah bacaan dengan rating 5/5 yang sudah aku singgung dari awal tulisan. Memoar seorang terapis ini adalah tipe buku yang begitu menenangkan ketika dibaca di masa sulit. Terjemahan ke bahasa Indonesia bukunya pun sudah dirilis dengan judul Semua Orang Butuh Curhat. Aku sendiri membaca edisi bahasa Inggris buku ini melalui Scribd & dibuat terkagum-kagum dengan keluwesan gaya penulisannya. Aku harap setiap orang mencoba untuk membaca buku ini setidaknya satu kali. Sedikit-banyaknya, aku rasa ada sesuatu yang bisa setiap orang ambil dari buku ini.
Aku juga akan merekomendasikan Maybe You Should Talk to Someone untuk pembaca yang sedang mencari bacaan bertema psikologi.
  • Aku memutuskan untuk tidak menyebut dua buku setelah ini karena keduanya (lagi-lagi) bukanlah bacaan untukku. Di tangan pembaca yang tepat, aku yakin buku-buku ini bisa menjadi bacaan favorit. Sadly, they’re not for me. I truly got nothing to say. Biarlah dua buku ini menjadi rahasiaku dan The Storygraph 😌
Semoga tahun 2020-mu ditutup dengan bacaan asyik & menyenangkan ya!

>>>

Farah mendata buku yang dia baca & mendapat statistik dalam kiriman ini melalui The Storygraph
Ingin tanya-tanya & tetap anonim? Kirim saja pertanyaanmu ke Curious Cat

[03/12/20] November 2020: It’s Audiobooks All The Way Down!


59/64 – Can’t believe I’m actually on-time with my reading progress
November adalah bulan untuk audiobook dan buku nonfiksi. Aku membaca ulang buku favorit dan membaca tiga buku dari seorang penulis yang karyanya muncul di radarku baru-baru ini. Meskipun sempat membuat TBR (daftar bacaan) wajib, pada akhirnya bulan ini menjadi begitu menyenangkan karena aku sepenuhnya mengandalkan mood dalam memilih bacaan.

Statistik Menunjukkan…

Aku berhasil menamatkan empat buku pada bulan November 2020. Tiga buku merupakan buku nonfiksi dan satu buku adalah buku fiksi. Secara teknis aku membaca lima buku bulan ini. Aku memutuskan untuk tidak membahas buku kelima dalam kiriman ini karena buku bersangkutan belum ada di situs katalog buku, tidak terbit secara konvensional (penulis bukunya berbaik hati mengirimkan buku ini padaku untuk diulas) & dan sudah aku bicarakan dalam kiriman di Instagram ini

 
Attention span-ku masih terbilang singkat. Ini bisa lihat dari kecenderunganku untuk membaca buku yang <300 halaman dan memiliki pace cepat/medium dalam grafik di atas. Aku memang cepat bosan dan teralihkan perhatiannya ketika membaca buku ber-pace lambat beberapa bulan terakhir. Memiliki attention span minim sepertinya adalah fakta kehidupan di 2020. Aku juga mulai menggemari audiobook karena mendengar celoteh narator yang bisa dipercepat sampai 1,5 kali membuatku lebih fokus pada narasi yang ditawarkan sebuah buku.
 
Kenyataan bahwa empat buku yang aku tamatkan bulan ini adalah audiobook juga merupakan pencapaian tersendiri. Ketika mulai rutin mendengarkan audiobook beberapa bulan lalu, aku adalah pembaca lambat. Boleh jadi karena belum terbiasa dengan format ini. Satu audiobook bahkan bisa aku dengarkan selama dua minggu hingga satu bulan. Setelah mulai terbiasa, ternyata empat audiobook dalam satu bulan sangat memungkinkan untuk dicapai.

Nonfiksi sendiri mendominasi berkat maraton bacaan dadakan yang aku lakukan di awal bulan. Setelah menyelesaikan buku Caitlin Doughty yang kanal Youtube-nya baru aku kenal kurang lebih satu bulan, aku memutuskan membaca dua buku lain karyanya. Bless Scribd for having the entire Caitlin Doughty’s books in their library. Buku tentang tradisi penyelenggaraan jenazah di berbagai budaya memang tidak terdengar sebagai bacaan ideal di bulan kelahiranmu. But, hey, it’s works! Seiring dengan pertambahan usia, kita semakin dekat dengan kematian bagaimanapun juga. Why shy away from it, right?
 
Kalau dilihat dari rata-rata rating (4.31), November 2020 memang merupakan bulan bacaan yang memuaskan.

Daftar Bacaan

  • Mockingjay – Suzanne Collins (an old favorite, 10/10, would definitely read again)
Setelah prequel The Hunger Games sampai di tangan, aku memutuskan untuk membaca ulang trilogi ini untuk ketiga kalinya. Sekarang, aku berkesempatan membaca kisah Katniss langsung dari bahasa Inggris. Aku juga mencoba peruntungan dengan mendengarkan audiobook special edition trilogi ini yang dibacakan oleh Tatiana Maslany (tersedia di Scribd). Boy oh boy, the audiobook is top-tier. Tidak berlebihan kalau aku berkata bahwa audiobook ini adalah audiobook terfavoritku sejauh ini. Sebagai narator, Tatiana Maslany benar-benar menghidupkan cerita Katniss & memperkaya pengalaman membaca kita.
  • From Here to Eternity – Caitlin Doughty (November favorite read, bring back great memories of reading travel literature)
Catatan perjalanan ini adalah bacaan yang paling membekas di bulan November. From Here to Eternity merupakan kumpulan tulisan Caitlin Doughty tentang perjalanannya ke delapan tempat berbeda di dunia yang menerapkan death ritual (tradisi kematian) tersendiri. Tidak hanya informatif karena membawa pembaca mengenal tradisi berbagai budaya, buku ini juga ditulis dengan luwes, penuh hormat, dan sarat akan humor serta kontemplasi. It’s a great, quick, and fascinating nonfiction read. Audiobook buku ini sebenarnya oke, tapi aku sarankan untuk membaca buku fisiknya supaya bisa menikmati ilustrasi ciamik yang ada dalam setiap bab buku.
 
Pro-tip: sebelum membaca buku-buku Caitlin Doughty, biasakan membaca trigger warning terlebih dahulu. Kalau mudah geli/jijik, proceed with caution karena deskripsi tentang kematian (seperti proses pembusukan yang terjadi pada jenazah) dipaparkan dengan detail dan eksplisit dalam buku-bukunya.
Ulasan lengkapku tentang From Here to Eternity bisa dibaca dalam kiriman bulan Desember ini: [10/12/20] Tentang From Here to Eternity karya Caitlin Doughty
Dalam buku singkat dan bisa dibaca cepat ini, Caitlin Doughty menjawab 34 pertanyaan dari anak-anak tentang topik seputar kematian. Beberapa pertanyaan memang pernah terlintas di benakku. Tapi, ada banyak pertanyaan menarik lain yang tidak pernah aku pertimbangkan. Kids truly ask things that matter. Meskipun ditulis sebagai jawaban untuk pertanyaan anak-anak, Doughty tidak segan untuk memberi deskripsi blak-blakan dalam jawabannya. Aku sangat mengapresiasi keterbukaannya dalam topik ini.
Sebagai seseorang yang menyukai pelajaran biologi, aku juga menemukan banyak fakta sains menarik tentang tubuh manusia pasca kematian. Aku akan merekomendasikan Will My Cat Eat My Eyeballs untuk pembaca yang mencari bacaan informatif tentang topik yang belum dibicarakan secara terbuka.
Aku menutup maraton baca buku Caitlin Doughty dengan buku debutnya di tahun 2014, Smoke Gets in Your Eyes. Buku ini adalah memoar tentang tahun-tahun awal Doughty yang baru terjun ke industri pemakaman (funeral industry) Amerika Serikat. Kita akan membaca suka-duka Doughty dalam pekerjaan pertamanya di industri sebagai crematory operator, keputusannya untuk menuntut ilmu di mortuary school, pengalamannya setelah lulus & bekerja sebagai funeral driver, sampai akhirnya menjadi mortician dan advokat untuk death positivity saat ini.
Mengikuti pola memoar favoritku terdahulu seperti This Is Going To Hurt & Dear Girls, Smoke Gets in Your Eyes benar-benar mengaduk perasaan kita sebagai pembaca. Kita akan dibuat tertawa, tersenyum, dan miris sepanjang buku. Aku akan merekomendasikan buku ini kalau kamu sedang mencari memoar yang enak dibaca & membahas topik tidak biasa. Kalau penasaran tentang industri pemakaman Amerika Serikat dari sudut pandang orang dalam, Smoke Gets in Your Eyes juga merupakan bacaan yang tepat.

Bagaimana denganmu? Menemukan bacaan favorit baru bulan November ini?

Grafik dalam kiriman ini dibuat oleh The Storygraph, situs yang merekomendasikan bacaan sesuai mood/minatmu & tempatku melacak bacaan saat ini.

>>>