Akan tetapi, aku sangat ingat betapa sulitnya aku harus menyemangati diri untuk menyelesaikan satu kiriman itu saja (and honestly, <Long Way Down> deserves better than that. This particular novel-in-verse is an awesome and truly important read, I can’t believe I just read it now. I hope you consider reading <Long Way Down> if you haven’t already. It such a shame that I’ve got such a shitty mood while writing about it).
Aku mendadak menyadari bagaimana asingnya perasaan ini karena biasanya hanya rasa lega dan senanglah yang mampir setelah membagikan sesuatu di Far’s Books Space. Siapa sangka ternyata kejadian ini adalah red flag yang menandai periode dalam hidup ketika hal-hal yang biasanya mendatangkan kesenangan untuk-ku justru membuatku tidak nyaman dan merasa hampa.
Aku mencoba membaca beberapa buku tapi tidak sanggup membawa diri untuk menyelesaikannya. Aku mencoba menyaksikan film-film sebelum akhirnya meninggalkannya di tengah jalan begitu saja.
Aku menghapus & mengeliminasi banyak hal; video, foto, buku, baju, aplikasi di ponsel, following di media sosial bahkan menghapus akun media sosial itu sendiri. Seolah-olah aku sedang melalui semacam ritual absurd pembersihan diri (Still not feeling any better though).
Aku berulang-kali bergulat dengan mood untuk pergi sejauh-jauhnya dari internet — hanya untuk kembali lagi ke internet beberapa jam kemudian dan dihantui semacam rasa bersalah yang lebih besar.
Aku mencoba menulis sesuatu dari ide-ide sudah bersemayam di kepala hanya untuk meninggalkannya di akhir karena terlanjur lelah untuk menyelesaikannya lagi. Aku lelah sepanjang waktu meskipun tidak melakukan apa-apa. I feel like being alone and it’s worrying honestly…
Aku pun pada akhirnya mampu menulis tulisan ini.
[*] 2 buku berhasil menyabet Rating-5;
[*] 2 buku mendapat Rating-4;
[*] 1 buku bertengger di Rating-3;
Senyum Karyamin – Ahmad Tohari
Buku yang tidak genap 100 halaman ini merupakan kumpulan 13 cerpen karya Ahmad Tohari yang pernah dipublikasikan di berbagai media dalam kurun waktu 1976-1986. Semua cerpen ini setia dengan ciri khas seorang Ahmad Tohari, membahas persoalan yang membumi, lokal, dan fokus pada masyarakat menengah ke bawah. Sebagai pembaca yang terlahir di penghujung abad 20 dan membaca kumcer ini di abad 21, potret kehidupan pada beberapa cerpen dalam Senyum Karyamin kadang terasa asing dan berasal dari masa lampau yang begitu jauh. Mungkin ini adalah salah satu alasan kenapa aku merasa lebih relatable dan terkesan dengan buku kumcer Beliau yang lain yaitu Mata Yang Enak Dipandang. Still, it’s a really important and insightful read.
Update kemajuan tantangan baca;
Goodreads: 32/60
PopSugar Reading Challenge: 21 prompts sudah dicoret.
Gerakan One Week One Book di Instagram; karena satu dan lain hal, aku akhirnya memutuskan untuk undur diri dari gerakan ini. Mempertimbangkan kondisi sekarang, sepertinya tidak memungkinkan untuk membaca satu buku setiap satu minggu. Kalau pun memungkinkan, break yang aku jalani dari dunia per-instagram-an membuatku tidak bisa berbagi perkembangan membacaku di platform itu. So, yeah I’m out for now.
Hal Baru Dalam Dunia Baca-Membaca Farah; [Bookmate & Book Buying Ban (BBB)]
Masih ingatkah dengan curhatanku 4 bulan lalu ketika baru menemukan Scribd? Pada bulan Juni 2019, aku tanpa sengaja menemukan aplikasi lain yang senada dengan aplikasi yang satu ini. Bookmate adalah aplikasi e-book berlangganan yang rutin aku gunakan sampai kiriman ini ditulis pada awal Juli 2019. Meskipun tetap prefer buku fisik daripada e-book karena membaca via ponsel selalu membuat mataku lelah lebih cepat, tidak bisa dipungkiri bahwa aplikasi berlangganan semacam ini dengan koleksi bukunya yang tidak terbatas begitu membantuku, apalagi ketika mengingat dana & sumber daya pribadi yang terbatas untuk selalu membeli buku.
Beberapa kendala yang menghadangku ketika menggunakan Scribd adalah biaya berlangganan perbulannya yang terbilang mahal untuk kondisi finansialku saat ini (aku bisa mencoba Scribd untuk pertama kalinya karena patungan dengan beberapa teman pembaca) dan opsi pembayarannya yang begitu terbatas karena membutuhkan kartu kredit (I don’t have one). Kehadiran Bookmate begitu membantu karena biaya berlangganan di aplikasi ini lebih terjangkau di kantong (sekitar 55k setiap bulan termasuk PPN dan biaya jasa untuk akun premium) dan opsi pembayarannya memungkinkanku berpartisipasi tanpa perlu memiliki kartu kredit (hidup Google Billing!). Sejauh ini, berlangganan di Bookmate terasa worth it karena koleksi buku dalam perpustakaannya yang memang tidak jauh-jauh dari minat dan seleraku. Sudah banyak buku wishlish yang bisa aku temukan di perpustakaan Bookmate. Aku merasa lebih ringan karena rak wishlish-ku terlihat lebih terkontrol akhir-akhir ini. Kunjungi situs resmi Bookmate ini kalau kamu ingin tahu lebih jauh *this is not a sponsored posts I assure you ;)*
Kehadiran Bookmate juga memberiku jalan untuk mewujudkan niat dalam hal; mengurangi frekuensi belanja buku fisik. Setelah memonitor masuk-keluarnya uang dengan teliti selama beberapa bulan terakhir, aku akhirnya melihat sendiri (dalam wujud angka yang sejujurnya agak mengejutkan) betapa signifikannya jumlah uangku yang mengalir untuk buku fisik (bahkan melebihi anggaran untuk makanan yang notabene-nya merupakan kebutuhan primer).
For the record, aku tidak menyesal menggunakan uang untuk buku.
Hanya saja;
(1) Setelah mengingat jumlah buku belum dibaca yang terus menempuk di berbagai pelosok ruang,
(2) Setelah berjanji pada diri sendiri agar hanya membeli buku yang nantinya akan benar-benar penting dan/atau begitu aku sukai,
(3) Setelah mempertimbangkan dan mengingat pohon-pohon yang diperlukan untuk memproduksi buku fiksi,
-> Sepertinya BBB (Book Buying Ban) adalah langkah logis yang harus aku ambil dan berusaha untuk aku wujudkan di sisa tahun 2019 ini.
Bagaimana dengan perkembangan membacamu sejauh ini?
Semangat, yaa! Saya juga pernah merasakan hal yang sama, males baca buku, malas nulis resensi. Tapi ujung-ujungnya balik baca lagi, sih. Lupa waktu itu ngapain, hehehe.
Hehehe iya, terima kasih Ratih 😀 Membaca memang pasti akan ada masa naik dan turun ya… Meskipun sudah sadar dengan kenyataan ini, terkadang tetap sedih juga ketika reading slump melanda >.<
Lagi mengalami hal ini sekarang. Baca buku malah di tinggal tinggal, nonton film yg ringan pun malas nulis buat resensi, huft. Baca tulisan ini semoga bisa jdi penyemangat aku buat nulis. Nice posting mba! :')
It's okay to feel like that at times Nisa! Kalau memang merasa tidak bersemangat, tidak perlu memaksakan diri. Don't beat yourself to hard over it. Ada baiknya mencoba alternatif kegiatan lain yang bisa membuat senang dan memicu semangat baru ^^ Cepat atau lambat, masa tidak mengenakkan ini akan berlalu juga. Terima kasih karena sudah mampir Nisa 😀 I hope you only have great days ahead.
Terima kasih Farah buat sarannya, aamiin semoga bisa di lalui dengan baik! :') hehe yup sama2