[14/03/19] Tentang Ke Sarang Penyelundup (Lima Sekawan #4) Karya Enid Blyton

https://www.instagram.com/p/Bu-eY-igi2w/
“Adventures always come to the adventurous, there’s no doubt about that!”


Informasi Buku
Judul: Ke Sarang Penyelundup 

Judul
asli: Five Go To Smuggler’s Top 

Penulis:
Enid Blyton 

Penerjemah:
Agus Setiadi 

Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
 

Bahasa: Indonesia

ISBN: 9796055872(?)

Tahun publikasi: 1997 (Pertama kali diterbitkan tahun 1945 dalam Bahasa
Inggris)

Cetakan: ke-14 (Agustus 2006)

Jumlah halaman: 272 halaman 

Temukan buku ini di Goodreads

Blurb

Petualangan KEEMPAT mereka yang seru dan mengasyikkan!

Benarkah masih ada penyelundup di sarang penyelundup? Lima sekawan pergi
berlibur di sebuah rumah tua dan menemukan tempat-tempat persembunyian rahasia
serta lorong-lorong bawah tanah! Mereka juga melihat beberapa orang mengirimkan
sinyal-sinyal rahasia ke laut…

Siapakah para penyelundup ini sebenarnya?

Menurut Farah Tentang Buku Ini

Aku sebenarnya bukanlah tipe pembaca yang gemar
membaca ulang buku. Setelah selesai dengan satu buku, aku akan langsung pindah
ke buku lain tanpa melihat ke belakang lagi. Aku mulai mempertimbangkan
kemungkinan membaca ulang buku setelah (akhirnya) membaca versi novel dari seri
legendaris Harry Potter. Rangkaian buku dalam seri yang satu
ini memang seasyik itu untuk dibaca ulang. Aku kira para Potterhead akan
setuju kalau aku berkata bahwa daya tarik Harry Potter itu hampir tidak ada
habisnya. Cepat atau lambat, kau pasti akan tergoda lagi untuk menyelam ke
dunia fantasi karya J.K. Rowling ini.

Ketika memutuskan untuk mengikuti PopSugar Reading Challenge 2019, salah satu prompt
dalam tantangan ini adalah “Sebuah buku yang membuatmu bernostalgia”.
Pada awalnya aku sempat tergoda untuk membaca Harry Potter saja untuk prompt
ini. Setelah dipikir-pikir lagi, sayangnya Harry Potter tidak terlalu
menimbulkan nostalgia berarti bagiku. Aku baru membaca seri ini dipenghujung
usia belasan tahun bagaimanapun juga. Pilihanku akhirnya jatuh pada buku
anak-anak yang menjembatani fase komik dan novel dalam perjalanan membacaku, Lima Sekawan.

Melihat tumpukan buku Lima Sekawan di rak saja
memang membawaku bernostalgia jauh ke tahap dalam hidup yang terasa lebih
sederhana. Aku mengenal rangkaian buku ini di awal usia belasan tahun dari
seorang teman. Waktu itu aku sedang getol-getolnya membaca komik dan belum
melirik novel sama sekali. Rangkaian buku petualangan Lima Sekawan inilah
yang menjadi jembatanku untuk mulai tertarik dalam membaca prosa panjang
seperti novel.

Ke Sarang Penyelundup adalah buku ke-4 dari 21 buku dalam seri Lima Sekawan. Aku memilih
untuk membaca buku ini lagi di antara belasan buku lain karena sampul depan
bukunya yang menarik perhatian. Meskipun sudah selesai membaca rangkaian buku
ini hampir satu dekade lalu, aku boleh dibilang lupa total dengan petualangan
macam apa yang Julian, Dick, George, Anne, dan Timmy alami. Aku masih ingat
menghabiskan waktu siang hari sepulang sekolah dulu dengan membaca buku-buku
Lima Sekawan dengan khusyuk sampai Magrib menjelang. Ketika membaca ulang buku
ini sekarang, tanpa sadar aku sudah sampai di halaman akhir buku dalam rentang
waktu yang singkat saja. Man, time does flies, huh?

Dalam Ke Sarang Penyelundup, lima sekawan yang
sudah merencanakan Liburan Paskah nan tenang di Pondok Kirrin terpaksa harus
berlibur ke tempat lain. Badai besar yang terjadi di malam pertama kedatangan
mereka akhirnya meruntuhkan sebuah pohon besar yang menimpa Pondok Kirrin.
Keempat muda-mudi ini akhirnya dikirim Paman Quentin ke Sarang Penyelundup,
tempat dimana rumah seorang rekan sesama ilmuwan Paman Quentin, Pak Lenoir,
berada. Pak Lenoir sendiri bersedia menampung mereka dengan harapan bahwa
mereka dapat menjadi teman bermain bagi anak-anaknya. Putra Pak Lenoir, Pierre,
ternyata merupakan teman satu internat dari Julian & Dick. Diliputi dengan
rasa senang karena bisa menghabiskan liburan dengan seorang teman baru dan
penasaran dengan tempat tujuan mereka, Lima Sekawan akhirnya berangkat ke
Sarang Penyelundup tanpa ekspektasi apa-apa. Tapi, tentu bukan Lima Sekawan
namanya kalau tidak terlibat dalam petualangan mendebarkan selama liburan
mereka.

***

Membaca ini di awal usia belasan tahun hanya meninggal
memori menyenangkan dalam ingatanku. Petualangan mereka terasa sangat wow
ketika dibayangkan dalam pikiranku yang masih SMP saat itu. Aku memang
sepenuhnya hanya fokus pada petualangan mendebarkan mereka yang sangat asyik
ketika dibaca dan diikuti. Aku pikir buku-buku petualangan seperti ini memang
cocok untuk mengenalkan bagaimana serunya kegiatan membaca itu bagi
anak-anak.

Dalam pikiranku yang sudah lebih “dewasa”
sekarang, beberapa aspek dalam petualangan mereka memang seringkali too good
to be true
. Maksudku, beberapa solusi untuk permasalahan pelik dan
terkadang berbahaya yang mereka hadapi terlalu sederhana dan terlalu
“mudah” kalau dinilai dari sisi realistis atau tidaknya. Tapi,
kembali lagi, bagaimanapun juga buku ini memang hanyalah buku fiksi petualangan
yang bertujuan untuk menghibur pembaca.

Aku juga baru sadar bahwa kritik terhadap karya Blyton mulai
bermunculan ketika banyak orang menyadari
bagaimana kisah-kisah yang
ditulis Blyton seringkali bernada rasis, seksis, dan xenofobik. Jujur, isu-isu
seperti ini belum benar-benar tertanam di kepalaku yang masih belasan tahun
satu dekade lalu. Tapi ketika dilihat dari kacamataku yang sekarang, aku
memahami poin yang dibuat salah satu reviewer Goodreads ini di
akhir ulasannya tentang buku Ke Sarang Penyelundup
. Gelar
“Si Hangus” yang diperoleh Pierre karena kulitnya yang agak gelap
memang terkesan agak rasis.

Sejauh ini karya Enid Blyton yang baru aku baca memang
sebatas Lima Sekawan saja. Akan tetapi, kalau berusaha mengulik lebih
dalam, hawa seksisme memang agak terasa dalam dinamika antara Julian/Dick dan
Anne/George. Belum lagi penggambaran George sebagai seorang anak perempuan yang
berusaha keras untuk bertingkah seperti anak laki-laki. Seolah-olah, George ini
tidak akan “dianggap serius” kalau dia “bertingkah seperti anak
perempuan”. Karakter Anne juga digambarkan hampir selalu melakukan
tugas-tugas “feminim”. 

Don’t take it too seriously! It’s only children
fiction afterall.

Setelah membaca berbagai ulasan dan komentar
orang-orang di Goodreads dan internet, aku memperhatikan ada kelompok yang
menganggap bahwa “analisis mendalam” terkait karya Enid Blyton
seperti ini terlalu berlebihan (itu kan cuma buku anak-anak!) (dasar
SJW)
. Kelompok lain yang berseberangan langsung mengusulkan
“larangan untuk peredaran” buku-buku Enid Blyton karena muatan
mengganggu yang dimilikinya. Tapi, apakah itu merupakan keputusan terbaik?

Kalau dipikir-pikir lagi, buku-buku ini memang
memiliki beberapa aspek yang problematic dalam kisahnya. Akan tetapi,
tidak dapat dipungkiri pula bahwa buku-buku ini jugalah yang menjadi salah satu
sarana untuk menjadikan kegiatan membaca menyenangkan bagi anak-anak. Aku rasa
ada banyak orang di luar sana yang memiliki nostalgia menyenangkan dengan
membaca Lima Sekawan. Aku rasa kita juga harus mempertimbangkan era
ketika buku-buku ini ditulis (I mean… A lot of ancient myths & stories
can be quit problematic when you analyzed it in todays standard. Doesn’t mean
we have to ban it all together, right?
)

Aku sejujurnya lebih setuju dengan artikel T’Obrahm
yang bertajuk Growing Up a Blyton Girl ini. Alih-alih
melarang secara menyeluruh, akan lebih bijak sepertinya kalau anak didampingi
oleh orang dewasa ketika membaca buku-buku seperti ini. Orang dewasa bisa
meluruskan, menjawab, dan memberi pengertian tentang aspek penting yang harus
ditekankan kepada anak.

Aku rasa sebagai seorang anak, aku dulu belum terlalu
jeli dalam menyadari aspek-aspek “mengganggu” yang bisa tampak oleh
mataku sekarang. Aku memang benar-benar hanya fokus pada aspek petualangan saja
ketika membaca buku ini waktu itu. Mungkin ketika anak-anak zaman sekarang
membaca buku ini, mereka bisa lebih merasakan beberapa aspek yang agak “miss“. 

Akhir kata, aku tetap akan merekomendasikan buku Lima
Sekawan
sebagai salah satu pilihan bacaan untuk memperkenalkan anak 10
tahun ke atas pada kesenangan yang bisa diperoleh dari kegiatan membaca.
Bagaimanapun juga, seri buku ini memang berjasa dalam menjadikan membaca
sebagai aspek penting dalam hidupku. Hal yang perlu dicatat adalah bahwa
dampingan orang tua/ orang dewasa diperlukan untuk meluruskan beberapa hal
kepada anak ketika membaca buku ini. 

Rating

3,5/5

0 thoughts on “[14/03/19] Tentang Ke Sarang Penyelundup (Lima Sekawan #4) Karya Enid Blyton

  1. saya termasuk pecinta enid blyton juga dan baru nyadar dengan isu-isu tersebut (rasis,seksisme,dll) saat baca-baca artikel tentang enod blyton. selain itu, ada juga yang bilang kalau anggota lima sekawan ini usianya nggak terlalu bertambah (dari awal petualangan sampai akhir diceritakan belasan tahun dan hanya nambah sedikit dari usia awal). after all, waktu kecil memang ngerasa seru-seru aja sih baca bukunya, nggak kepikiran ke rasis, seksisme, dll. hehehe.

  2. Iya nih, Kak. Dulu Farah pun fokusnya memang cuma ke petualangan asyik mereka berlima aja. Farah sendiri baru sadar kalau karya Enid Blyton ada yang mengundangkan kontroversi karena seorang reviewer di Goodreads yang memberi rating 2 ke buku Beliau. Reviewer ini mengakui kalau aspek petualangan 'Lima Sekawan' memang asyik, tapi ternyata dibalik cerita seru mereka berlima ada isu-isu sensitif yang menjadi perhatian banget akhir-akhir ini…. Jadi rindu masa ketika semua lebih sederhana hehe

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *