Antologi cerpen Kompas memang selalu pantas dibaca, demikian pula yang edisi 1999 ini. Bagaimana tidak? Ada 20 cerpen yang layak dibaca. Cerpenis Budi Darma dengan Derabatnya, Jujur Prananto dengan Nasib Pendengar Setia, Lembu Di Dasar Laut ala Afrizal Malna, Seno Gumira, Y.B. Mangunwijaya, dan masih banyak lagi.
Dalam antologi ini, garis besar cerita yang ditampilkan hampir sama, maksudnya dalam segi tema tapi tentu saja proses kreatifnya bervariasi. Tentang kehidupan sosial masyarakat pinggiran, urusan hati individu, politik, dan tak luput menceritakan tentang kerusuhan Mei. Tentu saja, sastra bukan hanya tentang unsur intrinsiknya tetapi juga unsur-unsur luar yang membumbui cerita agar lebih sedap; ada getir, asin, manis, pedas, dan segar. Akhir kata, cerpen-cerpen di antologi ini pantas untuk dibaca berulang-ulang lalu diresapi maknanya.
[15/12/17] Tentang Derabat: Cerpen Pilihan KOMPAS 1999
Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?
Judul: Derabat: Cerpen Pilihan KOMPAS 1999
Penulis: Budi Darma, Jujur Prananto, Rainy MP Hutabarat, Sirikit Syah, Afrizal Malna, Gus tf Sakai, AS Laksana, Umar Kayam, A.A. Navis, Herlino Soleman, Hamsad Rangkuti, Leila S. Chudori, Prasetyohadi, Y.B. Mangunwijaya, Gerson Poyk, Radhar Panca Dahana, Veven Sp Wardhana, Bre Redana, Cecep Syamsul Hari, Seno Gumira Ajidarma, Ahmad Sahal, Toeti Heraty
Penerbit: Kompas
ISBN: 9786024122478
Tahun publikasi: 2017 (pertama kali dipublikasikan pada 1999)
Jumlah halaman: 210 halaman
Buku: milik pribadi
Temukan buku ini di Goodreads
Blurb
Menurut Farah Tentang Buku Ini
Setelah sebelumnya berkesempatan membaca buku kumpulan cerpen pilihan KOMPAS tahun 1992 dan 1993, langsung muncul keinginan kuat dalam diriku untuk membaca buku kumpulan cerpen pilihan KOMPAS tahun 1998 karena well… Aku penasaran dengan cerpen macam apa yang mungkin akan muncul di tahun kelahiranku yang juga diwarnai gejolak di negara tercinta ini. Ternyata buku kumpulan cerpen itu tidak pernah terbit. Aku pun akhirnya membaca buku kumpulan cerpen KOMPAS tahun 1999 Ini.
Derabat memang lebih tebal kalau dibandingkan dengan 2 buku kumpulan cerpen KOMPAS yang aku baca sebelum ini. Buku kumpulan cerpen pilihan KOMPAS tahun 1999 ini merangkum 20 cerita pendek yang pernah terbit di koran KOMPAS dalam rentang waktu dari tahun 1997 hingga tahun 1998. Jadi begitulah… Rasa penasaranku akan cerpen yang terbit di koran Kompas pada tahun 1998 pada akhirnya terobati. Ada lebih banyak cerita dan penulis yang terlibat dalam buku 210 halaman ini. Tidak hanya itu saja, kita juga dapat menemukan tulisan menarik dari Ahmad Sahal dan Toeti Heraty di bagian pembuka dan penutup buku.
Sama seperti buku kumpulan cerpen KOMPAS yang sudah-sudah, tema dominan yang diusung dalam cerpen-cerpen di Derabat adalah satire dan kritik sosial. Mengagumkan memang bagaimana imajinasi mengizinkan kita untuk bermain agar dapat menyampaikan kritik dengan cara yang diperhalus tapi tetap menusuk dalam. Aku merasa cerpen-cerpen ini menjadi cerminan kondisi soal budaya yang ada di era itu dan mirisnya, beberapa masih relevan di tahun 2017 ini. Cerpen Nasib Seorang Pendengar Setia karya Jujur Prananto, Ulat Dalam Sepatu karya Gus tf Sakai, dan Bulan Kabangan karya Bre Redana adalah favoritku yang mengangkat tema ini.
Tapi, tentu saja cerpen favoritku dari buku kumcer ini adalah cerpen yang hit me right in the feels. Dengan kata lain, cerpen favoritku adalah cerpen bittersweet dan sentimental (as expected of course). Cerpen Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku Dengan Bibirmu? karya Hamsad Rangkuti langsung menjadi cerpen favoritku karena beberapa alasan berikut;
a) Cerpen ini mengangkat tema forbidden romance (a guilty pleasure for me) dan sangat mengingatkanku pada salah satu novel favoritku tahun ini, Call Me By Your Name, karya Andre Aciman yang baru selesai aku baca beberapa minggu lalu.
b) Membaca cerpen ini seperti pulang ke rumah karena latar ceritanya bertempat di kampung halamanku (Cerpen A.A. Navis bertajuk Tamu Yang Datang di Hari Lebaran dalam buku ini juga seolah membawaku kembali pulang)
Jadi ya… Cerpen Hamsad Rangkuti ini adalah cerpen favoritku dari buku kumpulan cerpen KOMPAS tahun 1999 ini.
Kalau berbicara tentang cerpen yang menarik perhatianku, beberapa cerpen menjadi menarik karena cerpen itu mengingatkanku pada hal lain yang sebelumnya pernah aku baca. Cerpen Menggambar Ayah karya AS Laksana mengingatkanku pada salah satu cerpen dalam buku kumcer Okky Madasari, Yang Bertahan dan Binasa Perlahan, bertajuk Janin karena sudut pandang yang digunakan dalam penceritaannya. Narator dalam cerpen Leila S. Chudori sendiri, Surat Untuk Wai Tsz, tidak lain dan tidak bukan adalah Nadira dari novel For Nadira. Hal ini menarik bagiku karena salah satu hal yang sangat aku nikmati secara pribadi sampai saat ini adalah menemukan hubungan dari berbagai hal.
Kalau kau adalah penggemar cerpen-cerpen lokal, buku ini adalah bacaan wajib untukmu.
Ulasan lainku terkait cerpen pilihan KOMPAS juga dapat ditemukan disini
Rating
4/5