Tentang Honey Girl Karya Morgan Rogers

Review sebuah novel kontemporer berkesan yang aku baca di bulan Maret 2021!

Informasi Buku

Judul: Honey Girl

Penulis: Morgan Rogers (intip situs resmi penulis di sini)

Format Buku: Audio

Narator: York Whitaker

Durasi: 10 jam, 11 menit

Bahasa: Inggris

Penerbit: Harlequin Audio 

ISBN: 9781488210754

Artis Sampul: Poppy Madga

Design Sampul: Gigi Lau 

Tahun publikasi: 2021

Baca juga review lain di The StoryGraph

Blurb Buku

A refreshingly timely and relatable debut novel about a young woman whose life plans fall apart when she meets her wife.


With her newly completed PhD in astronomy in hand, twenty-eight-year-old Grace Porter goes on a girls’ trip to Vegas to celebrate. She’s a straight A, work-through-the-summer certified high achiever. She is not the kind of person who goes to Vegas and gets drunkenly married to a woman whose name she doesn’t know…until she does exactly that. This one moment of departure from her stern ex-military father’s plans for her life has Grace wondering why she doesn’t feel more fulfilled from completing her degree. Staggering under the weight of her parent’s expectations, a struggling job market and feelings of burnout, Grace flees her home in Portland for a summer in New York with the wife she barely knows. In New York, she’s able to ignore all the constant questions about her future plans and falls hard for her creative and beautiful wife, Yuki Yamamoto. But when reality comes crashing in, Grace must face what she’s been running from all along—the fears that make us human, the family scars that need to heal and the longing for connection, especially when navigating the messiness of adulthood.

Pilihan Akses Buku

Aku mendengar edisi audiobook Honey Girl melalui Scribd.

Edisi paperback bisa ditemukan di Periplus.

Edisi e-book juga tersedia di Google Play Book.

Penasaran ingin mencoba Scribd? Kamu bisa menggunakan link referal ini untuk coba-coba.

Menurut Farah Tentang Buku Ini

Membaca blurb Honey Girl akan memberi kesan bahwa novel kontemporer ini adalah kisah romantis. Asumsi yang tidak sepenuhnya salah tentu saja. Romansa antara Grace Porter & Yuki Yamamoto memang merupakan salah satu komponen dalam novel. Akan tetapi, cerita romance mereka bukanlah fokus utama. Honey Girl, pada intinya, adalah kisah coming-of-age seorang perempuan black & queer di penghujung usia 20-an. Buku ini juga bercerita tentang ketidakpastian yang datang setelah kamu menyelesaikan pendidikan akademik yang hampir dekade durasinya.


Menasbihkan genre spesifik untuk Honey Girl memang sulit. Fakta ini juga diamini oleh review buku Honey Girl dari The Seattle Times & wawancara Bitch Media dengan Morgan Rogers sendiri:

When I pitched the book to my agent and we were talking about submitting it to editors, I said it’s not a romance novel. It doesn’t really fit the beats and tropes in the romance genre. It’s first and foremost a coming-of-age [novel], even though those usually skew much younger in age. I’m younger than Grace. I’m 28, but it feels like a time where you can have this rebirth, grow, learn, and figure out who you want to be and where you want to go from here.”


Fleksibilitas dalam hal genre membuat Honey Girl bisa menyinggung banyak topik yang relevan buatku sebagai pembaca. Topik seperti burn out, feeling lost in life, suka-duka pertemanan (friendship), kesehatan mental, sampai hubungan kompleks dengan orang tua membangun cerita coming-of-age seorang Grace Porter. Melihat panjangnya bagian pembuka review Honey Girl ini, jangan heran kalau bagian selanjutnya akan lebih panjang lagi.


Semoga kamu menikmati tulisan panjang tentang (banyak) hal yang aku sukai dari novel Honey Girl:


Hal Yang Disukai

Hal pertama yang membuatku tertarik pada novel Honey Girl (selain sampul cantik) adalah trope “Marriage In Vegas” yang langsung muncul di blurb buku. Sudah bukan rahasia lagi bahwa aku adalah pembaca rutin fanfiction (FF). Trope satu ini adalah staple dari puluhan (bahkan ratusan) FF yang sudah aku baca selama hampir satu dekade terakhir. Meskipun awalnya hanya berspekulasi, Morgan Rogers sudah mengkonfirmasi dalam beberapa wawancara bahwa dia memang terinspirasi dari FF:

“I got my start in writing [through] reading fanfiction, so I’m very familiar with the [genre’s] tropes. I have my favorite tropes that I like to read and look for. So I kept throwing out all these ideas of things I wanted to write and I had all these works in progress. And I was like, why don’t I just write what I want to read? I love the married-in-Vegas trope. I love the idea of two people who don’t know each other having to make things work and figure out how they fit or if they fit.” – dalam wawancara dengan Evette Dione dari Bitch Media.


>>>


Kalau bicara topik, aku sangat menikmati eksplorasi hubungan orang tua/anak dan queer friendship dalam cerita. Dua hubungan ini bisa dibilang merupakan fokus utama dalam perjalanan Grace Porter sebagai karakter (bahkan lebih dari hubungan romantis Grace dengan Yuki).


Aku suka bagaimana Grace belajar melihat orang tuanya dari sudut pandang berbeda. Bahwa di akhir hari orang tua adalah manusia tidak sempurna. Meskipun berusaha sebaik-baiknya, terkadang tindakan mereka akan berefek negatif pada anak, walau mereka tidak berniat memunculkan efek itu. Aku juga suka bagaimana teman-teman queer Grace menjadi support system untuk dia ketika keluarga dekat Grace tidak bisa menawarkan dukungan ini. Hubungan pertemanan mereka juga dipotret dengan realistis. It’s not a perfect friendship at all. Aku sangat mengapresiasi nuance yang Morgan Rogers tawarkan.

Dalam hubungan apapun, akan ada titik ketika konflik muncul & kita berpotensi melukai perasaan satu sama lain. That’s the deal with human relations. Hal yang penting adalah bagaimana kita bekerja sama untuk memecahkan konflik ini. Aku pikir ini adalah hal penting untuk diingat karena meskipun berharap kita tidak melukai perasaan siapa-siapa apalagi orang terdekat, konflik adalah bagian tak terpisahkan dalam hubungan sehat.

>>>

Topik penting lain yang menjadi highlight cerita buatku adalah topik tentang kesehatan mental. Tidak hanya menyinggung burnout, cerita Grace juga menunjukkan usaha dia untuk menjadi lebih sehat & mindful dari segi mental dengan menemukan terapis yang bisa membantu. Kondisi mental seseorang akan mempengaruhi bagaimana dia membangun hubungan berarti dengan orang lain, bukan? Self-awareness in regards to your limitations/boundaries is good.
“The tension between having deeply meaningful relationships and still experiencing loneliness — which for Porter and her friends is tied to depression and other mental illness — is a common experience, but one rarely rendered wholly in fiction. Rogers stays with her characters through this tension, and during their more challenging moments.”  (The Seattle Times, Sarah Neilson).

Membaca berbagai tantangan yang dialami Grace & kawan-kawannya sebagai individu di usia 20-an sangat menenangkan. Aku merasa tidak sendiri.


>>>


Kalau bicara gaya penulisan & produksi audiobook sendiri, they are simply great. Cerita Grace ditulis dengan gaya bahasa yang begitu raw & tender. York Whitaker sebagai narator audiobook juga berhasil menghidupkan cerita perjalanan Grace menjadi sesuatu yang begitu enak didengar. Aku semakin kagum ketika sadar bahwa novel ini merupakan buku debut dari Morgan Rogers. Aku tidak sabar untuk membaca karya Rogers selanjutnya. 

Kenyataan bahwa dua booktuber yang sering aku tonton juga merekomendasikan novel ini adalah pertanda bagus.

Hal Yang Tidak Terlalu Disukai

Seperti yang sudah kamu lihat, aku adalah pengulas bias karena aku benar-benar menyukai buku ini. Bagian “Hal Yang Disukai” di atas (yang hampir 600 kata) adalah buktinya.

Kalau ditanya kritik, berikut beberapa hal yang aku harap bisa dipoles dari novel ini:
  • Meskipun tahu bahwa romance adalah salah satu bagian dari cerita & bukan merupakan fokus, aku sebenarnya masih berharap hubungan Grace & Yuki akan dikembangkan lebih lanjut. Honey Girl sendiri dipasarkan sebagai buku romance. Sayangnya ,romance bukanlah genre yang akan aku asosiasikan dengan cerita ini. Label adult contemporary sepertinya akan lebih cocok.
  • Selain itu, story arc dari salah satu karakter sampingan yang merupakan teman baik Grace menurutku tidak ditutup dengan memuaskan. Penutup arc dia terkesan buru-buru. Sebagai pembaca, aku merasa tidak mendapat closure di arc spesifik ini.
Booktuber WithCindy juga sudah mengulas buku ini & aku setuju dengan kritik dia tentang gaya penulisan Honey Girl yang bepotensi tidak cocok untuk beberapa pembaca. Kamu bisa membaca ulasan lengkap dari Cindy di sini.

Aku Akan Merekomandasikan Honey Girl Untuk…

Pembaca yang tertarik dengan kisah coming-of-age & self-growth seorang perempuan black & queer (dengan PhD) di penghujung usia 20-an. Kalau berharap untuk membaca kisah romantis yang fluffy & wholesome, Honey Girl sepertinya bukanlah buku yang tepat untukmu.


Jangan lupa untuk memeriksa content warning dulu kalau kamu memutuskan untuk membaca buku ini:

Content warnings (dikutip langsung dari situs resmi penulis): discussion and depictions of mental illness, self-harm (scratching skin, nails digging into skin as anxiety coping mechanism), past suicide attempt by side character, depictions of anti-Blackness and homophobia in the academic and corporate settings, casual alcohol consumption, minor drug use (marijuana), discussions of racism experienced by all characters of color, past limb amputation due to war injury (side character), past parent death (side character).


Rating

4,5/5

Bacaan Lanjutan


Terhibur/terbantu dengan tulisan ini? Dukung Farah melalui Karyakarsa

Farah melacak bacaannya di situs buku alternatif  The Storygraph | @farbooksventure

Ingin tanya-tanya & tetap anonim? Kirim saja pertanyaanmu lewat Curious Cat

[31/07/19] Tentang Harry Potter & The Deathly Hallows Karya J.K. Rowling

“Of course it is happening inside your head, Harry, but why on earth should that mean that it is not real?”



Informasi Buku 
Judul: Harry Potter and the Deathly Hallows 
Penulis: J.K. Rowling 
Penerbit: Bloomsbury Publishing 
ISBN: 978140889476743
Tahun publikasi: 2018 (pertama kali dipublikasikan tahun 2007 dalam Bahasa Inggris) 
Jumlah halaman: 640 halaman 
Buku: milik pribadi 
Bahasa: Inggris
Kategori umur: young adult 
Temukan buku ini di Goodreads


Blurb


Harry Potter is leaving
Privet Drive for the last time. But as he climbs into the sidecar of
Hagrid’s motorbike and they take to the skies, he knows Lord Voldemort
and the Death Eaters will not be far behind.

The protective charm
that has kept him safe until now is broken. But the Dark Lord is
breathing fear into everything he loves. And he knows he can’t keep
hiding.

To stop Voldemort, Harry knows he must find the remaining Horcruxes and destroy them.

He will have to face his enemy in one final battle. – Goodreads.





Menurut Farah Tentang Buku Ini


Tulisan ke-5 dan terakhir dalam rangkaian Harry Potter 5-Days Review Marathon.
Kenyataan bahwa The
Deathly Hallows
merupakan buku terakhir dalam seri Harry Potter entah kenapa terasa surreal saat aku menulis ini. Entah karena aku menghabiskan lima
hari terakhir meraba hati & menguras otak untuk menulis ulasan-ulasan ini. Entah
karena aku memang baru saja menamatkan novel ke-7 dari canon Harry Potter dan merasa hilang di momen
sesudahnya. Who knows? Lucunya, perasaan surreal ini
tidak langsung muncul ketika baru menamatkan buku tersangkutan. Perasaan ini baru
benar-benar mengendap ketika aku duduk dan menulis ini.



Mungkin ini adalah alasan kenapa aku segan menulis
ulasan beberapa buku. Mungkin aku sekedar belum siap berhadapan dengan emosi
yang dipicu buku itu (atau dalam banyak kasus, murni karena rasa malas).
Kalau diingat lagi, rasa segan & ingin menghindar memang bukan hal asing
dalam perjalananku membaca seri Harry
Potter
. Aku mengulur-ngulur waktu ketika memulai The Goblet of Fire karena tidak yakin dengan cerita macam apa yang
akan aku temui. Aku kembali melakukan ini di tengah-tengah buku The Order of the Phoenix (menghindari buku ke-5 ini disponsori oleh rasa frustasi alih-alih rasa tidak pasti ala
buku ke-4).



Membaca The
Deathly Hallows
memunculkan perasaan yang sama. Mungkin karena buku ini
adalah buku tentang perang. It’s hard
reading about war (most of the time at least)
. Lucunya, aku sebenarnya sudah familiar tentang bagaimana kisah ini akan bergulir dan bagaimana dia akan berakhir. There’s no surprise left for me. Jadi,
kenapa aku masih dilanda keinginan untuk menghindar dari fakta yang tidak bisa
dihindari ini? Pada akhirnya, motivasiku untuk menyelesaikan The Deathly Hallows datang dari ulang
tahun ke-39 Harry dan Harry Potter 5-Days Review Marathon! yang jatuh
& berakhir pada 31 Juli. Motivasi yang tidak biasa mengingat aku melakukan semua
ini atas nama reading for pleasure. Well..



Seperti yang sudah terlihat dari tulisanku pada 3
paragraf di atas, ada banyak hal yang menggelitikku pasca The Deathly Hallows dan aku ragu harus mulai dari mana. Mengikuti
jejak dalam ulasan untuk The Half-Blood Prince aku akan menumpahkan pikiran-pikiran random ini dalam
beberapa poin;



·      
The Weird
Humor Is Still There


Sepertinya ignorance
membuatku baru menyadari keberadaan humor tidak biasa ala Rowling di buku
ke-6 (atau mungkin selera humorku saja yang aneh?). Humor semacam ini
bisa jadi sudah tersebar mulai dari buku pertama tapi luput dari perhatianku. Terlepas
dari muatan cerita serius, ada terselip beberapa kalimat atau momen ringan
mengundang senyum. Pada bab pertama yang lumayan mengerikan, aku tersenyum
kecil ketika Snape & Yaxle bersinggungan dengan burung merak albino penghuni Malfoy Manor.


There
was a rustle somewhere to their right: Yaxley drew his wand again, pointing it
at his companion’s head, but the source of the noise proved to be nothing more
than a pure white peacock, strutting
majestically
along the top of the hedge.‘
He always did himself well,
Lucius. Peacocks…’ Yaxle thrust his wand back under his cloak with a snort.”  


(*) Honestly? I’m
snorting along with Yaxle on this one
. My
weird sense humor just find the whole keeping white peacocks on your yard
business as absurd (if not funny
).



Satu momen ringan lain (yang aku
ingat dan tandai) adalah momen ketika Lupin membawa kabar kelahiran Teddy dan
menobatkan Harry sebagai godfather;


“He
[Harry] seemed set on course to become just as reckless a godfather to Teddy
Lupin as Sirius Black had been to him.”*

(*) Harry just finish planning for
the Gringotts raid this time around
.
·      
Things I Just Realize; Hallows vs. Horcrux Dilemma
Aku tidak bisa mengingat Harry melalui dilema ini
dalam camping-trip tanpa tujuannya di
film. Dilema ini lumayan membekas di ingatanku meskipun masih ada beberapa
bagian yang belum aku mengerti sepenuhnya. The
I-am-not-so-sure-Harry-moments
muncul kembali. Di satu poin, Harry memang
mengembangkan obsesi tidak sehat untuk menemukan Hallows (karena minimnya
kemajuan mereka dalam menghancurkan horcrux). Aku seolah bernostalgia ke buku 6
ketika Harry mencurigai (+ terobsesi) pada Malfoy & firasat Harry terbukti
benar. Aku tidak bisa menyalahkan sikap skeptis Hermione karena ketika
terobsesi, Harry memang sering kali lupa daratan karena terlampau fokus pada
tujuan yang ingin dia capai.
·      
Change of Hearts; Kreacher’s Tale
Di akhir cerita, aku sudah memperkirakan akan ada perubahan
dalam hal bagaimana aku memandang suatu karakter. Kenyataannya, aku tetap tidak
bisa memutuskan perasaan dan pendapatku terkait Snape & Dumbledore. They are a hopeless case for me. Satu-satunya
perubahan sudut pandang signifikan terjadi pada karakter
non-penyihir dalam buku ini; Kreacher, si House Elves.
Aku masih tidak bisa melupakan hal
yang Kreacher perbuat dalam The Order of
the Phoenix
. Di saat yang bersamaan, ada gema kebenaran dalam kata-kata Dumbledore
ini;

“`Sirius
did not hate Kreacher,’ said Dumbledore. ‘He regarded him as a servant unworthy
of much interest or notice. Indifference and neglect often do much more damage
than outright dislike… the fountain we destroyed tonight told a lie. We wizards
have mistreated and abuse our fellows for too long, and we are now reaping our
reward.’





Meskipun agak tertohok di bagian ini,
sikap Kreacher yang masih kurang menyenangkan di buku-6 membuat rasa kurang
sukaku semakin persisten. Dalam The
Deathly Hallows
, bab Kreacher’s Tale mengubah
total caraku memandang house elves yang
satu ini  setelah mendengar perjalanan macam apa
yang dia lalui bersama Regulus Black. I
can’t believe I have to hear a horrible story first before I realize how
Kreacher deserve some respects.
Lesson
learned.



·      
Recurring Things From The Past; Harry &
Hermione Duo
Sepertinya yang sudah aku perkirakan
dalam ulasanku untuk The Order of The Phoenix, duo Harry&Hermione kembali muncul
dalam buku ke-7. Hal yang sangat berbeda kali ini adalah bagaimana mood suram mewarnai perjalanan mereka berdua.
Not the finest moments of this duo of
course.
Dalam novel, duo ini sangat bermuram-durja bahkan cenderung
sengsara pasca ditinggal Ron. Dalam versi film adaptasi sendiri, bagian ini
disulap menjadi momen bittersweet dalam
pertemanan Harry&Hermione. Perubahan ini akhirnya menghasilkan salah satu
scene favorit sepanjang masaku dari Harry
Potter
.
·      
On the Film Version; Memorable Moments For Me
Sejujurnya banyak hal tentang 2 film yang diangkat
dari novel The Deathly Hallows terasa
kabur di ingatanku sekarang. Aku tidak bisa mengingat detail tentang kedua film
ini. Berbeda dari dua film pendahulunya yang (di mataku) masih kaya akan warna,
film adaptasi The Deathly Hallows is as
bleask as a war movie
. It just a
never ending gray color
.
Di sisi lain, ada 3 momen dalam 2 film
ini yang tidak lenyap dari ingatanku;
[1] The Tale of 3 Brothers moment; Aku sangat mengagumi versi
animasi cerita ini.
[2] Harry&Hermiones di Godric Hollows; the whole scene just feels magical and
bittersweet,

[3] Harry&Hermione berdansa di dalam tenda; bagian ini memang tidak ada dalam
novel. Still, it’s truly a good addition
in my opinion
. Ketika scene ini
muncul dalam film, emosi yang dipicu dari oleh lagu yang mengiringi dance mereka lagi-lagi memicu perasaan bittersweet. Ketika tarian mereka berakhir;  penonton tahu bahwa ini tidak mengubah
apa-apa & kondisi mereka masih jauh dari kata baik. Hanya rasa bitter yang tertinggal. Fakta menohok
inilah yang membuat scene ini sulit
lenyap dari ingatanku.
Happy 31 July & Happy birthday Happy Potter!

Happy birthday Harry Potter! From learning yer a wizard to finding true friends, and realising that your parents will be with you #always – here are just some of our favourite Harry moments. 🎉🎂🎁#HappyBirthdayHarryPotter pic.twitter.com/IVe8sjn5RP

— Bloomsbury UK (@BloomsburyBooks) July 31, 2019

Rating
4,5/5
 

Ternyata Pottermore
juga memiliki beberapa momen favorit yang sama denganku dalam berbagai seri Harry
Potter.
Lihat selengkapnya dalam kiriman Pottermore untuk
memperingati ulang tahun ke-39 Harry
.


— Pottermore (@pottermore) July 31, 2019

Daftar
lengkap dari ulasan untuk seri novel Harry Potter dalam Far’s Books Space dapat
dilihat dalam kiriman ini.

[31/07/19] Tentang Harry Potter & The Half-Blood Prince Karya J.K. Rowling

But for heaven’s sake – you’re wizards! You can do magic! Surely you can sort out – well – anything!”

Informasi Buku 
Judul: Harry Potter and the Half-Blood Prince
Penulis: J.K. Rowling 
Penerbit: Bloomsbury Publishing 
ISBN: 9781408894767 
Tahun publikasi: 2018 (pertama kali dipublikasikan tahun 2005 dalam Bahasa Inggris) 

Jumlah halaman: 560 halaman 
Buku: milik pribadi 
Bahasa: Inggris
Kategori umur: young adult
Temukan buku ini di Goodreads


Blurb

When Harry Potter and
the Half-Blood Prince opens, the war against Voldemort has begun. The
Wizarding world has split down the middle, and as the casualties mount,
the effects even spill over onto the Muggles. Dumbledore is away from
Hogwarts for long periods, and the Order of the Phoenix has suffered
grievous losses. And yet, as in all wars, life goes on.

Harry,
Ron, and Hermione, having passed their O.W.L. level exams, start on
their specialist N.E.W.T. courses. Sixth-year students learn to
Apparate, losing a few eyebrows in the process. Teenagers flirt and
fight and fall in love. Harry becomes captain of the Gryffindor
Quidditch team, while Draco Malfoy pursues his own dark ends. And
classes are as fascinating and confounding as ever, as Harry receives
some extraordinary help in Potions from the mysterious Half-Blood
Prince.

Most importantly, Dumbledore and Harry work together to
uncover the full and complex story of a boy once named Tom Riddle—the
boy who became Lord Voldemort. Like Harry, he was the son of one
Muggle-born and one Wizarding parent, raised unloved, and a speaker of
Parseltongue. But the similarities end there, as the teenaged Riddle
became deeply interested in the Dark objects known as Horcruxes: objects
in which a wizard can hide part of his soul, if he dares splinter that
soul through murder.

Harry must use all the tools at his disposal
to draw a final secret out of one of Riddle’s teachers, the sly Potions
professor Horace Slughorn. Finally Harry and Dumbledore hold the key to
the Dark Lord’s weaknesses… until a shocking reversal exposes
Dumbledore’s own vulnerabilities, and casts Harry’s—and
Hogwarts’s—future in shadow. – Goodreads.

Menurut Farah Tentang Buku Ini

Selamat membaca tulisan ke-4 dalam rangkaian
Harry Potter 5-Days Review Marathon!
Sorry
for the delay but life happens I guess.
Spoilers
will be present on this post. So proceed with caution!
Mengikuti jejak The
Prisoner of Azkaban yang aku tamatkan
dalam sekali duduk, The Half-Blood Prince
menjadi sequel lain dalam seri Harry Potter yang aku lahap dalam durasi terbilang
singkat (hanya 1,5 hari). Meskipun tidak setebal The Order of The Phoenix, buku ke-6 ini tetap sarat akan plot poin penting serta twist mengejutkan nan memorable. Tidak hanya itu saja, The Half-Blood Prince juga diwarnai oleh
“humor” yang terselip di tengah-tengah narasi cerita serius dengan
tema seperti; kilas balik ke masa
lalu Voldemort, percobaan pembunuhan yang untungnya gagal, dan latar
belakang di balik kematian orang tua Harry. Kombinasi humor tidak biasa, drama
remaja, dan kemajuan cerita yang serius/suram tanpa sepenuhnya membuat lelah
membuat novel ini menjadi novel favorit keduaku setelah The Prisoner of Azkaban.
Ada banyak aspek yang menggelitik-ku setelah membaca The Half-Blood Prince. Sering kali
aspek-aspek ini tidak senantiasa berhubungan antar satu dengan lain. So, I’ll write my thoughts on bullet point
format for the sake of clarity
.
·      
The Weird
Humor of The Half-Blood Prince
Setelah diteror dengan bab pembuka nightmarish dalam The Goblet
of Fire
(feat. Pembunuhan muggle tidak berdosa oleh Voldemort) dan
The Order of The Phoenix (feat. Serangan dementor yang (lagi-lagi) melibatkan muggle), The Half-Blood
Prince
dibuka dengan bab ringan dan terbilang lucu. Dituturkan dari sudut
pandang perdana menteri muggle, bab
satu memang jauh dari kata bahagia karena membahas bagaimana kebangkitan Dark Lord memiliki andil besar peristiwa-peristiwa
buruk yang marak di komunitas muggle belakangan.
Pembaca bisa sedikit lega dan tersenyum kecil karena muggle yang satu ini masih kesulitan menerima bahwa sihir itu nyata.

But for heaven’s
sake – you’re
wizards! You can do magic! Surely you can sort out – well – anything!” – says a very dazed & confused muggle
prime minister.

Momen-momen komedi lain dalam The Half-Blood Prince secara langsung (mau pun tidak langsung)
juga disponsori oleh Potion Master teranyar
Hogwarts; Horace Slughorn. Mulai dari misi perekrutan Slughorn di awal novel (“He pushed past Harry, his face turned
resolutely with the air of a man trying to resist temptation”
), rangkaian
acara makan-makan canggung Slug Club
(feat. Smug Zabini
), Pesta Slughorn (feat.
Duo Harry & Luna), sampai bab legendaris ketika Harry akhirnya membujuk
Slughorn menggunakan Felix Felicis (that
chapter is comedic gold but turn
kinda bittersweet in the end
). Ironisnya, bab ikonik ini juga adalah bab
yang membahas kematian Aragog, acromantula
teman baik Hagrid. Entah kenapa kematian (atau hal-hal buruk lain) & humor kadang terasa tepat ketika berdampingan.
Di paruh awal The
Half-Blood Prince
, bab-bab serius memang diselingi oleh bab yang lebih
ringan dan kadang mengundang senyum. Hal ini tentu tidak berlaku lagi dalam
bab-bab akhir yang terasa seperti kombinasi klimaks sekaligus penutup cerita dengan
kesan tidak pasti dan suram.
·      
The
Ambigous Character(s)
Snape & Dumbledore adalah dua
karakter yang sudah masuk dalam daftar karakter ambigu secara moral versiku sejak
beberapa buku lalu. Snape sebenarnya bisa aku tolerir kalau dia tidak merisak
murid tanpa alasan. Perdebatannya dengan Bellatrix bahkan adalah salah satu highlight dalam The Half-Blood Prince menurutku. Iya, aku sadar akan masa lalu
macam apa yang Snape lalui. Apa ini
cara Snape menangani duka dan luka masa lalu? Bisa jadi, aku tidak ingin
menghakimi. Harus diingat juga bahwa Snape memiliki pilihan untuk bersikap
lebih baik pada anak-anak tidak
berdosa yang dia ajar. Sangat disayangkan saja ketika dia tidak memilih “bersembunyi”
di balik topeng antagonis ini.
Setelah The Half-Blood Prince, Narcissa Malfoy & Draco Malfoy mendadak
menduduki peringkat teratas dalam daftar karakter ambigu secara moral versiku.
Narcissa muncul dalam bab 2 (Spinner’s
End
) dan sangat memancarkan
persona seorang ibu tidak berdaya dan sangat khawatir akan takdir yang menimpa
anaknya. Aku agak kaget ketika beberapa bab kemudian sikapnya langsung berubah
total. Ketika bertemu dengan The Golden
Trio
di toko Madam Malkin, Narcissa menunjukkan wajahnya sebagai seorang
wanita pureblood yang elitist & snobbish (aka gaya tipikal
Keluarga Malfoy).
Untuk kasus Draco sendiri, sedikit
demi sedikit akan terlihat bagaimana
tekanan tinggi mulai menggerus keyakinan & kepercayaan diri Draco akan
harapan untuk era lebih baik di bawah kekuasaan Voldemort. Aku tidak habis
pikir dengan percobaan permbunuhan ceroboh yang dia coba lakukan. Namun,
sepertinya tidak adil untuk melabeli Draco sebagai seseorang yang pure evil. Draco masih punya penyesalan
dan rasa takut, dua hal yang absen dari villain
utama seri ini. Aku tidak menjustifikasi keputusan tidak bijak yang Draco
ambil tentu saja. Aku merasa prihatin saja karena seorang anak tumbuh di bawah
didikan keluarga yang “merusak” seperti ini. Aku mendapat kesan bahwa Draco begitu
haus akan penerimaan. Sayang sekali dia akhirnya mencari penerimaan ini
di jalan yang salah.
Di satu titik aku juga merasa bahwa
Horace Slughorn adalah karakter yang ambigu (at this point every slytherin is basically morally ambiguous, am I
stereotyping?
)
Apa ini karena sikap alami Syltherin-nya yang self-serving? Slughorn sendiri (mostly) tidak memiliki motif jahat di balik
sikapnya yang tanggap mencari untung untuk diri sendiri. Still, I don’t think I’ll
comfortable having friend like him
.
·      
The
Disturbing Flashbacks of Voldemort’s Past
Bagian ini sangat membekas dalam
ingatanku karena detail kisahnya yang begitu disturbing. Aku bergidik sendiri mengingat bab tentang Keluarga
Gaunt. Ada indikasi kalau sikap “alami” Voldemort yang tidak manusiawi (lagi)
berasal dari cela dalam genetika turun-temurun Keluarga Gaunt. I don’t know about genetics honestly. This feels
like a never ending nature vs. nurture debate all over again
. Namun, tidak
bisa dipungkiri bahwa Tom Riddle lahir dari orang tua yang mengalami trauma
berat karena kekerasan di masa kanak-kanak & tumbuh di keluarga
disfungsional. It’s horrible. Bagian
ini juga menunjukkan padaku bagaimana mentalitas superior bukanlah satu hal
yang patut untuk dipelihara.
·      
The
Teenage Angst (and Teen Friendships in general)
The
Half-Blood Prince
adalah puncak dari teenage
angst
dalam seri Harry Potter. Romance
is everywhere on this book (The jealously and will-they-won’t-they moments
become-tiring at times)
. Aku tidak punya pendapat khusus tentang
hal-hal romantis. It’s simply fine. Salah
satu hal yang aku kagumi dari seri Harry Potter adalah plot tentang pertemanan antar
karakter dalam berbagai novelnya. Sebagaimana aku memuji Luna Lovegood dalam
ulasanku untuk The Order of The Phoenix, aku akan melakukan ini lagi dalam ulasan The Half-Blood Prince karena dinamika
pertemanan Harry dan Luna yang menghangatkan hati. Bless Harry for taking
her to Slughorn’s party
. Lagi-lagi, Luna menjadi cahaya kecil di tengah
kegelapan yang menyelimuti The Half-Blood
Prince
.
The Enevitable Novel vs. Film Part
Di titik ini aku sadar bagaimana aku tidak terlalu
ambil pusing dengan aspek cerita/narasi dalam film-film Harry Potter. Beberapa
film memang lebih memuaskan daripada film lain. Akan tetapi, fokus utamaku
ketika menyaksikan film-film ini adalah pada visual yang ditawarkannya.
Sepertinya ini adalah efek dari tidak membaca novel dulu sebelum menyaksikan
film. Novel memang jauh lebih kaya untuk bahan imajinasi di kepala. Tetap saja, film-film
yang menjadi paparan pertamaku terhadap dunia Harry Potter ini tidak
menimbulkan kekecewaan berlebihan dalam hati.
The Prisoner of
Azkaban, The Half-Blood Prince
, dan The
Order of Phoenix
adalah holy trinity
film Harry Potter favoritku karena
visual yang mereka tawarkan. Warna biru dan tone tenang/cool mendominasi The Order of
Phoenix
. Kantor Prof. Umbridge bahkan di dominasi dengan warna pink
memuakkan (sama dengan penghuni kantornya). Ketika The Half-Blood Prince beralih didominasi warna gelap
(ungu/abu-abu) – it just fits. Setiap
kali scene yang melibatkan Draco
muncul, tone film otomatis
menjadi abu-abu dan kabur. Oscar sepertinya juga setuju karena The Half-Blood Prince mendapat nominasi dalam kategori Cinematography.
Aku juga mengamati perubahan yang dibuat untuk sub-plot
Draco. Alih-alih melihat penurunan kondisi yang drastis ala novel-Draco, Draco
dalam film sudah digambarkan kehilangan kepercayaan diri dan semangat dari
awal. Mengingat bagaimana film cenderung memangkas banyak hal, aku rasa
perubahan ini adalah keputusan cukup bijak. The
point is still there
.
Petualangan Felix Felicis Harry juga adalah bagian favoritku
dalam film. Ada 2 momen yang begitu jleb di
hati pada bagian ini;
1.    
Jleb karena lucu ketika Harry menjadi sangat goofy setelah meminum ramuan
keberuntungan & berpapasan dengan Slughorn di Green House.
2.    
Jleb karena sedih/miris ketika Slughorn berbagi cerita
tentang hadiah dari Lily (bagian ini tidak ada di novel but the acting is so good
& hit you right on the feels)
Satu hal yang (benar-benar)
tidak aku sukai adalah scene opening film
ini. I mean seriously? Of all the things
to choose you make Dumbledore cockblocking Harry?? That gorgeous waitress (and
Harry) deserve better than that.

Rating

4,5/5
Daftar lengkap dari ulasan untuk seri novel Harry Potter dalam Far’s Books Space dapat dilihat dalam kiriman ini.  

[29/07/19] Tentang Harry Potter & The Order of The Phoenix Karya J.K Rowling

“…I
know nothing of the secrets of death, Harry, for I choose my feeble imitation
of life instead…”

Informasi Buku 
Judul: Harry Potter and the Order of The Phoenix
Penulis: J.K. Rowling 
Penerbit: Bloomsbury Publishing 
ISBN: 9781408894750 
Tahun publikasi: 2018 (pertama kali dipublikasikan tahun 2003 dalam Bahasa Inggris) 

Jumlah halaman: 816 halaman 
Buku: milik pribadi 
Bahasa: Inggris
Kategori umur: young adult
Temukan buku ini di Goodreads


Blurb

After the Dementors’ attack on his cousin Dudley, Harry knows he is about to become Voldemort’s next target.

Although
many are denying the Dark Lord’s return, Harry is not alone, and a
secret order is gathering at Grimmauld Place to fight against the Dark
forces.

Meanwhile, Voldemort’s savage assaults on Harry’s mind are growing stronger every day.

He must allow Professor Snape to teach him to protect himself before he runs out of time. – Goodreads

Menurut Farah Tentang Buku Ini

Selamat membaca tulisan ke-3 dalam rangkaian
Harry Potter 5-Days Review Marathon.
As
usual, some ~sirius~ spoilers are present. So please proceed with caution!
Dari 4 buku yang dirilis pasca The Prisoner of Azkaban, The Order of the Phoenix adalah sequel dengan ekspektasi paling minim bagiku
yang belum membacanya. Dalam kepala, aku sudah memperkirakan bagaimana The Goblet of Fire akan memunculkan perasaan
melankoli karena sudah beranjak ke arah yang lebih serius dalam cerita. Untuk The Half-Blood Prince & The Deathly
Hallows
sendiri, aku sudah menyiapkan diri akan betapa stressful­-nya menyelesaikan dua buku bersangkutan.
Anehnya, aku tidak yakin harus mengekspektasikan apa dari The Order of the Phoenix. Ya, lewat pengetahuan yang terbatas aku
memang sadar bahwa ada Umbridge yang merupakan mimpi buruk bagi semua orang kecuali Mr. Filch mungin. Aku juga sadar dengan fakta bahwa kematian akan menjemput salah satu
orang terdekat Harry. Tapi, aku tetap tidak bisa memperkirakan emosi macam apa
yang akan dipicu novel ini. Takjub ala The
Prisoner of Azkaban?
Terpana sekaligus takut ala The Goblet of Fire? I truly don’t know.
Setelah ditinggal dengan sense of doom & lost tapi
tetap berusaha positif dalam bab terakhir The
Goblet of Fire
, Harry menghabiskan bagian awal The Order of the Phoenix dengan rasa frustasi yang teramat sangat. Sebagai
pembaca, aku seolah “berbagi” emosi dengan Harry yang diliputi rasa marah,
bingung, frustasi, dan tidak berdaya di sepanjang cerita. Akhir-akhir ini, tidak
banyak novel yang bisa mengaduk emosiku sedemikian rupa seperti The Order of the Phoenix. Rasa frustasi
yang aku rasakan juga menjelaskan kenapa aku sempat vakum beberapa minggu dari  membaca novel 800-an halaman ini karena tidak sanggup meng-handle stress yang muncul. Yep, the novel is greatly affecting me like
that
Daftar sub-plot dan event
dengan potensi stress-inducing seolah
tidak ada habisnya dalam The Order of the
Phoenix;
Serangan misterius Dementor,
the unnecessary hearing, usaha Umbridge menguasai Hogwarts¸ cold shoulder yang harus diterima Harry
dari orang-orang di sekelilingnya, perpecahan Keluarga Weasley, nightmarish occlumency lessons, flashback ingatan
Snape ke era Marauder yang jauh dari kata menyenangkan, pertemuan bittersweet dengan
Neville di St. Mungo, fakta-fakta yang belakangan muncul tentang Kreacher si house elves… Belum lagi bagian teenage angst dalam cerita yang mulai
memanas;

“Well, you see,’ said Hermione, with the patient air of someone explaining that one plus one equals two
to an over-emotional toddler
, you shouldn’t have told her that you wanted
to meet me halfway through your date.’*

*Rowling knack for hilarious description never fails to
amazed me . Yes, the teenage angst is annoying at times but her golden
description never fail to brighten the day.*
The conclusion of
this rant is this
; The Order of The Phoenix is a stress trap in a form of a
thick novel.
I advise to prepare yourself thoroughly before reading it
.
Tidak adil
rasanya kalau aku tidak menggaris-bawahi juga bagian yang lebih tenang dalam The Order of The Phoenix. Dari tumpukan
momen melelahkan, ada beberapa momen lain yang stand out karena rasa damai yang dibawanya. Setelah melewati bagian
yang membuat frustasi, aku sempat terkejut dengan betapa ringan dan cepatnya
perjalanan untuk menamatkan novel paling tebal dalam seri Harry Potter ini. Berikut
adalah beberapa bagian menyenangkan yang paling memorable bagiku dalam The
Order of The Phoenix
;
·      
Bagian ketika kita dikenalkan pada Luna
Lovegood. Kemunculan Luna adalah salah satu highlight
dari The Order of the Phoenix.
Karakter Luna yang tenang adalah oase di tengah karakter-karakter hot-tempered dan mudah panik yang membanjiri Harry Potter. Luna dengan pembawaan
eksentriknya juga tidak segan menyuarakan fakta dan tidak mempermanis
kata-kata. She is truly a delight.
·      
Bagian
ketika Harry & Hermione melakukan perjalanan sebagai duo.
Petualangan
duo ini dari waktu ke waktu adalah salah satu highlight favoritku dalam keseluruhan seri Harry Potter. Aku
mengendus ada pola dalam kemunculan Harry & Hermione. Mengingat bagaimana
duo Harry&Hermione muncul di buku pertama (dalam usaha mereka untuk
mentransfer Sang Naga, Norbert) & buku ketiga (dalam petualangan time-turner yang asyik ketika dinikmati
tanpa terlalu dikupas mekanismenya), I
expect they will appear again on book 7, but most likely the mood will be somber
on that one
.
·      
Bagian ketika novel fokus pada detail terkait
kehidupan akademik di Hogwarts (lihat Bab 31 bertajuk O.W.L.S dalam novel ini).
Hal yang berkaitan dengan tetek bengek akademik memang strangely soothing dalam novel dengan level stress tinggi ini. As weird as it sounds, aku memang sangat
menikmati narasi tentang karakter fiksi yang melalui rintangan akademik (tapi
tidak terlalu suka melalui tantangan akademik itu sendiri *ahem*)
>    Harry’s teaching moments at DA is a great comfort too.

Rangkaian
keputusan tidak bijak memang dibuat dalam The Order of the Phoenix. Keputusan-keputusan ini pun pada akhirnya menghasilkan
konsekuensi yang tidak kalah memprihatinkan. Penutup The Goblet of Fire boleh jadi meninggalkan perasaan sense of doom. Akan tetapi, perasaan ini
sedikit terobati dengan momen ketika Harry menyerahkan hadiah Triwizard Tournament kepada Fred & George. Menamatkan The Order of the Phoenix sendiri murni
meninggalkan perasaan bittersweet atas
berbagai hal yang sudah terlanjur pergi dan tidak akan kembali lagi.
The Enevitable Novel vs. Film Part
Sebagai sumber paparan pertamaku terhadap dunia Harry
Potter, versi film adaptasi The Order of
the Phoenix
tidak terlalu meninggalkan kesan khusus bagiku sampai ketika menyaksikan
filmnya lagi beberapa minggu lalu. Yang pertama kali muncul di kepala adalah
bagaimana aku begitu menyukai sinematografi film ini. Banyak bagian dalam novel
yang hilang dan dimodifikasi dalam versi film tentu saja. Namun, tidak seperti
film adaptasi The Goblet of Fire yang
aku rasa bisa menjadi sesuatu yang lebih, aku cukup legowo dengan film
adaptasi The Order of the Phoenix.
Versi film The
Order of the Phoenix
memang lebih fokus pada plot point besar dan meninggalkan berbagai sub-plot yang kaya dari novel sumbernya. Tetap saja, aku
dengan ringan masih dapat mengatakan bagaimana puasnya aku dengan dua medium
berbeda yang berusaha mengisahkan The
Order of the Phoenix
ini. Novel memang jauh lebih kaya dalam hal konteks, versi
film di sisi lain benar-benar memanjakan mataku and I’m totally here for it. *The
scene of Sirius death is quite memorable by the way
*
Yep, I’m quite content with everything until now.

Rating
4,5/5

Daftar lengkap dari ulasan untuk seri novel Harry Potter dalam Far’s Books Space dapat dilihat dalam kiriman ini.  


[28/07/19] Tentang Harry Potter and The Goblet of Fire Karya J.K. Rowling

“Numbing the pain for a while will make it worse when you finally feel it.”


Informasi Buku 
Judul: Harry Potter and the Goblet of Fire 
Penulis: J.K. Rowling 
Penerbit: Bloomsbury Publishing 
ISBN: 9781408894651 
Tahun publikasi: 2018 (pertama kali dipublikasikan tahun 2000 dalam Bahasa Inggris) 

Jumlah halaman: 640 halaman 
Buku: milik pribadi 
Bahasa: Inggris
Kategori umur: young adult
Temukan buku ini di Goodreads


Blurb

When the Quidditch
World Cup is disrupted by Voldemort’s rampaging supporters alongside the
resurrection of the terrifying Dark Mark, it is obvious to Harry Potter
that, far from weakening, Voldemort is getting stronger. Back at
Hogwarts for his fourth year, Harry is astonished to be chosen by the
Goblet of Fire to represent the school in the Triwizard Tournament. The
competition is dangerous, the tasks terrifying, and true courage is no
guarantee of survival – especially when the darkest forces are on the
rise.

These adult editions have been stylishly redesigned to showcase Andrew Davidson’s beautiful woodcut cover artwork. – Goodreads

Menurut Farah Tentang Buku Ini

Tulisan berikut merupakan tulisan ke-2 dalam rangkaian Harry Potter 5-Days Review Marathon untuk memperingati ulang tahun Harry Potter yang jatuh pada tanggal 31 Juli.
Beware of spoiler! Proceed with
caution.
Ketika membuka halaman pertama The Goblet Of Fire, aku seolah langsung bisa merasakan bagaimana
berbedanya buku ini dari 3 buku pendahulunya. Dari tampilan fisik buku dan tata
letak tulisan saja, novel The Goblet Of Fire
seperti menunjukkan bagaimana kisah Harry mulai beranjak ke ranah lebih “gelap”
dan serius. Hal yang pertama kali menangkap perhatianku adalah betapa
signifikannya penurunan spacing antar
paragraf dalam novel ini. Bersamaan
dengan tampilan narasi yang lebih rapat, ukuran huruf dalam keseluruhan novel juga
jauh lebih kecil. You also know things
getting serious when the novel growing thicker in pages count
. Di poin
inilah aku merasa seri ini perlahan meninggalkan akar kanak-kanaknya
dan melangkah menuju “masa remaja” yang penuh ketidakpastian. 
Setelah absen dalam Prisoner
of Azkaban
, You-Know-Who langsung
menyapa pembaca di bab pembuka The Goblet
Of Fire
. Sayang sekali seorang Muggle
kurang beruntung akhirnya meregang nyawa di tangan penyihir yang terobsesi
dengan keabadian ini. Ini hanyalah pembuka dari serangkaian kematian lain yang
menanti dalam 3 novel penerusnya. Kematian bersisian dengan pembunuhan memang
bukan barang baru dalam semesta Harry Potter. Dalam 3 buku pembuka seri ini pun,
kematian dan pembunuhan selalu mengikuti di setiap sudut. Hal yang berbeda dalam
The Goblet Of Fire adalah bagaimana
eksplisit dan gamblangnya kematian muncul dalam cerita.
Dalam Chamber of
Secrets,
kematian Moaning Myrtle dipotret
lewat flashback dan meskipun (secara
teknis) adalah pembunuhan – there’s
nothing explicit about it
. Pembantaian massal yang dituduhkan terhadap Sirius
Black sendiri adalah kejadian yang begitu mengerikan. Namun, minimnya
deskripsi detail membuat pembaca tidak sadar bagaimana disturbing-nya bagian ini. Dalam pembuka novelnya, The Goblet of Fire secara gamblang langsung
menunjukkan Voldemort sebagai villain yang
bukan hanya berbahaya karena kemampuan sihir tidak manusiawinya, tapi berbahaya
karena tidak memiliki empati/rasa bersalah dan memang tidak pikir dua kali
untuk membunuh demi mencapai tujuannya. Aku memang sudah sadar akan fakta ini
sejak buku pertama ketika dia menempatkan luka legendaris itu di dahi Harry,
tapi membaca detail dari tindakan ini dalam timeline
cerita di saat sekarang membuat fakta ini lebih “nyata” dan bukan hanya
sekedar isapan jempol belaka.
Di sisi lain, aku mengapresiasi bagaimana novel The Goblet of
Fire

menyinggung beberapa karakter dengan hidden depth yang tidak dieksplorasi dalam versi film adaptasi. Yes, I’m talking about Victor Krum. Turn
outs he’s not merely a pure jock the way film potrayed him to be
. Aku juga
mengapresiasi bagaimana The Goblet of Fire mempertahankan tradisi twist di saat yang tepat dan membuat pembaca tidak mampu berkata-kata ala Prisoner
of Azkaban.
Meskipun menuju ke arah yang lebih suram, aku sempat
terkejut karena membaca The Goblet of
Fire
ternyata tidak menimbulkan emosi sekuat yang aku perkirakan. Iya, aku
memang geleng-geleng kepala karena teenage
angst
mulai terasa dibuku ke-4 ini. Aku bahkan sempat
menunda-nunda  membaca novel
The Goblet of
Fire
karena merasa belum siap menghadapi killing spree yang disponsori Voldemort.
Siapa sangka ternyata The Goblet of Fire hanyalah
pemanasan menuju buku yang benar-benar membuat frustasi dan emosi; Order of the Phoenix.
Sama seperti bagaimana bab terakhir dalam novel ini
diberi judul The Beginning, The Goblet of Fire memang hanya awal bagi gejolak emosi luar biasa yang akan dirasakan pembaca dalam Order of the Phoenix dan buku-buku
selanjutnya.

As Hagrid had said, what would come, would come… and he would have to meet it when it did.”

The Enevitable Novel vs. Film Part
Aku bukanlah
penggemar berat dari versi film adaptasi novel ini. I’m honestly dying because of Harry and Ron horrible hair cut.
Beberapa bagian dalam film memang mampu membuat terpana. The Barty Crouch revelation is golden if you ask me. Namun, secara
keseluruhan aku merasa film ini agak underwhelming.
Aku yakin segenap kru melakukan yang terbaik dalam film adaptasi ini, tapi aku tetap
merasa ada satu atau lain hal yang hilang. Kalau diminta merangking versi film
adaptasi, niscaya tidak akan mengejutkan kalau aku meletakkan film ini di
bagian bawah.
Membaca versi
novel merupakan perkara berbeda. Membaca The
Goblet of Fire is a revelation
because it’s so good. Tanpa ragu aku akan meletakkan versi novel ini dalam
peringkat teratas novel Harry Potter favoritku. Konteks yang ditawarkan novel juga membuat banyak hal dalam versi film The
Goblet of Fire
menjadi jauh lebih masuk akal. Mulai dari detail tentang drama
Keluarga Crouch sampai usaha tidak setengah-tengah Barty Crouch Jr. dalam
pengabdiannya untuk Voldemort. Mungkin tidak berlebihan kalau aku menilai
Crouch Jr. sebagai salah satu Death Eaters
paling accomplished di antara
pengikut You-Know-Who yang lain. I mean dude actually get things done! (Ini
bukanlah hal yang patut dibanggakan tentu saja) Mungkin prestasi ini hanya bisa
disaingi oleh sepak terjang Snape yang sampai saat ini… Masih tidak aku pahami
motivasinya. I just can’t understand him
at all you guys
.
Kesimpulannya
adalah ini;
Aku punya
hubungan love and hate relationship dengan The Goblet of Fire;
Love; dengan novelnya yang kaya konteks
dan se-wow yang diindikasikan judulnya.
Hate; dengan versi film adaptasinya yang di beberapa bagian terasa seperti missed opportunity.
Rating
4,5/5

Daftar lengkap dari ulasan untuk seri novel Harry Potter dalam Far’s Books Space dapat dilihat dalam kiriman ini. 

[21/07/19] Tentang 21 Lessons for the 21st Century Karya Yuval Noah Harari

“A person can and should be
loyal simultaneously to her family, her neighborhood, her profession, and her
nation – why not add humankind and planet earth to that list? True, when you
have multiple loyalties, conflicts are sometimes inevitable. But then who said
life was simple? Deal with it.” – From Nationalism, Part 2: The Political
Challenge.


Informasi Buku 
Judul: 21
Lessons for the 21st Century
 

Penulis: Yuval Noah Harari 
Penerbit: Vintage Digital 
ISBN: 9781473554719 
Tahun publikasi: 2018
Jumlah halaman: 425 halaman 
Buku: dibaca via Bookmate 
Bahasa: Inggris 
Kategori umur: adult 
Temukan buku ini di Goodreads

Blurb

Sapiens showed us where we came from. Homo Deus
looked to the future. 21 Lessons for the 21st Century explores the present.




How can we protect ourselves from nuclear war, ecological cataclysms and
technological disruptions? What can we do about the epidemic of fake news or
the threat of terrorism? What should we teach our children?




Yuval Noah Harari takes us on a thrilling journey through today’s most urgent
issues. The golden thread running through his exhilarating new book is the
challenge of maintaining our collective and individual focus in the face of
constant and disorienting change. Are we still capable of understanding the
world we have created? – Goodreads

Menurut Farah Tentang Buku Ini 

            Yoval Noah Harari memang bukan nama yang asing lagi di telinga. Buku karya
Harari yang pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris pada tahun 2014, Sapiens: A Brief
History of Human Kind
, sampai saat ini pun masih saja sering
berseliweran di komunitas dunia maya yang aku diikuti. Niatan untuk membaca
buku ini (tentu) sudah ada sejak lama. Sama seperti nasib beragam buku lain
yang tertangkap di radarku, Sapiens sudah masuk dalam antrian panjang
buku wishlist yang ingin aku baca (suatu saat nanti). ‘Suatu saat
nanti’ sendiri bisa jadi 2 jam lagi atau 5 tahun ke depan. >Fun fact; To
Kill A Mockingbird
harus menghabiskan waktu 5 tahun di timbunan buku
sebelum akhirnya aku baca!<

            Ketika mengobrak-abrik Bookmate di awal Juli, buku ter-anyar dari
Harari-lah yang akhirnya menjadi perkenalanku terhadap tulisan non-fiksi
Beliau. 21 Lessons for the 21’st Century merupakan kumpulan 21 tulisan
yang mengupas “pelajaran” apa saja yang dapat dipetik dari beragam peristiwa
yang terjadi sejauh ini di abad 21. Dalam bagian introduction di awal
buku, Harari menulis bahwa 21 Lessons for the 21’st Century ditulis
berbarengan dengan percakapan langsung yang dia miliki dengan publik. Banyak
bab dalam buku ini ditulis Harari sebagai respon atas pertanyaan yang diajukan
pembaca, jurnalis, dan kolega Beliau. Tidak mengherankan memang kalau tema
tulisan dalam buku 435 halaman ini cukup beragam.
             21 “pelajaran” dalam 21
Lessons for the 21’st Century
dibagi ke dalam 5 bagian besar; 

Bagian 1: The
Technological Challenge
[I’m not a fan of
this section
]

Bagian 1 terdiri dari
4 tulisan dengan tema Disillusionment, Work, Liberty, dan Equality.
Aku seolah membaca prediksi masa depan yang nighmarish dan full-blown-dystopian
 pada bagian ini. Entah kenapa, di level personal teknologi AI (Artificial
Intellegence
) masih terasa begitu asing dan jauh dari jangkauan. Aku juga
belum siap dengan masa depan dimana kita harus menyerahkan autonomi dalam
pengambilan keputusan pada teknologi ciptaan manusia ini. Membaca bagian 1
seperti menyelam dalam semesta serial TV Black Mirror dimana teknologi
sering kali mendatangkan sengsara alih-alih membantu. 

Bagian 2: The
Political Challenge
[This section “hit
close to home”
]

Tulisan pada bagian 2
dalam 21 Lessons for the 21’st Century ini terasa begitu relevan dengan
kondisi politik luar/dalam negeri beberapa bulan terakhir. Terdiri dari 5
tulisan bertemakan Community, Civilization, Nationalism, Religion,
dan Immigration – bagian ini juga merupakan bagian yang paling menantang
buatku sebagai pembaca pemula isu sosial & politik global. Meskipun ditulis
dalam Bahasa Inggris yang mudah dimengerti, tulisan-tulisan yang sarat akan
muatan sosial dan politik ini tetap membuat otak
bekerja keras untuk mencerna. Terlepas dari kesulitan yang aku temui, ada
beragam pengetahuan yang aku petik dari bagian kedua ini. 

Bagian 3: Despair
and Hope
[My favorite section from this
book!
]

Dari 5 bagian dalam 21
Lessons for the 21’st Century
, tulisan-tulisan di bagian ketigalah yang
paling mengesankan untukku. Pembahasan tentang Terrorism, War, Humility,
God, dan Secularism memang rawan memicu huru-hura. Oleh karena
itu, aku mengapresiasi bagaimana Harari berusaha menulis topik-topik ini dengan
cara senetral dan se-respectful mungkin. Dari 21 tulisan yang ada, Humility:
You are not the centre of the world
dan God: Don’t take the name
of God in vain
boleh jadi adalah tulisan terfavoritku dalam buku ini. I’ll
revisit those articles again in the near future.
Secara khusus, ada 2
kutipan yang begitu menohok dari tulisan God: Don’t take the name of God in
vain
;

“You want to
wage war on your neighbours and steal their land? Leave God out of it, and find
yourself some other excuse.”

“Perhaps the
deeper meaning of this commandment is that we should never use the name of god
to justify our political interests, our economic ambitions or our personal
hatreds.”

Bagian
4
: Truth [It’s another
dystopian-esque section but feels instrospective somehow
]
Prediksi masa depan (lagi-lagi)
tidak terlihat cerah dalam 4 tulisan dengan tema Ignorance, Justice,
Post-Truth,
dan Science Fiction ini. Dalam Ignorance; You know
less than you think
, Harari seolah menyentil manusia yang (acap
kali) terlampau percaya diri dengan pengetahuannya yang sebenarnya
begitu terbatas. Ignorance berusaha memberi pertimbangan pada para
pembacanya agar tidak lupa dengan batasan yang dimiliki diri sendiri. Ini
adalah tulisan lain dari Harari yang akan aku kunjungi dari waktu ke waktu cause
I really love a good roast
.
Berikut adalah 3 kutipan lain dari
tulisan bertajuk Justice & Post-Truth yang terdengar familiar
tapi tetap saja menggelitik pemikiranku;

“Greatest
crimes in modern history resulted not just from hatred and greed, but even more
so from ignorance and indifference.” (Justice)

“Human have this
remarkable ability to know and not to know at the same time. Or more correctly,
they can know something when they really think about it , but most of the time
they don’t think about it, so they don’t know it.”(Post-truth)

“One of
the greatest fictions of all is to deny the complexity of the world, and think
in absolute terms of pristine purity versus satanic evil.” (Post-truth)*

*Pembahasan tentang
bagaimana tidak ada yang benar-benar hitam atau putih di dunia yang kompleks
ini juga sudah muncul dalam ulasanku terhadap beberapa buku lain (1)
(2)


Bagian 5: Resilience
[This section is just lost in me] 

21 Lessons for the 21’st Century 
ditutup dengan 3 tulisan bertema Education, Meaning, Meditation.
Aku masih mampu mencerna Education dengan cukup lancar. Ketika
pembahasan mulai berangkat ke ranah yang lebih filosofis dalam Meaning dan
Meditation, otak ini pun akhirnya menyerah. Hal-hal berbau filosofis
memang belum bisa menetap dengan tenang dalam pikiranku sampai tulisan ini
ditulis. Mungkin aku bisa memahami tulisan ini beberapa tahun ke depan. Akan
tetapi, untuk saat ini it just lost in me.



(GIPHY)

Sebagai pembaca first timer dari
karya Yoval Nuah Harari, aku cukup puas dengan 21 Lessons for the 21’st
Century
. Sebuah ulasan lain yang aku lihat di Bookmate meng-klaim
bahwa buku ini memang cocok untuk pembaca yang baru memperkenalkan dirinya
dengan tulisan Harari. Ulasan ini juga menjelaskan bagaimana ide-ide dalam 21
Lessons for the 21’st Century
sudah bukan barang baru lagi untuk pembaca
yang sudah mengikuti 2 karya Harari sebelum ini; Sapiens dan Homo Deus.
Aku belum bisa mengkonfirmasi klaim ini tentu saja. Akan tetapi, aku memang
berencana untuk tetap membaca karya Harari yang lain setelah istirahat sejenak
dari topik non-fiksi yang berat dan (harus aku akui) seringkali membawa prospek
menakutkan ini.

Kalau kau ingin menambah
pengetahuan dan menggali “makna lebih dalam” dari beragam peristiwa
sosial/politik global terkini, 21 Lessons for the 21’st Century dapat
menjadi salah satu pilihan bacaan untukmu.


Rating 
4/5

Artikel
Lain Yang Disebut Dalam Tulisan Ini
 

1. Far’s Books
Space

Tentang To Kill A Mockingbird