Tentang Honey Girl Karya Morgan Rogers

Review sebuah novel kontemporer berkesan yang aku baca di bulan Maret 2021!

Informasi Buku

Judul: Honey Girl

Penulis: Morgan Rogers (intip situs resmi penulis di sini)

Format Buku: Audio

Narator: York Whitaker

Durasi: 10 jam, 11 menit

Bahasa: Inggris

Penerbit: Harlequin Audio 

ISBN: 9781488210754

Artis Sampul: Poppy Madga

Design Sampul: Gigi Lau 

Tahun publikasi: 2021

Baca juga review lain di The StoryGraph

Blurb Buku

A refreshingly timely and relatable debut novel about a young woman whose life plans fall apart when she meets her wife.


With her newly completed PhD in astronomy in hand, twenty-eight-year-old Grace Porter goes on a girls’ trip to Vegas to celebrate. She’s a straight A, work-through-the-summer certified high achiever. She is not the kind of person who goes to Vegas and gets drunkenly married to a woman whose name she doesn’t know…until she does exactly that. This one moment of departure from her stern ex-military father’s plans for her life has Grace wondering why she doesn’t feel more fulfilled from completing her degree. Staggering under the weight of her parent’s expectations, a struggling job market and feelings of burnout, Grace flees her home in Portland for a summer in New York with the wife she barely knows. In New York, she’s able to ignore all the constant questions about her future plans and falls hard for her creative and beautiful wife, Yuki Yamamoto. But when reality comes crashing in, Grace must face what she’s been running from all along—the fears that make us human, the family scars that need to heal and the longing for connection, especially when navigating the messiness of adulthood.

Pilihan Akses Buku

Aku mendengar edisi audiobook Honey Girl melalui Scribd.

Edisi paperback bisa ditemukan di Periplus.

Edisi e-book juga tersedia di Google Play Book.

Penasaran ingin mencoba Scribd? Kamu bisa menggunakan link referal ini untuk coba-coba.

Menurut Farah Tentang Buku Ini

Membaca blurb Honey Girl akan memberi kesan bahwa novel kontemporer ini adalah kisah romantis. Asumsi yang tidak sepenuhnya salah tentu saja. Romansa antara Grace Porter & Yuki Yamamoto memang merupakan salah satu komponen dalam novel. Akan tetapi, cerita romance mereka bukanlah fokus utama. Honey Girl, pada intinya, adalah kisah coming-of-age seorang perempuan black & queer di penghujung usia 20-an. Buku ini juga bercerita tentang ketidakpastian yang datang setelah kamu menyelesaikan pendidikan akademik yang hampir dekade durasinya.


Menasbihkan genre spesifik untuk Honey Girl memang sulit. Fakta ini juga diamini oleh review buku Honey Girl dari The Seattle Times & wawancara Bitch Media dengan Morgan Rogers sendiri:

When I pitched the book to my agent and we were talking about submitting it to editors, I said it’s not a romance novel. It doesn’t really fit the beats and tropes in the romance genre. It’s first and foremost a coming-of-age [novel], even though those usually skew much younger in age. I’m younger than Grace. I’m 28, but it feels like a time where you can have this rebirth, grow, learn, and figure out who you want to be and where you want to go from here.”


Fleksibilitas dalam hal genre membuat Honey Girl bisa menyinggung banyak topik yang relevan buatku sebagai pembaca. Topik seperti burn out, feeling lost in life, suka-duka pertemanan (friendship), kesehatan mental, sampai hubungan kompleks dengan orang tua membangun cerita coming-of-age seorang Grace Porter. Melihat panjangnya bagian pembuka review Honey Girl ini, jangan heran kalau bagian selanjutnya akan lebih panjang lagi.


Semoga kamu menikmati tulisan panjang tentang (banyak) hal yang aku sukai dari novel Honey Girl:


Hal Yang Disukai

Hal pertama yang membuatku tertarik pada novel Honey Girl (selain sampul cantik) adalah trope “Marriage In Vegas” yang langsung muncul di blurb buku. Sudah bukan rahasia lagi bahwa aku adalah pembaca rutin fanfiction (FF). Trope satu ini adalah staple dari puluhan (bahkan ratusan) FF yang sudah aku baca selama hampir satu dekade terakhir. Meskipun awalnya hanya berspekulasi, Morgan Rogers sudah mengkonfirmasi dalam beberapa wawancara bahwa dia memang terinspirasi dari FF:

“I got my start in writing [through] reading fanfiction, so I’m very familiar with the [genre’s] tropes. I have my favorite tropes that I like to read and look for. So I kept throwing out all these ideas of things I wanted to write and I had all these works in progress. And I was like, why don’t I just write what I want to read? I love the married-in-Vegas trope. I love the idea of two people who don’t know each other having to make things work and figure out how they fit or if they fit.” – dalam wawancara dengan Evette Dione dari Bitch Media.


>>>


Kalau bicara topik, aku sangat menikmati eksplorasi hubungan orang tua/anak dan queer friendship dalam cerita. Dua hubungan ini bisa dibilang merupakan fokus utama dalam perjalanan Grace Porter sebagai karakter (bahkan lebih dari hubungan romantis Grace dengan Yuki).


Aku suka bagaimana Grace belajar melihat orang tuanya dari sudut pandang berbeda. Bahwa di akhir hari orang tua adalah manusia tidak sempurna. Meskipun berusaha sebaik-baiknya, terkadang tindakan mereka akan berefek negatif pada anak, walau mereka tidak berniat memunculkan efek itu. Aku juga suka bagaimana teman-teman queer Grace menjadi support system untuk dia ketika keluarga dekat Grace tidak bisa menawarkan dukungan ini. Hubungan pertemanan mereka juga dipotret dengan realistis. It’s not a perfect friendship at all. Aku sangat mengapresiasi nuance yang Morgan Rogers tawarkan.

Dalam hubungan apapun, akan ada titik ketika konflik muncul & kita berpotensi melukai perasaan satu sama lain. That’s the deal with human relations. Hal yang penting adalah bagaimana kita bekerja sama untuk memecahkan konflik ini. Aku pikir ini adalah hal penting untuk diingat karena meskipun berharap kita tidak melukai perasaan siapa-siapa apalagi orang terdekat, konflik adalah bagian tak terpisahkan dalam hubungan sehat.

>>>

Topik penting lain yang menjadi highlight cerita buatku adalah topik tentang kesehatan mental. Tidak hanya menyinggung burnout, cerita Grace juga menunjukkan usaha dia untuk menjadi lebih sehat & mindful dari segi mental dengan menemukan terapis yang bisa membantu. Kondisi mental seseorang akan mempengaruhi bagaimana dia membangun hubungan berarti dengan orang lain, bukan? Self-awareness in regards to your limitations/boundaries is good.
“The tension between having deeply meaningful relationships and still experiencing loneliness — which for Porter and her friends is tied to depression and other mental illness — is a common experience, but one rarely rendered wholly in fiction. Rogers stays with her characters through this tension, and during their more challenging moments.”  (The Seattle Times, Sarah Neilson).

Membaca berbagai tantangan yang dialami Grace & kawan-kawannya sebagai individu di usia 20-an sangat menenangkan. Aku merasa tidak sendiri.


>>>


Kalau bicara gaya penulisan & produksi audiobook sendiri, they are simply great. Cerita Grace ditulis dengan gaya bahasa yang begitu raw & tender. York Whitaker sebagai narator audiobook juga berhasil menghidupkan cerita perjalanan Grace menjadi sesuatu yang begitu enak didengar. Aku semakin kagum ketika sadar bahwa novel ini merupakan buku debut dari Morgan Rogers. Aku tidak sabar untuk membaca karya Rogers selanjutnya. 

Kenyataan bahwa dua booktuber yang sering aku tonton juga merekomendasikan novel ini adalah pertanda bagus.

Hal Yang Tidak Terlalu Disukai

Seperti yang sudah kamu lihat, aku adalah pengulas bias karena aku benar-benar menyukai buku ini. Bagian “Hal Yang Disukai” di atas (yang hampir 600 kata) adalah buktinya.

Kalau ditanya kritik, berikut beberapa hal yang aku harap bisa dipoles dari novel ini:
  • Meskipun tahu bahwa romance adalah salah satu bagian dari cerita & bukan merupakan fokus, aku sebenarnya masih berharap hubungan Grace & Yuki akan dikembangkan lebih lanjut. Honey Girl sendiri dipasarkan sebagai buku romance. Sayangnya ,romance bukanlah genre yang akan aku asosiasikan dengan cerita ini. Label adult contemporary sepertinya akan lebih cocok.
  • Selain itu, story arc dari salah satu karakter sampingan yang merupakan teman baik Grace menurutku tidak ditutup dengan memuaskan. Penutup arc dia terkesan buru-buru. Sebagai pembaca, aku merasa tidak mendapat closure di arc spesifik ini.
Booktuber WithCindy juga sudah mengulas buku ini & aku setuju dengan kritik dia tentang gaya penulisan Honey Girl yang bepotensi tidak cocok untuk beberapa pembaca. Kamu bisa membaca ulasan lengkap dari Cindy di sini.

Aku Akan Merekomandasikan Honey Girl Untuk…

Pembaca yang tertarik dengan kisah coming-of-age & self-growth seorang perempuan black & queer (dengan PhD) di penghujung usia 20-an. Kalau berharap untuk membaca kisah romantis yang fluffy & wholesome, Honey Girl sepertinya bukanlah buku yang tepat untukmu.


Jangan lupa untuk memeriksa content warning dulu kalau kamu memutuskan untuk membaca buku ini:

Content warnings (dikutip langsung dari situs resmi penulis): discussion and depictions of mental illness, self-harm (scratching skin, nails digging into skin as anxiety coping mechanism), past suicide attempt by side character, depictions of anti-Blackness and homophobia in the academic and corporate settings, casual alcohol consumption, minor drug use (marijuana), discussions of racism experienced by all characters of color, past limb amputation due to war injury (side character), past parent death (side character).


Rating

4,5/5

Bacaan Lanjutan


Terhibur/terbantu dengan tulisan ini? Dukung Farah melalui Karyakarsa

Farah melacak bacaannya di situs buku alternatif  The Storygraph | @farbooksventure

Ingin tanya-tanya & tetap anonim? Kirim saja pertanyaanmu lewat Curious Cat

[10/12/20] Tentang From Here to Eternity Karya Caitlin Doughty

“All that surrounds us comes from death, every part of every city, and every part of every person.”

Informasi Buku

Judul: From Here to Eternity: Traveling The World to Find the Good Death
Penulis: Caitlin Doughty
Penerbit: Weidenfeld & Nicolson (W&N)
Illustrator: Landis Blair
ISBN: 9781474606530
Tahun publikasi: 2019 (pertama kali dipublikasikan tahun 2017)
Jumlah halaman: 272 halaman
Buku: paperback milik pribadi
Bahasa: Inggris
Kategori Umur: Adult
Trigger Warning: Death (animal death / child death), Grief
Baca detail buku ini di The Storygraph

Blurb Buku

The best-selling author of Smoke Gets in Your Eyes expands our sense of what it means to treat the dead with “dignity.”


Fascinated by our pervasive terror of dead bodies, mortician Caitlin Doughty set out to discover how other cultures care for their dead. In rural Indonesia, she observes a man clean and dress his grandfather’s mummified body. Grandpa’s mummy has lived in the family home for two years, where the family has maintained a warm and respectful relationship. She meets Bolivian natitas (cigarette-smoking, wish-granting human skulls), and introduces us to a Japanese kotsuage, in which relatives use chopsticks to pluck their loved-ones’ bones from cremation ashes.

With curiosity and morbid humor, Doughty encounters vividly decomposed bodies and participates in compelling, powerful death practices almost entirely unknown in America. Featuring Gorey-esque illustrations by artist Landis Blair, From Here to Eternity introduces death-care innovators researching green burial and body composting, explores new spaces for mourning—including a glowing-Buddha columbarium in Japan and America’s only open-air pyre—and reveals unexpected new possibilities for our own death rituals.

Pilihan Akses Buku

Aku membeli edisi paperback From Here to Eternity di Big Bad Wolf (BBW) Tokopedia. Buku ini juga ada di katalog Toko Buku Online Periplus & Opentrolley Indonesia. Buku elektronik sendiri bisa ditemukan di Google Play Book. Aku mendengar edisi audiobook From Here to Eternity di Scribd.

Scribd Tips 1: Kalau ingin mencoba Scribd, kamu bisa sign up melalui link referral ini. Kamu bisa free trial Scribd selama 60 hari. Aku sendiri mendapat jatah langganan selama 30 hari. Simbiosis mutualisme, am I right? 
Scribd Tips 2: Kamu juga bisa patungan langganan dengan 4 orang lain (satu akun Scribd bisa dibuka di lima gawai berbeda). Kalau aktif di Twitter, mampir saja ke Literary Base. Sesama pembaca rutin mencari teman patungan di sana.

Menurut Farah Tentang Buku Ini

Hal Yang Dibahas

Dalam From Here to Eternity, Caitlin Doughty mengeksplorasi berbagai ritual yang dilakukan masyarakat dari delapan tempat berbeda untuk menanggapi kematian anggota komunitas mereka. Beberapa kelompok memilih kremasi. Kelompok lain rutin berinteraksi dengan mereka yang sudah berpulang dengan cara yang boleh jadi tidak terbayangkan oleh masyarakat Barat (baca Amerika Serikat, selanjutnya disebut AS).

Dalam buku 272 halaman ini, Doughty mengkritik bagaimana komersialisasi industri pemakaman di AS selama beberapa dekade terakhir berimbas negatif pada persepsi masyarakat AS tentang kematian. Komersialisasi ini secara tidak langsung membangun “dinding” antara yang berpulang dan yang ditinggalkan. “Dinding” ini terbentuk seiring dengan kecenderungan penyelenggaraan jenazah di AS yang dilakukan sepenuhnya oleh staf funeral home tanpa melibatkan keluarga jenazah. Keluarga sering kali tidak memiliki ruang atau kesempatan untuk terlibat langsung dalam ritual kematian orang terdekatnya.

Doughty percaya bahwa partisipasi langsung keluarga jenazah dalam ritual kematian adalah langkah krusial dalam proses berduka yang mereka lalui. Iklim industri pemakaman saat ini sayangnya tidak mendukung keterlibatan seperti ini. Jarak yang terbentuk antara jenazah dan keluarga yang ditinggalkan inilah yang membentuk “dinding” tadi.

Alih-alih menerima kematian sebagai realita kehidupan, “dinding” ini membuat sebagian besar orang menolak untuk bahkan membicarakannya. Bagaimana kita bisa berduka sepenuhnya agar bisa pulih di kemudian hari, kalau kita masih menolak untuk hidup berdampingan dengan kenyataan ini?

Melalui eksplorasinya ke berbagai komunitas yang hidup bersisian dengan kematian, Doughty berharap akan ada lebih banyak orang AS yang terbuka untuk membicarakan kenyataan hidup ini. Dia juga berharap agar orang-orang lebih terbuka dan tidak langsung menghakimi ketika berhadapan dengan ritual kematian yang berbeda dari tradisi mereka sendiri.

Hal Yang Disukai

Jauh sebelum menyebarkan pesan tentang death-positivity melalui buku nonfiksi, Caitlin Doughty sudah melakukan ini dalam berbagai video di kanal Youtube-nya; Ask A Mortician. Keluwesan & humor Doughty dalam video-video ini ikut terbawa ke dalam gaya penulisan di From Here to Eternity. Tidak peduli dalam bentuk video atau tulisan, Doughty selalu mengedukasi audiensnya tentang kematian/industri pemakaman secara terbuka tanpa kehilangan gaya humor penuh hormatnya. Doughty mampu mengemas beragam topik & pertanyaan sulit yang muncul tentang kematian menjadi narasi informatif yang tetap menarik & membuat tenang ketika kita coba resapi.

Dari delapan tempat yang Doughty tulis dalam buku ini, tiga tulisan tentang tiga tempat begitu memorable bagiku;
  • Indonesia: South Sulawesi
Tulisan Doughty tentang Tana Toraja benar-benar menunjukkan kelihaiannya dalam membuat tulisan kaya humor tanpa mengesamping rasa hormat. Peak humor yang aku bicarakan: ketika turis lokal dari Jakarta secara random mengajak Doughty untuk selfie. Mengutip langsung dari buku:

“Strange as this felt in the moment, I could see why the discovery of a six-foot-tall white girl in a pol-ka-dot dress in the corner of a cave filled with skulls would be an Instagrammable moment. They took several pictures with me in different poses before moving on.”

Aku mengapresiasi pendekatan Doughty yang tidak menghakimi dan terbuka dalam tulisannya.

  • Mexico: Michoacan
Ini boleh jadi merupakan tulisan paling heartbreaking dalam buku ini. Doughty menulis tentang Dia de Muertos & bagaimana hari libur ini sangat berarti untuk seorang teman yang tengah berduka. Aku suka bagaimana bagian ini menggarisbawahi pentingnya menghadapi kematian secara terbuka ketika sedang berduka agar kita bisa melanjutkan hidup di kemudian hari.

  • California: Joshua Tree
Aku mengenal tradisi sky burial dan Tower of Silence untuk pertama kalinya dalam tulisan penutup buku ini. Aku rasa aku tidak akan melupakan apa yang sudah aku baca ini dalam waktu dekat. Sedikit banyaknya aku bisa mengerti kenapa Doughty merasa tradisi sky burial akan memberi ketenangan untuknya secara pribadi setelah kematian. Diskusi tentang bagaimana tradisi ini mulai ditinggalkan karena berbagai faktor juga sungguh menarik untuk dibaca.

Hal Yang Tidak Terlalu Disukai

Secara keseluruhan aku tidak memiliki kritik untuk From Here to Eternity sebagai sebuah buku. Tapi, aku memiliki kritik untuk edisi audiobook buku ini.

Ketika mendengar audiobook & membaca edisi paperback secara bersamaan, aku mengamati ada beberapa bagian yang tidak dibacakan dalam edisi audiobook. Bagian yang tidak dibacakan biasanya adalah detail statistik (contoh: paragraf dua dari bawah di halaman 29 edisi paperback). Meskipun tidak banyak, aku harap edisi audiobook bisa diperbaharui sehingga bagian yang hilang bisa ditambahkan karena detail yang ditinggalkan sangat menarik untuk diketahui.

Aku juga lebih menyukai edisi paperback karena kita bisa mengapresiasi beragam ilustrasi ciamik yang melengkapi From Here to Eternity di sepanjang buku:

First things first, it’s a nice book to look at. The illustrations provided are great too! pic.twitter.com/H78ARf0dhg

— Farah (@farbooksventure) November 14, 2020

Minus lain untuk edisi audiobook adalah fakta bahwa author acknowledgement dan daftar pustaka tidak tersedia untuk dibaca. Aku harap provider audiobook juga menawarkan dua hal ini dalam produknya di masa depan.

Aku Akan Merekomendasikan Buku Ini Untuk…

Seseorang yang mencari bacaan non fiksi unik, bisa dibaca cepat/sekali duduk, dan disampaikan dalam bahasa Inggris mudah dimengerti. Kalau kamu adalah tipe orang dengan selera humor morbid, buku-buku & video Caitlin Doughty sepertinya dibuat untukmu.

Aku mengenal Ask A Mortician sendiri lewat video tentang Lake Superior ini:



Aku sudah menjadi subscriber setia Doughty sejak saat itu.

Rating

5/5 

Tontonan Lanjutan


Farah melacak bacaannya di The Storygraph.

Tentang Less Karya Andrew Sean Greer

“How does Less get the world so wrong? Over and over again? Where is the exit from moments like this? Where is the donkey door out?”

Informasi Buku

Judul: Less
Penulis: Andrew Sean Greer
Penerbit: Back Bay Books
ISBN: 9780316316132
Bulan/tahun publikasi: Mei 2018 (pertama kali dipublikasikan pada Juli 2017)
Jumlah halaman: 263 halaman
Cetakan: reprint edition
Buku: paperback milik pribadi (dibeli di Periplus Online Bookstore)
Bahasa: Inggris
Kategori umur: adult
Temukan buku ini di Goodreads

Blurb


Who says you can’t run away from your problems? You are a failed novelist about to turn fifty. A wedding invitation arrives in the mail: your boyfriend of the past nine years is engaged to someone else. You can’t say yes–it would be too awkward–and you can’t say no–it would look like defeat. On your desk are a series of invitations to half-baked literary events around the world.

QUESTION: How do you arrange to skip town?
ANSWER: You accept them all.

What would possibly go wrong? Arthur Less will almost fall in love in Paris, almost fall to his death in Berlin, barely escape to a Moroccan ski chalet from a Saharan sandstorm, accidentally book himself as the (only) writer-in-residence at a Christian Retreat Center in Southern India, and encounter, on a desert island in the Arabian Sea, the last person on Earth he wants to face. Somewhere in there: he will turn fifty. Through it all, there is his first love. And there is his last.

Because, despite all these mishaps, missteps, misunderstandings and mistakes, Less is, above all, a love story.



Menurut Farah Tentang Buku Ini

Semua dimulai dari sampul Less. Aku rasa aku sedang dalam mood untuk membeli buku secara “buta” waktu itu. Aku tidak mencari tahu apa-apa tentang buku ini. Tidak genre. Tidak sinopsis cerita. Apalagi ulasan buku. Aku bahkan belum tahu buku inilah yang diganjar penghargaan Pulitzer untuk Fiksi pada 2018. Aku hanya melihat sampulnya, jatuh hati, dan tanpa ragu langsung beli. Keputusan yang cukup berani mengingat bagaimana harga Less masih terbilang tinggi waktu itu (lucunya, saat menulis ini Less sedang diskon di toko buku langgananku 👀). Kalau kurang beruntung dan tidak suka dengan apa yang novel ini tawarkan tentu aku hanya bisa gigit jari.

Jujur saja aku sempat khawatir inilah yang akan terjadi ketika membaca seperempat awal novel ini. Less menuturkan kisah Arthur Less, seorang penulis pria paruh baya di tengah masa sulit dalam ranah personal/profesional yang melakukan perjalanan 80 hari ke berbagai tempat di dunia. Sekilas premis ini terdengar familiar dan biasa saja. Nothing new really. Ini adalah premis yang entah bagaimana aku asumsikan merupakan resep menuju critical acclaim; tulisan serius (yang di dalam-dalamkan padahal trivial) tentang seorang pria yang mencari jati diri/makna hidup lewat kunjungannya ke berbagai tempat baru/tidak biasa. Ketika mendengar istilah literary fiction, jenis tulisan yang aku bayangkan adalah tulisan introspektif & suram. Biasanya bukan bacaan menyenangkan yang mengundang senyum. Aku bersyukur karena Less tidak mengikuti jalur ini.

Setelah membaca beragam wawancara Andrew Sean Greer terkait novel Less di internet, tidak mengherankan mungkin kalau pada awalnya memang jalur inilah yang ingin ditempuh Greer;
 
ASG’s decided to make it comedy! (Adrienne Westenfeld – Esquire)

   







An important realization (Elizabeth Flock – PBS)

Saking meta-nya, Geer bahkan membuat penulis protagonis cerita kita, Arthur Less, menulis novel semacam ini untuk buku keduanya (yang gagal). Sebelum akhirnya disadarkan tokoh lain bahwa buku jenis ini terlampau pretentious dan tidak akan menyenangkan untuk dibaca. Ulasan dari The Guardian ini bahkan di buka dengan momen meta yang aku bicarakan di atas;

Saking meta-nya aku pun pusing sendiri (Patrick Gale – The Guardian)


Ketika menamatkan novel ini untuk pertama kali, aku kesulitan untuk menjelaskan alasan dibalik kecintaanku padanya. Fakta bahwa Less “menyimpang” dari jalur yang biasanya diambil penulis literary fiction pemenang perhargaan bisa jadi adalah salah satu alasannya. Kesadaran bahwa buku ini mengambil premis lama yang dibungkus dalam bentuk baru yang lebih menyenangkan datang setelah aku membaca novel fiksi romantis lain (yang protagonisnya juga adalah penulis di tengah kesulitan personal dan finansial).

You never told me what you write, Everett. I’m sure it’s something really groundbreaking and important. Totally new and fresh. Like a story about a disillusioned white guy, wandering the world, misunderstood and coldly horny.”

Kutipan tersebut diucapkan oleh January Andrews, salah satu protagonis dalam novel Beach Read karya Emily Henry yang baru rilis pertengahan Mei 2020. Ketika membaca ini, aku entah mengapa merasa ter-called out karena sangat familiar dengan genre bacaan semacam ini.  Beberapa minggu lalu, aku juga mengenal sepupu lebih sinister dari “genre” ini, terima kasih pada cuitan seseorang di Twitter;
Porny gay novel/memoir about an American who goes to a foreign country and screws around with a native then ditches him to go back to the US: a genre

— Anton Hur (@AntonHur) May 13, 2020

Novel yang langsung muncul di kepala karena cuitan ini adalah novel What Belongs to You-nya Garth Greenwell. Aku gagal paham dengan apa yang sebenarnya ingin novel ini kisahkan. There’s no point in this story I feel. Gaya penulisannya juga membuat sakit kepala alih-alih indah. Secara superfisial, novel ini berbagi kesamaan dengan Less; mengisahkan tentang perjalanan seorang pria kulit putih yang melarikan diri dari kenyataan dengan melakukan perjalanan ke negeri asing.


Less berhasil menurutku karena ditulis dengan self-aware. Alih-alih membuat Less menjadi the-next-deep-and-oh-so-serious-fiction, penulis memutuskan untuk bersenang-senang dan memasukan humor & kebahagiaan sebanyak yang dia bisa dalam cerita. Protagonis kita mengalami kesulitan bertubi-tubi sepanjang cerita, sampai akhirnya dia belajar dari kesalahan serta ketidaktahuannya untuk akhirnya mencicipi kebahagiaan di akhir. The author truly making fun of his protagonist in this one, it’s fun to read until the end. Dalam wawancaranya dengan Esquire, Geer membeberkan ini;

Pada akhirnya, yang membuatku begitu menikmati Less adalah kisah romantis & outlook positif yang kadang diikuti momen bittersweet dalam ceritanya. Aku tidak menyangka kisah romantis bisa begitu memuaskan & se-nyastra kisah yang satu ini. Arthur Less bukanlah seorang saint tanpa dosa (meskipun ada sesuatu yang “naif” tentang karakternya). Di masa lalu dia melakukan banyak tindakan questionable. Hanya saja, setelah melihat bagaimana Arthur sampai pada kesadaran diri baru di akhir perjalanannya, sebagai pembaca aku ikut bersorak untuknya. 
This is exactly me at the end of Less (Adrienne Westenfeld – Esquire)
Less boleh saja menjadi bacaan berhasil untukku. Namun ternyata beberapa pembaca di Goodreads malah merasakan sebaliknya.
Kalau kamu ingin membaca literary fiction pemenang Pulitzer, tapi tidak mood dengan bacaan serius & suram… Aku harap kamu memberi buku ini kesempatan.

Rating

4,5/5

Tulisan Lain Dalam Kiriman Ini/Bacaan Lanjutan

1. Urban Dictionary – Definisi Meta

Terhibur/terbantu dengan tulisan ini? Dukung Farah melalui Karyakarsa

Farah melacak bacaannya di situs buku alternatif  The Storygraph | @farbooksventure

Ingin tanya-tanya & tetap anonim? Kirim saja pertanyaanmu lewat Curious Cat

[25/07/19] Tentang Sarah’s Scribbles: Adulthood is a Myth & Big Mushy Happy Lump

It’s a quick, fun, and truly relatable read you guys!
Informasi Buku [1] 
Judul: Sarah’s Scribbles #1 – Adulthood is a Myth
Penulis: Sarah Andersen 
Penerbit: Andrews McMeel Publishing
ISBN: 9781449478414  
Tahun publikasi: 2016 
Jumlah halaman: 112 halaman  
Buku: dibaca via Bookmate  
Bahasa: Inggris  
Kategori umur: young adult
Temukan buku ini di Goodreads

Informasi Buku [2]
Judul: Sarah’s Scribbles #2 – Big Mushy Happy Lump

Penulis: Sarah Andersen

Penerbit: Andrews McMeel Publishing

ISBN: 9781449485474

Tahun publikasi: 2017

Jumlah halaman: 128 halaman

Buku: dibaca via Bookmate

Bahasa: Inggris

Kategori umur: young adult

Temukan buku ini di 
Goodreads
 
Blurb
Are you a special snowflake?

Do you enjoy networking to advance your career?

Is adulthood an exciting new challenge for which you feel fully prepared?

Ugh. Please go away.

This
book is for the rest of us. These comics document the wasting of entire
beautiful weekends on the internet, the unbearable agony of holding
hands on the street with a gorgeous guy, dreaming all day of getting
home and back into pajamas, and wondering when, exactly, this adulthood
thing begins. In other words, the horrors and awkwardnesses of young
modern life. – Adulthood is a Myth, Goodreads.

 
Sarah Andersen’s hugely popular, world-famous Sarah’s Scribbles comics
are for those of us who boast bookstore-ready bodies and Netflix-ready
hair, who are always down for all-night reading-in-bed parties and
extremely exclusive after-hour one-person music festivals.

In addition to the most recent Sarah’s Scribbles fan
favourites and dozens of all-new comics, this volume contains
illustrated personal essays on Sarah’s real-life experiences with
anxiety, career, relationships and other adulthood challenges.

– Big Mushy Happy Lump, Goodreads.

Menurut Farah Tentang Kedua Buku Ini
Mengawali pengalamanku
menggunakan Bookmate di awal bulan
Juli, aku pun memutuskan membaca buku singkat sebagai perkenalan. Sarah’s Scribbles:
Adulthood is a Myth
sebenarnya sudah menarik perhatianku sejak beberapa waktu lalu. Ketertarikanku semakin kuat setelah sekali-dua kali berpapasan
dengan beragam webcomic karya Sarah
Andersen ini di lini masa sosial media. Ketika menemukan bukunya di Bookmate, aku yakin sudah menemukan
bacaan perkenalan yang tepat. Tidak hanya menyempatkan diri membaca Adulthood
is a Myth
, dalam kurun waktu di bawah 2 jam aku juga sudah
menyelesaikan buku lanjutannya, Big
Mushy Happy Lump
.
Secara keseluruhan,
Adulthood is a Myth & Big Mushy Happy Lump memang merupakan
bacaan cepat dan menyenangkan. Terima kasih kepada gambar lucu serta tema komik
yang relatable dan on-point, aku sempat terkejut karena dalam
waktu singkat sudah sampai di akhir buku. These
books are way too short!
Secara umum tema yang diusung dalam dua buku
kumpulan komik ini kurang lebih sama;
1.    
Tentang suka-duka proses pendewasaan (dan kenapa
menjadi dewasa adalah mitos)
,
2.    
Tentang menjadi introvert & menjadi pecinta buku (and way later about being a cat lover),
3. Tentang pergulatan tak berkesudahan dengan kebiasaan
buruk yaitu menunda-nunda (procrastination),
4.    
Tentang pengalaman menjadi seorang perempuan (dari
pengalaman mensturasi – female friendship
– sampai fenomena street harassment)
*my personal favorite theme!
5.    
Sarah tidak jarang juga me-roasting meng-highlight berbagai fenomena yang jamak
terlihat di dunia pop culture dan
sosial media akhir-akhir ini.
Perbedaan kentara antara kedua buku ini adalah
bagaimana Big Mushy Happy Lump terasa
lebih personal daripada buku pendahulunya. Di paruh akhir buku, pembaca akan
menemukan bagian yang membahas tentang pergulatan personal sang pembuat komik dengan
kebiasaan overthinking yang
dimilikinya. Pembaca juga dapat membaca “curhatan” Sarah tentang kesulitan yang
dia lalui dalam kehidupan sosial. Mungkin bahasan spesifik dan sangat personal ini
adalah salah satu alasan kenapa Big Mushy
Happy Lump
tidak se-relatable Adulthood
is a Myth
dengan bahasan yang lebih universal. Pada akhirnya, aku rasa
sedikit-banyaknya pembaca dengan kecenderungan introvert dapat memahami kesulitan yang dilalui Sarah.
Beragam komik singkat dalam Adulthood is a Myth memang lebih relatable buatku daripada Big
Mushy Happy Lump
. To be fair,
tentu saja tidak semua komik dalam buku ini relatable.
Sejauh ini aku memang tidak bisa relate dengan
komik yang mengangkat tema dating (it’s not my scene – yet). Aku semata-mata lebih menyukai Adulthood is a Myth karena ada begitu banyak bagian favorit yang
aku temukan dalam buku yang satu ini. Beberapa tema komiknya juga hit way too close to home.
Kalau kau mencari bacaan cepat & ringan, tapi tetap
menghibur dan relatable — sepertinya
Sarah’s Scribble dapat dimasukkan ke dalam
pilihan bacaanmu.
Rating
3/5
Artikel
Lain Yang Disebut Dalam Tulisan Ini

1. Far’s Books
Space

Mei-Juni 2019: The Struggle is Real

2.
Wikipedia – Sarah’s Scribbles

[21/07/19] Tentang 21 Lessons for the 21st Century Karya Yuval Noah Harari

“A person can and should be
loyal simultaneously to her family, her neighborhood, her profession, and her
nation – why not add humankind and planet earth to that list? True, when you
have multiple loyalties, conflicts are sometimes inevitable. But then who said
life was simple? Deal with it.” – From Nationalism, Part 2: The Political
Challenge.


Informasi Buku 
Judul: 21
Lessons for the 21st Century
 

Penulis: Yuval Noah Harari 
Penerbit: Vintage Digital 
ISBN: 9781473554719 
Tahun publikasi: 2018
Jumlah halaman: 425 halaman 
Buku: dibaca via Bookmate 
Bahasa: Inggris 
Kategori umur: adult 
Temukan buku ini di Goodreads

Blurb

Sapiens showed us where we came from. Homo Deus
looked to the future. 21 Lessons for the 21st Century explores the present.




How can we protect ourselves from nuclear war, ecological cataclysms and
technological disruptions? What can we do about the epidemic of fake news or
the threat of terrorism? What should we teach our children?




Yuval Noah Harari takes us on a thrilling journey through today’s most urgent
issues. The golden thread running through his exhilarating new book is the
challenge of maintaining our collective and individual focus in the face of
constant and disorienting change. Are we still capable of understanding the
world we have created? – Goodreads

Menurut Farah Tentang Buku Ini 

            Yoval Noah Harari memang bukan nama yang asing lagi di telinga. Buku karya
Harari yang pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris pada tahun 2014, Sapiens: A Brief
History of Human Kind
, sampai saat ini pun masih saja sering
berseliweran di komunitas dunia maya yang aku diikuti. Niatan untuk membaca
buku ini (tentu) sudah ada sejak lama. Sama seperti nasib beragam buku lain
yang tertangkap di radarku, Sapiens sudah masuk dalam antrian panjang
buku wishlist yang ingin aku baca (suatu saat nanti). ‘Suatu saat
nanti’ sendiri bisa jadi 2 jam lagi atau 5 tahun ke depan. >Fun fact; To
Kill A Mockingbird
harus menghabiskan waktu 5 tahun di timbunan buku
sebelum akhirnya aku baca!<

            Ketika mengobrak-abrik Bookmate di awal Juli, buku ter-anyar dari
Harari-lah yang akhirnya menjadi perkenalanku terhadap tulisan non-fiksi
Beliau. 21 Lessons for the 21’st Century merupakan kumpulan 21 tulisan
yang mengupas “pelajaran” apa saja yang dapat dipetik dari beragam peristiwa
yang terjadi sejauh ini di abad 21. Dalam bagian introduction di awal
buku, Harari menulis bahwa 21 Lessons for the 21’st Century ditulis
berbarengan dengan percakapan langsung yang dia miliki dengan publik. Banyak
bab dalam buku ini ditulis Harari sebagai respon atas pertanyaan yang diajukan
pembaca, jurnalis, dan kolega Beliau. Tidak mengherankan memang kalau tema
tulisan dalam buku 435 halaman ini cukup beragam.
             21 “pelajaran” dalam 21
Lessons for the 21’st Century
dibagi ke dalam 5 bagian besar; 

Bagian 1: The
Technological Challenge
[I’m not a fan of
this section
]

Bagian 1 terdiri dari
4 tulisan dengan tema Disillusionment, Work, Liberty, dan Equality.
Aku seolah membaca prediksi masa depan yang nighmarish dan full-blown-dystopian
 pada bagian ini. Entah kenapa, di level personal teknologi AI (Artificial
Intellegence
) masih terasa begitu asing dan jauh dari jangkauan. Aku juga
belum siap dengan masa depan dimana kita harus menyerahkan autonomi dalam
pengambilan keputusan pada teknologi ciptaan manusia ini. Membaca bagian 1
seperti menyelam dalam semesta serial TV Black Mirror dimana teknologi
sering kali mendatangkan sengsara alih-alih membantu. 

Bagian 2: The
Political Challenge
[This section “hit
close to home”
]

Tulisan pada bagian 2
dalam 21 Lessons for the 21’st Century ini terasa begitu relevan dengan
kondisi politik luar/dalam negeri beberapa bulan terakhir. Terdiri dari 5
tulisan bertemakan Community, Civilization, Nationalism, Religion,
dan Immigration – bagian ini juga merupakan bagian yang paling menantang
buatku sebagai pembaca pemula isu sosial & politik global. Meskipun ditulis
dalam Bahasa Inggris yang mudah dimengerti, tulisan-tulisan yang sarat akan
muatan sosial dan politik ini tetap membuat otak
bekerja keras untuk mencerna. Terlepas dari kesulitan yang aku temui, ada
beragam pengetahuan yang aku petik dari bagian kedua ini. 

Bagian 3: Despair
and Hope
[My favorite section from this
book!
]

Dari 5 bagian dalam 21
Lessons for the 21’st Century
, tulisan-tulisan di bagian ketigalah yang
paling mengesankan untukku. Pembahasan tentang Terrorism, War, Humility,
God, dan Secularism memang rawan memicu huru-hura. Oleh karena
itu, aku mengapresiasi bagaimana Harari berusaha menulis topik-topik ini dengan
cara senetral dan se-respectful mungkin. Dari 21 tulisan yang ada, Humility:
You are not the centre of the world
dan God: Don’t take the name
of God in vain
boleh jadi adalah tulisan terfavoritku dalam buku ini. I’ll
revisit those articles again in the near future.
Secara khusus, ada 2
kutipan yang begitu menohok dari tulisan God: Don’t take the name of God in
vain
;

“You want to
wage war on your neighbours and steal their land? Leave God out of it, and find
yourself some other excuse.”

“Perhaps the
deeper meaning of this commandment is that we should never use the name of god
to justify our political interests, our economic ambitions or our personal
hatreds.”

Bagian
4
: Truth [It’s another
dystopian-esque section but feels instrospective somehow
]
Prediksi masa depan (lagi-lagi)
tidak terlihat cerah dalam 4 tulisan dengan tema Ignorance, Justice,
Post-Truth,
dan Science Fiction ini. Dalam Ignorance; You know
less than you think
, Harari seolah menyentil manusia yang (acap
kali) terlampau percaya diri dengan pengetahuannya yang sebenarnya
begitu terbatas. Ignorance berusaha memberi pertimbangan pada para
pembacanya agar tidak lupa dengan batasan yang dimiliki diri sendiri. Ini
adalah tulisan lain dari Harari yang akan aku kunjungi dari waktu ke waktu cause
I really love a good roast
.
Berikut adalah 3 kutipan lain dari
tulisan bertajuk Justice & Post-Truth yang terdengar familiar
tapi tetap saja menggelitik pemikiranku;

“Greatest
crimes in modern history resulted not just from hatred and greed, but even more
so from ignorance and indifference.” (Justice)

“Human have this
remarkable ability to know and not to know at the same time. Or more correctly,
they can know something when they really think about it , but most of the time
they don’t think about it, so they don’t know it.”(Post-truth)

“One of
the greatest fictions of all is to deny the complexity of the world, and think
in absolute terms of pristine purity versus satanic evil.” (Post-truth)*

*Pembahasan tentang
bagaimana tidak ada yang benar-benar hitam atau putih di dunia yang kompleks
ini juga sudah muncul dalam ulasanku terhadap beberapa buku lain (1)
(2)


Bagian 5: Resilience
[This section is just lost in me] 

21 Lessons for the 21’st Century 
ditutup dengan 3 tulisan bertema Education, Meaning, Meditation.
Aku masih mampu mencerna Education dengan cukup lancar. Ketika
pembahasan mulai berangkat ke ranah yang lebih filosofis dalam Meaning dan
Meditation, otak ini pun akhirnya menyerah. Hal-hal berbau filosofis
memang belum bisa menetap dengan tenang dalam pikiranku sampai tulisan ini
ditulis. Mungkin aku bisa memahami tulisan ini beberapa tahun ke depan. Akan
tetapi, untuk saat ini it just lost in me.



(GIPHY)

Sebagai pembaca first timer dari
karya Yoval Nuah Harari, aku cukup puas dengan 21 Lessons for the 21’st
Century
. Sebuah ulasan lain yang aku lihat di Bookmate meng-klaim
bahwa buku ini memang cocok untuk pembaca yang baru memperkenalkan dirinya
dengan tulisan Harari. Ulasan ini juga menjelaskan bagaimana ide-ide dalam 21
Lessons for the 21’st Century
sudah bukan barang baru lagi untuk pembaca
yang sudah mengikuti 2 karya Harari sebelum ini; Sapiens dan Homo Deus.
Aku belum bisa mengkonfirmasi klaim ini tentu saja. Akan tetapi, aku memang
berencana untuk tetap membaca karya Harari yang lain setelah istirahat sejenak
dari topik non-fiksi yang berat dan (harus aku akui) seringkali membawa prospek
menakutkan ini.

Kalau kau ingin menambah
pengetahuan dan menggali “makna lebih dalam” dari beragam peristiwa
sosial/politik global terkini, 21 Lessons for the 21’st Century dapat
menjadi salah satu pilihan bacaan untukmu.


Rating 
4/5

Artikel
Lain Yang Disebut Dalam Tulisan Ini
 

1. Far’s Books
Space

Tentang To Kill A Mockingbird
 

Tentang The Brothers Bishop Karya Bart Yates

It seems to be that loneliness is a small price to pay for peace and quiet.


Informasi Buku

Judul:
The Brothers Bishop

Penulis:
Bart Yates

Penerbit:
Kensington Books

ISBN:
9780758282521

Tahun
publikasi: 2006 (pertama kali dipublikasikan tahun 2005)

Jumlah
halaman: 320 halaman

Buku:
E-book (dibaca via Scribd) 

Bahasa:
Inggris 

Kategori
umur: adult 

Temukan
buku ini di 
Goodreads

Blurb

Tommy and Nathan Bishop
are as different as two brothers can be. Carefree and careless, Tommy is
the golden boy who takes men into his bed with a seductive smile and
turns them out just as quickly. No one can resist him–and no one can
control him, either. That salient point certainly isn’t lost on his
brother. Nathan is all about control. At thirty-one, he is as dark and
complicated as Tommy is light and easy, and he is bitter beyond his
years. While Tommy left for the excitement of New York City, Nathan has
stayed behind, teaching high school English in their provincial
hometown, surrounded by the reminders of their ruined family history and
the legacy of anger that runs through him like a scar.

Now,
Tommy has come home to the family cottage by the sea for the summer,
bringing his unstable, sexual powder keg of an entourage–and the
distant echoes of his family’s tumultuous past–with him. Tommy and his
lover Philip are teetering on the brink of disaster, while their married
friends, Camille and Kyle, perfect their steps in a dance of denial,
each partner pulling Nathan deeper into the fray. And when one of
Nathan’s troubled students, Simon, begins visiting the house, the slow
fuse is lit on a highly combustible mix.

During a heady
two-week party filled with drunken revelations, bitter jealousies,
caustic jabs, and tender reconciliations, Tommy and Nathan will confront
the legacy of their twisted family history–their angry, abusive father
and the tragic death of their mother–and finally, the one secret that
has shaped their entire lives. It is a summer that will challenge
everything Nathan remembers and unravel Tommy’s carefully constructed
facade, drawing them both unwittingly into a drama with echoes of the
past. . .one with unforeseen and very dangerous consequences.

“There are undercurrents of tragedy and emotional scarring at work that
take the story to disturbing places. . .Yates puts his novel together
like a one-two punch and makes it readable. . .you can’t put it down.”
–Edge Magazine


Menurut Farah Tentang Buku Ini

Pada satu
siang yang cerah, aku iseng memutuskan membaca buku yang muncul secara random di feed Goodreads ini. Siapa sangka ternyata
The Brothers Bishop akhirnya memperkenalkanku pada penulis baru dengan
gaya penulisan mengalir dan begitu menangkap perhatian. Sayang sekali, kisah
tragis tentang sisi gelap cinta (romance is death in this story) yang
ditawarkan novel 320 halaman ini hanya meninggalkan perasaan kesal di hatiku.
Berikut adalah uraianku tentang mengapa aku membenci dan mengagumi The Brothers Bishop di saat yang
bersamaan.

 

Good Things About This Novel

Gaya penulisan Bart Yates adalah hal terbaik
dari
The Brothers Bishop. Di
tengah para karakter yang out-of-this-world awful dan berbagai peristiwa kacau
dalam cerita, tulisan Yates-lah yang
membuatku betah menyelesaikan novel ini sampai akhir. Gaya penulisan Yates yang
begitu mengalir bahkan mengantarkanku membaca 
The Brothers Bishop hanya dalam satu kali
duduk saja. Ini prestasi yang cukup luar biasa menurut. Aku rasa tidak semua
penulis memiliki kecakapan untuk membuat pembaca yang sudah terlampau kesal
dengan novelnya bertahan membaca novel bersangkutan sampai akhir. Gaya
penulisan jugalah yang membuat novel ini bertengger di rating 3. Kalau
menilai hanya berdasarkan cerita, sepertinya
The
Brothers Bishop
malah termasuk ke dalam buku zona No-rating ku.

                  
Actual footage of me after reading this book and solely judging the messed up story its offer  (GIF source: Tumblr)

Ketika
sedang kesal-kesalnya pasca membaca The Brothers Bishop, aku akhirnya mengunjungi Goodreads untuk
mengintip ulasan berbintang 5 dari novel ini. Siapa tahu bisa lebih membuka
pikiran dan membuatku menyukai novel ini, bukan?
Sebagian besar ulasan penuh bintang yang aku
baca juga menggarisbawahi gaya penulisan Bart Yates yang bagus dan membuat
The
Brothers Bishop
asyik dibaca. Aku mengamini poin
ini tentu. Hal lain yang banyak disebut dalam ulasan positif ini adalah bagaimana
narator cerita, Nathan Bishop, terasa fresh dan relatable karena
gaya penuturannya yang blak-blakan dan jujur. Sampai pada satu titik di novel, aku
sebenarnya setuju dengan pendapat ini. Akan tetapi, makin menuju ke akhir cerita, karakter
Nathan makin menyebalkan dan asshole-ish for no reason menurutku.

 

Not-So-Good Things About This Novel

Ulasan 5 bintang memang mendominasi laman Goodreads untuk novel ini. Akan tetapi, aku memutuskan untuk “menggali” ulasan 3 bintang dan 1 bintang karena penasaran. Apakah ada pembaca yang juga merasa sebal tiada tara pasca membaca The Brothers Bishop? Theses minorities exist of course. Ulasan tidak terlalu dermawan mereka menggarisbawahi beberapa hal menarik yang sepertinya juga merupakan alasan dibalik kekesalan berkepanjanganku terhadap balada dua bersaudara ini.
1. Karakter unlikable yang ada terlalu berlebihan, hampir mustahil bersimpati dengan mereka lagi (bad-decision-making in this story is endless)
Seperti yang sudah aku
ungkapkan di atas, sebagai narator Nathan memang asyik untuk didengar di awal
novel. Dia jujur, bitter, dan apa adanya. Aku masih bisa bersimpati
dengan karakter ini. Akan tetapi, semakin cerita berkembang semakin Nathan
berubah menjadi sosok terlampau “kejam”. Perubahan yang terjadi pun
seolah tanpa tujuan.
Saudara Nathan, Tommy Bishop, bahkan lebih parah lagi.
Tanpa memberi bocoran apa-apa, penulis berusaha memotret Tommy sebagai sosok
penuh cela terlepas dari penampilan luarnya yang sempurna. Penulis seperti
mengarahkan pembaca untuk bersimpati pada Tommy karena “dia tidak
benar-benar bermaksud melakukan apa yang dia lakukan”. Sayang sekali, Tommy adalah karakter yang murni tidak ada faedahnya di mataku. Aku begitu kasihan dengan Nathan yang apes mendapat Tommy sebagai saudara kandung.
Oke, flaw dua karakter ini bisa jadi merupakan perwujudan masa kecil mereka yang berat dan dinamika keluarga mereka yang disfungsional. Oke, aku berusaha untuk paham. Tetap saja, aku pikir fakta tragis ini tidak bisa menjustifikasi segunung tindakan dan keputusan tidak bertanggungjawab yang dua bersaudara ini ambil. Ada banyak karakter dengan masa lalu berat di luar sana. Akan tetapi, karakter-karakter ini (untungnya) memiliki kemampuan untuk membuat keputusan yang 100% jauh lebih baik daripada 2 orang ini.

 
2. Aku tidak bisa menangkap poin
yang berusaha disampaikan cerita tragis ini.
Aku tidak keberatan membaca buku
yang mengangkat topik berat dan sulit untuk dibahas. Seringkali buku semacam
ini ditulis dengan cara yang tetap menarik perhatian dan membuatku bisa bersimpati
dengan karakternya. Di akhir novel seperti ini, aku biasanya juga bisa menangkap
satu atau dua hal berfaedah. Belum lagi merenungkan pertanyaan yang ditinggalkan cerita yang sudah usai untuk direnungkan sendiri oleh pembaca. Membaca memang memperluas sudut pandang kita dan
membangun empati bagaimanapun juga. Akan tetapi, meskipun memasukkan topik berat
dalam cerita, The Brothers Bishop tidak berusaha menggali topik ini lebih
dalam. Setelah sampai di halaman akhir, aku masih tidak yakin
dengan pesan berfaedah macam apa yang berusaha disampaikan penulis. Aku hanya merasa miris sendiri
karena beberapa karakter tampaknya selalu saja bisa lari dari masalah yang merupakan tanggung jawabnya dan malah karakter lain yang harus menderita karenanya. Apa gunanya menderita karena cerita buku kalau tak mendapat hal berfaedah darinya?
3. Wanita tidak digambarkan dengan
terlalu positif dalam novel ini.
Aku baru aware dengan perkara
potrayal seperti ini dalam dunia buku & pop culture secara umum
selama beberapa bulan terakhir. Rasa tidak enak yang aku rasakan selama membaca
The Brothers Bishop boleh jadi juga berasal dari cara penulis
memperlakukan karakter perempuan yang sudahlah sedikit, tapi tidak
ditulis dengan positif dan penuh pertimbangan.
Ulasan dari pengguna Goodreads yang satu ini juga memaparkan hal yang tidak terlalu aku sukai dari The Brothers Bishop dengan sangat baik dan terurut.

In Conclusion

Meskipun mengapresiasi gaya penulisan Bart Yates yang menyita perhatian, aku tidak terlalu menyukai buku ini secara keseluruhan. The Brothers Bishop memang bukanlah bacaan untuk semua orang. Aku tidak bisa “merekomendasikan” buku ini karena aku pribadi masih merasa kesal dengan kisah yang ditawarkannya. Akan tetapi, kalau kau adalah seorang pembaca yang ingin mengeksplorasi sisi “kelam” dari cinta (and no, this is not a romantic book), tidak keberatan dengan topik berat, dan bisa meng-handle karakter yang tidak mengundang simpati, mungkin The Brothers Bishop bisa menjadi salah satu bacaan yang kau pertimbangkan.
Trigger warning: this novel cointains upsetting topics like taboo relationship, child abuse, dysfunctional family, and sexual abuse. Please proceed to read with caution.

Rating

3/5  

Terhibur/terbantu dengan tulisan ini? Dukung Farah melalui Karyakarsa

Farah melacak bacaannya di situs buku alternatif  The Storygraph | @farbooksventure

Ingin tanya-tanya & tetap anonim? Kirim saja pertanyaanmu lewat Curious Cat