[20/05/17] Tentang Critical Eleven Karya Ika Natassa

Alih-alih merupakan sebuah resensi postingan ini lebih cenderung seperti sebuah curhatan(?). Aku akan menguraikan pendapat personalku (yang tidak terlalu populer) tentang novel ternama ini… 

Informasi Buku

Judul: Critical Eleven
Penulis: Ika Natassa
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama 
ISBN: 9786020318929
Tahun publikasi: 2015 (pertama kali dipublikasikan pada 2015)
Cetakan: ketujuh
Jumlah halaman: 344 halaman
Buku: milik pribadi
Temukan buku ini di Goodreads



Blurb

Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven, sebelas menit paling kritis di dalam pesawat—tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing—karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It’s when the aircraft is most vulnerable to any danger.
In a way, it’s kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah—delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.
Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya.
Kini, lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada satu tragedi besar yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil, termasuk keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama mereka.
Diceritakan bergantian dari sudut pandang Ale dan Anya, setiap babnya merupakan kepingan puzzle yang membuat kita jatuh cinta atau benci kepada karakter-karakternya, atau justru keduanya.
































Menurut Farah Tentang Buku Ini



Pertama dan utama sekali, aku sepertinya harus meluruskan beberapa hal;
(1) Aku membaca buku ini lebih dari satu tahun yang lalu (awal 2016 lebih tepatnya). Jadi, ada banyak hal dan detail dari novel ini yang tidak terlalu aku ingat lagi. Uraianku setelah ini akan lebih fokus pada pendapat pribadiku yang berakar dari perasaan yang aku peroleh pasca menyelesaikan novel ini.
(2) Latar belakang dari postingan yang sudah long over-due ini bermula dari penayangan film Critical Eleven (2017) baru-baru ini. Beberapa teman di sekitarku sangat mengelu-elukan film ini dan tanpa bisa dihindari, kenanganku ketika membaca novel ini muncul kembali ke permukaan. Namanya ya selera manusia, tentu saja wajar kalau berbeda-beda. Akan tetapi, kali ini aku seolah baru menyadari bagaimana unpopular-nya pendapatku tentang novel Critical Eleven. Ya, sayang sekali aku termasuk dalam kubu yang tidak terlalu menyukai Critical Eleven. Aku menulis postingan ini dengan harapan agar dapat menata pemikiranku dan dapat menyusun alasan-alasan yang menjadikan aku tidak terlalu menyukai novel ini. Jadi, ketika di masa yang akan datang ada yang bertanya mengapa aku tidak menyukai novel ini aku dapat menunjukkan postingan ini kepada mereka tanpa dengan ketus menjawab “yah, saya memang nggak suka aja”.

Pasca menamatkan novel Critical Eleven, aku masih ingat dengan jelas hal tidak biasa yang terjadi padaku. Waktu itu adalah kali pertama aku benar-benar merasa menyesal dan kesal setelah membaca novel. Aku bahkan tidak terlalu yakin apa alasannya. Meskipun memiliki kebiasaan “asal pilih” buku untuk dibaca, itu adalah kali pertama (dan mudah-mudahan yang terakhir) aku merasa kecewa dengan buku pilihanku. Aku sungguh membaca novel ini tanpa ekspektasi apa-apa. Aku benar-benar tidak menyangka bisa menjadi kecewa seperti ini. Ini merupakan karya pertama Ika Natassa yang pernah aku baca. Sayang sekali, sepertinya buku ini juga merupakan karya terakhir yang akan aku baca dari Beliau. 

Ada satu hal yang baru aku sadari akhir-akhir ini. Sepertinya kekecewaanku ini sebagian besar terkait dengan selera bacaanku secara pribadi sendiri. Pasca membaca novel ini aku makin menyadari bahwa aku tidak terlalu menggilai genre romance seperti dulu. Sejujurnya aku sempat menikmati paruh awal dari novel ini. Penulis berhasil menjalankan alur cerita dengan cukup natural dan mengalir menurutku. Akan tetapi, makin menuju ke akhir aku makin kesulitan mengikuti novel ini. 

Belum lagi penggunaan frasa-frasa bahasa Inggris yang terlampau berlebihan. Menggunakan frasa bahasa Inggris di beberapa bagian tertentu sah-sah saja sebenarnya. Tapi, aku sedang membaca novel berbahasa Indonesia bagaimanapun juga. Akan jauh lebih baik apabila penggunaan frasa yang berlebihan ini sedikit dikurangi.

Satu hal lain yang juga membuatku kecewa adalah minimnya fenomena critical eleven itu diulas dalam cerita di novel ini. Critical Eleven hanya disinggung di awal cerita tapi kemudian hilang begitu saja dan tidak pernah diungkit lagi sampai novel ini berakhir. Sepertinya novel ini akan lebih enjoyable ketika topik ini lebih diulas lagi.

Aku sebenarnya bingung akan membahas apa lagi tapi, review Critical Eleven oleh reviewbukudaniel ini benar-benar menggambarkan pendapatku tentang buku ini. 

Kalau kau menyukai buku ber-genre romantis, metropop, dan dipenuhi oleh karakter-karakter utama yang seakan-akan sempurna, tidak ada salahnya mencoba novel ini. Sayang sekali novel ini sepertinya tidak tercipta untukku. 

Rating
——– [aku tidak bisa memberi rating pada buku yang bisa dibilang bukan seleraku] 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *