Tentang Honey Girl Karya Morgan Rogers

Review sebuah novel kontemporer berkesan yang aku baca di bulan Maret 2021!

Informasi Buku

Judul: Honey Girl

Penulis: Morgan Rogers (intip situs resmi penulis di sini)

Format Buku: Audio

Narator: York Whitaker

Durasi: 10 jam, 11 menit

Bahasa: Inggris

Penerbit: Harlequin Audio 

ISBN: 9781488210754

Artis Sampul: Poppy Madga

Design Sampul: Gigi Lau 

Tahun publikasi: 2021

Baca juga review lain di The StoryGraph

Blurb Buku

A refreshingly timely and relatable debut novel about a young woman whose life plans fall apart when she meets her wife.


With her newly completed PhD in astronomy in hand, twenty-eight-year-old Grace Porter goes on a girls’ trip to Vegas to celebrate. She’s a straight A, work-through-the-summer certified high achiever. She is not the kind of person who goes to Vegas and gets drunkenly married to a woman whose name she doesn’t know…until she does exactly that. This one moment of departure from her stern ex-military father’s plans for her life has Grace wondering why she doesn’t feel more fulfilled from completing her degree. Staggering under the weight of her parent’s expectations, a struggling job market and feelings of burnout, Grace flees her home in Portland for a summer in New York with the wife she barely knows. In New York, she’s able to ignore all the constant questions about her future plans and falls hard for her creative and beautiful wife, Yuki Yamamoto. But when reality comes crashing in, Grace must face what she’s been running from all along—the fears that make us human, the family scars that need to heal and the longing for connection, especially when navigating the messiness of adulthood.

Pilihan Akses Buku

Aku mendengar edisi audiobook Honey Girl melalui Scribd.

Edisi paperback bisa ditemukan di Periplus.

Edisi e-book juga tersedia di Google Play Book.

Penasaran ingin mencoba Scribd? Kamu bisa menggunakan link referal ini untuk coba-coba.

Menurut Farah Tentang Buku Ini

Membaca blurb Honey Girl akan memberi kesan bahwa novel kontemporer ini adalah kisah romantis. Asumsi yang tidak sepenuhnya salah tentu saja. Romansa antara Grace Porter & Yuki Yamamoto memang merupakan salah satu komponen dalam novel. Akan tetapi, cerita romance mereka bukanlah fokus utama. Honey Girl, pada intinya, adalah kisah coming-of-age seorang perempuan black & queer di penghujung usia 20-an. Buku ini juga bercerita tentang ketidakpastian yang datang setelah kamu menyelesaikan pendidikan akademik yang hampir dekade durasinya.


Menasbihkan genre spesifik untuk Honey Girl memang sulit. Fakta ini juga diamini oleh review buku Honey Girl dari The Seattle Times & wawancara Bitch Media dengan Morgan Rogers sendiri:

When I pitched the book to my agent and we were talking about submitting it to editors, I said it’s not a romance novel. It doesn’t really fit the beats and tropes in the romance genre. It’s first and foremost a coming-of-age [novel], even though those usually skew much younger in age. I’m younger than Grace. I’m 28, but it feels like a time where you can have this rebirth, grow, learn, and figure out who you want to be and where you want to go from here.”


Fleksibilitas dalam hal genre membuat Honey Girl bisa menyinggung banyak topik yang relevan buatku sebagai pembaca. Topik seperti burn out, feeling lost in life, suka-duka pertemanan (friendship), kesehatan mental, sampai hubungan kompleks dengan orang tua membangun cerita coming-of-age seorang Grace Porter. Melihat panjangnya bagian pembuka review Honey Girl ini, jangan heran kalau bagian selanjutnya akan lebih panjang lagi.


Semoga kamu menikmati tulisan panjang tentang (banyak) hal yang aku sukai dari novel Honey Girl:


Hal Yang Disukai

Hal pertama yang membuatku tertarik pada novel Honey Girl (selain sampul cantik) adalah trope “Marriage In Vegas” yang langsung muncul di blurb buku. Sudah bukan rahasia lagi bahwa aku adalah pembaca rutin fanfiction (FF). Trope satu ini adalah staple dari puluhan (bahkan ratusan) FF yang sudah aku baca selama hampir satu dekade terakhir. Meskipun awalnya hanya berspekulasi, Morgan Rogers sudah mengkonfirmasi dalam beberapa wawancara bahwa dia memang terinspirasi dari FF:

“I got my start in writing [through] reading fanfiction, so I’m very familiar with the [genre’s] tropes. I have my favorite tropes that I like to read and look for. So I kept throwing out all these ideas of things I wanted to write and I had all these works in progress. And I was like, why don’t I just write what I want to read? I love the married-in-Vegas trope. I love the idea of two people who don’t know each other having to make things work and figure out how they fit or if they fit.” – dalam wawancara dengan Evette Dione dari Bitch Media.


>>>


Kalau bicara topik, aku sangat menikmati eksplorasi hubungan orang tua/anak dan queer friendship dalam cerita. Dua hubungan ini bisa dibilang merupakan fokus utama dalam perjalanan Grace Porter sebagai karakter (bahkan lebih dari hubungan romantis Grace dengan Yuki).


Aku suka bagaimana Grace belajar melihat orang tuanya dari sudut pandang berbeda. Bahwa di akhir hari orang tua adalah manusia tidak sempurna. Meskipun berusaha sebaik-baiknya, terkadang tindakan mereka akan berefek negatif pada anak, walau mereka tidak berniat memunculkan efek itu. Aku juga suka bagaimana teman-teman queer Grace menjadi support system untuk dia ketika keluarga dekat Grace tidak bisa menawarkan dukungan ini. Hubungan pertemanan mereka juga dipotret dengan realistis. It’s not a perfect friendship at all. Aku sangat mengapresiasi nuance yang Morgan Rogers tawarkan.

Dalam hubungan apapun, akan ada titik ketika konflik muncul & kita berpotensi melukai perasaan satu sama lain. That’s the deal with human relations. Hal yang penting adalah bagaimana kita bekerja sama untuk memecahkan konflik ini. Aku pikir ini adalah hal penting untuk diingat karena meskipun berharap kita tidak melukai perasaan siapa-siapa apalagi orang terdekat, konflik adalah bagian tak terpisahkan dalam hubungan sehat.

>>>

Topik penting lain yang menjadi highlight cerita buatku adalah topik tentang kesehatan mental. Tidak hanya menyinggung burnout, cerita Grace juga menunjukkan usaha dia untuk menjadi lebih sehat & mindful dari segi mental dengan menemukan terapis yang bisa membantu. Kondisi mental seseorang akan mempengaruhi bagaimana dia membangun hubungan berarti dengan orang lain, bukan? Self-awareness in regards to your limitations/boundaries is good.
“The tension between having deeply meaningful relationships and still experiencing loneliness — which for Porter and her friends is tied to depression and other mental illness — is a common experience, but one rarely rendered wholly in fiction. Rogers stays with her characters through this tension, and during their more challenging moments.”  (The Seattle Times, Sarah Neilson).

Membaca berbagai tantangan yang dialami Grace & kawan-kawannya sebagai individu di usia 20-an sangat menenangkan. Aku merasa tidak sendiri.


>>>


Kalau bicara gaya penulisan & produksi audiobook sendiri, they are simply great. Cerita Grace ditulis dengan gaya bahasa yang begitu raw & tender. York Whitaker sebagai narator audiobook juga berhasil menghidupkan cerita perjalanan Grace menjadi sesuatu yang begitu enak didengar. Aku semakin kagum ketika sadar bahwa novel ini merupakan buku debut dari Morgan Rogers. Aku tidak sabar untuk membaca karya Rogers selanjutnya. 

Kenyataan bahwa dua booktuber yang sering aku tonton juga merekomendasikan novel ini adalah pertanda bagus.

Hal Yang Tidak Terlalu Disukai

Seperti yang sudah kamu lihat, aku adalah pengulas bias karena aku benar-benar menyukai buku ini. Bagian “Hal Yang Disukai” di atas (yang hampir 600 kata) adalah buktinya.

Kalau ditanya kritik, berikut beberapa hal yang aku harap bisa dipoles dari novel ini:
  • Meskipun tahu bahwa romance adalah salah satu bagian dari cerita & bukan merupakan fokus, aku sebenarnya masih berharap hubungan Grace & Yuki akan dikembangkan lebih lanjut. Honey Girl sendiri dipasarkan sebagai buku romance. Sayangnya ,romance bukanlah genre yang akan aku asosiasikan dengan cerita ini. Label adult contemporary sepertinya akan lebih cocok.
  • Selain itu, story arc dari salah satu karakter sampingan yang merupakan teman baik Grace menurutku tidak ditutup dengan memuaskan. Penutup arc dia terkesan buru-buru. Sebagai pembaca, aku merasa tidak mendapat closure di arc spesifik ini.
Booktuber WithCindy juga sudah mengulas buku ini & aku setuju dengan kritik dia tentang gaya penulisan Honey Girl yang bepotensi tidak cocok untuk beberapa pembaca. Kamu bisa membaca ulasan lengkap dari Cindy di sini.

Aku Akan Merekomandasikan Honey Girl Untuk…

Pembaca yang tertarik dengan kisah coming-of-age & self-growth seorang perempuan black & queer (dengan PhD) di penghujung usia 20-an. Kalau berharap untuk membaca kisah romantis yang fluffy & wholesome, Honey Girl sepertinya bukanlah buku yang tepat untukmu.


Jangan lupa untuk memeriksa content warning dulu kalau kamu memutuskan untuk membaca buku ini:

Content warnings (dikutip langsung dari situs resmi penulis): discussion and depictions of mental illness, self-harm (scratching skin, nails digging into skin as anxiety coping mechanism), past suicide attempt by side character, depictions of anti-Blackness and homophobia in the academic and corporate settings, casual alcohol consumption, minor drug use (marijuana), discussions of racism experienced by all characters of color, past limb amputation due to war injury (side character), past parent death (side character).


Rating

4,5/5

Bacaan Lanjutan


Terhibur/terbantu dengan tulisan ini? Dukung Farah melalui Karyakarsa

Farah melacak bacaannya di situs buku alternatif  The Storygraph | @farbooksventure

Ingin tanya-tanya & tetap anonim? Kirim saja pertanyaanmu lewat Curious Cat

Tentang Less Karya Andrew Sean Greer

“How does Less get the world so wrong? Over and over again? Where is the exit from moments like this? Where is the donkey door out?”

Informasi Buku

Judul: Less
Penulis: Andrew Sean Greer
Penerbit: Back Bay Books
ISBN: 9780316316132
Bulan/tahun publikasi: Mei 2018 (pertama kali dipublikasikan pada Juli 2017)
Jumlah halaman: 263 halaman
Cetakan: reprint edition
Buku: paperback milik pribadi (dibeli di Periplus Online Bookstore)
Bahasa: Inggris
Kategori umur: adult
Temukan buku ini di Goodreads

Blurb


Who says you can’t run away from your problems? You are a failed novelist about to turn fifty. A wedding invitation arrives in the mail: your boyfriend of the past nine years is engaged to someone else. You can’t say yes–it would be too awkward–and you can’t say no–it would look like defeat. On your desk are a series of invitations to half-baked literary events around the world.

QUESTION: How do you arrange to skip town?
ANSWER: You accept them all.

What would possibly go wrong? Arthur Less will almost fall in love in Paris, almost fall to his death in Berlin, barely escape to a Moroccan ski chalet from a Saharan sandstorm, accidentally book himself as the (only) writer-in-residence at a Christian Retreat Center in Southern India, and encounter, on a desert island in the Arabian Sea, the last person on Earth he wants to face. Somewhere in there: he will turn fifty. Through it all, there is his first love. And there is his last.

Because, despite all these mishaps, missteps, misunderstandings and mistakes, Less is, above all, a love story.



Menurut Farah Tentang Buku Ini

Semua dimulai dari sampul Less. Aku rasa aku sedang dalam mood untuk membeli buku secara “buta” waktu itu. Aku tidak mencari tahu apa-apa tentang buku ini. Tidak genre. Tidak sinopsis cerita. Apalagi ulasan buku. Aku bahkan belum tahu buku inilah yang diganjar penghargaan Pulitzer untuk Fiksi pada 2018. Aku hanya melihat sampulnya, jatuh hati, dan tanpa ragu langsung beli. Keputusan yang cukup berani mengingat bagaimana harga Less masih terbilang tinggi waktu itu (lucunya, saat menulis ini Less sedang diskon di toko buku langgananku 👀). Kalau kurang beruntung dan tidak suka dengan apa yang novel ini tawarkan tentu aku hanya bisa gigit jari.

Jujur saja aku sempat khawatir inilah yang akan terjadi ketika membaca seperempat awal novel ini. Less menuturkan kisah Arthur Less, seorang penulis pria paruh baya di tengah masa sulit dalam ranah personal/profesional yang melakukan perjalanan 80 hari ke berbagai tempat di dunia. Sekilas premis ini terdengar familiar dan biasa saja. Nothing new really. Ini adalah premis yang entah bagaimana aku asumsikan merupakan resep menuju critical acclaim; tulisan serius (yang di dalam-dalamkan padahal trivial) tentang seorang pria yang mencari jati diri/makna hidup lewat kunjungannya ke berbagai tempat baru/tidak biasa. Ketika mendengar istilah literary fiction, jenis tulisan yang aku bayangkan adalah tulisan introspektif & suram. Biasanya bukan bacaan menyenangkan yang mengundang senyum. Aku bersyukur karena Less tidak mengikuti jalur ini.

Setelah membaca beragam wawancara Andrew Sean Greer terkait novel Less di internet, tidak mengherankan mungkin kalau pada awalnya memang jalur inilah yang ingin ditempuh Greer;
 
ASG’s decided to make it comedy! (Adrienne Westenfeld – Esquire)

   







An important realization (Elizabeth Flock – PBS)

Saking meta-nya, Geer bahkan membuat penulis protagonis cerita kita, Arthur Less, menulis novel semacam ini untuk buku keduanya (yang gagal). Sebelum akhirnya disadarkan tokoh lain bahwa buku jenis ini terlampau pretentious dan tidak akan menyenangkan untuk dibaca. Ulasan dari The Guardian ini bahkan di buka dengan momen meta yang aku bicarakan di atas;

Saking meta-nya aku pun pusing sendiri (Patrick Gale – The Guardian)


Ketika menamatkan novel ini untuk pertama kali, aku kesulitan untuk menjelaskan alasan dibalik kecintaanku padanya. Fakta bahwa Less “menyimpang” dari jalur yang biasanya diambil penulis literary fiction pemenang perhargaan bisa jadi adalah salah satu alasannya. Kesadaran bahwa buku ini mengambil premis lama yang dibungkus dalam bentuk baru yang lebih menyenangkan datang setelah aku membaca novel fiksi romantis lain (yang protagonisnya juga adalah penulis di tengah kesulitan personal dan finansial).

You never told me what you write, Everett. I’m sure it’s something really groundbreaking and important. Totally new and fresh. Like a story about a disillusioned white guy, wandering the world, misunderstood and coldly horny.”

Kutipan tersebut diucapkan oleh January Andrews, salah satu protagonis dalam novel Beach Read karya Emily Henry yang baru rilis pertengahan Mei 2020. Ketika membaca ini, aku entah mengapa merasa ter-called out karena sangat familiar dengan genre bacaan semacam ini.  Beberapa minggu lalu, aku juga mengenal sepupu lebih sinister dari “genre” ini, terima kasih pada cuitan seseorang di Twitter;
Porny gay novel/memoir about an American who goes to a foreign country and screws around with a native then ditches him to go back to the US: a genre

— Anton Hur (@AntonHur) May 13, 2020

Novel yang langsung muncul di kepala karena cuitan ini adalah novel What Belongs to You-nya Garth Greenwell. Aku gagal paham dengan apa yang sebenarnya ingin novel ini kisahkan. There’s no point in this story I feel. Gaya penulisannya juga membuat sakit kepala alih-alih indah. Secara superfisial, novel ini berbagi kesamaan dengan Less; mengisahkan tentang perjalanan seorang pria kulit putih yang melarikan diri dari kenyataan dengan melakukan perjalanan ke negeri asing.


Less berhasil menurutku karena ditulis dengan self-aware. Alih-alih membuat Less menjadi the-next-deep-and-oh-so-serious-fiction, penulis memutuskan untuk bersenang-senang dan memasukan humor & kebahagiaan sebanyak yang dia bisa dalam cerita. Protagonis kita mengalami kesulitan bertubi-tubi sepanjang cerita, sampai akhirnya dia belajar dari kesalahan serta ketidaktahuannya untuk akhirnya mencicipi kebahagiaan di akhir. The author truly making fun of his protagonist in this one, it’s fun to read until the end. Dalam wawancaranya dengan Esquire, Geer membeberkan ini;

Pada akhirnya, yang membuatku begitu menikmati Less adalah kisah romantis & outlook positif yang kadang diikuti momen bittersweet dalam ceritanya. Aku tidak menyangka kisah romantis bisa begitu memuaskan & se-nyastra kisah yang satu ini. Arthur Less bukanlah seorang saint tanpa dosa (meskipun ada sesuatu yang “naif” tentang karakternya). Di masa lalu dia melakukan banyak tindakan questionable. Hanya saja, setelah melihat bagaimana Arthur sampai pada kesadaran diri baru di akhir perjalanannya, sebagai pembaca aku ikut bersorak untuknya. 
This is exactly me at the end of Less (Adrienne Westenfeld – Esquire)
Less boleh saja menjadi bacaan berhasil untukku. Namun ternyata beberapa pembaca di Goodreads malah merasakan sebaliknya.
Kalau kamu ingin membaca literary fiction pemenang Pulitzer, tapi tidak mood dengan bacaan serius & suram… Aku harap kamu memberi buku ini kesempatan.

Rating

4,5/5

Tulisan Lain Dalam Kiriman Ini/Bacaan Lanjutan

1. Urban Dictionary – Definisi Meta

Terhibur/terbantu dengan tulisan ini? Dukung Farah melalui Karyakarsa

Farah melacak bacaannya di situs buku alternatif  The Storygraph | @farbooksventure

Ingin tanya-tanya & tetap anonim? Kirim saja pertanyaanmu lewat Curious Cat

[25/07/19] Tentang Sarah’s Scribbles: Adulthood is a Myth & Big Mushy Happy Lump

It’s a quick, fun, and truly relatable read you guys!
Informasi Buku [1] 
Judul: Sarah’s Scribbles #1 – Adulthood is a Myth
Penulis: Sarah Andersen 
Penerbit: Andrews McMeel Publishing
ISBN: 9781449478414  
Tahun publikasi: 2016 
Jumlah halaman: 112 halaman  
Buku: dibaca via Bookmate  
Bahasa: Inggris  
Kategori umur: young adult
Temukan buku ini di Goodreads

Informasi Buku [2]
Judul: Sarah’s Scribbles #2 – Big Mushy Happy Lump

Penulis: Sarah Andersen

Penerbit: Andrews McMeel Publishing

ISBN: 9781449485474

Tahun publikasi: 2017

Jumlah halaman: 128 halaman

Buku: dibaca via Bookmate

Bahasa: Inggris

Kategori umur: young adult

Temukan buku ini di 
Goodreads
 
Blurb
Are you a special snowflake?

Do you enjoy networking to advance your career?

Is adulthood an exciting new challenge for which you feel fully prepared?

Ugh. Please go away.

This
book is for the rest of us. These comics document the wasting of entire
beautiful weekends on the internet, the unbearable agony of holding
hands on the street with a gorgeous guy, dreaming all day of getting
home and back into pajamas, and wondering when, exactly, this adulthood
thing begins. In other words, the horrors and awkwardnesses of young
modern life. – Adulthood is a Myth, Goodreads.

 
Sarah Andersen’s hugely popular, world-famous Sarah’s Scribbles comics
are for those of us who boast bookstore-ready bodies and Netflix-ready
hair, who are always down for all-night reading-in-bed parties and
extremely exclusive after-hour one-person music festivals.

In addition to the most recent Sarah’s Scribbles fan
favourites and dozens of all-new comics, this volume contains
illustrated personal essays on Sarah’s real-life experiences with
anxiety, career, relationships and other adulthood challenges.

– Big Mushy Happy Lump, Goodreads.

Menurut Farah Tentang Kedua Buku Ini
Mengawali pengalamanku
menggunakan Bookmate di awal bulan
Juli, aku pun memutuskan membaca buku singkat sebagai perkenalan. Sarah’s Scribbles:
Adulthood is a Myth
sebenarnya sudah menarik perhatianku sejak beberapa waktu lalu. Ketertarikanku semakin kuat setelah sekali-dua kali berpapasan
dengan beragam webcomic karya Sarah
Andersen ini di lini masa sosial media. Ketika menemukan bukunya di Bookmate, aku yakin sudah menemukan
bacaan perkenalan yang tepat. Tidak hanya menyempatkan diri membaca Adulthood
is a Myth
, dalam kurun waktu di bawah 2 jam aku juga sudah
menyelesaikan buku lanjutannya, Big
Mushy Happy Lump
.
Secara keseluruhan,
Adulthood is a Myth & Big Mushy Happy Lump memang merupakan
bacaan cepat dan menyenangkan. Terima kasih kepada gambar lucu serta tema komik
yang relatable dan on-point, aku sempat terkejut karena dalam
waktu singkat sudah sampai di akhir buku. These
books are way too short!
Secara umum tema yang diusung dalam dua buku
kumpulan komik ini kurang lebih sama;
1.    
Tentang suka-duka proses pendewasaan (dan kenapa
menjadi dewasa adalah mitos)
,
2.    
Tentang menjadi introvert & menjadi pecinta buku (and way later about being a cat lover),
3. Tentang pergulatan tak berkesudahan dengan kebiasaan
buruk yaitu menunda-nunda (procrastination),
4.    
Tentang pengalaman menjadi seorang perempuan (dari
pengalaman mensturasi – female friendship
– sampai fenomena street harassment)
*my personal favorite theme!
5.    
Sarah tidak jarang juga me-roasting meng-highlight berbagai fenomena yang jamak
terlihat di dunia pop culture dan
sosial media akhir-akhir ini.
Perbedaan kentara antara kedua buku ini adalah
bagaimana Big Mushy Happy Lump terasa
lebih personal daripada buku pendahulunya. Di paruh akhir buku, pembaca akan
menemukan bagian yang membahas tentang pergulatan personal sang pembuat komik dengan
kebiasaan overthinking yang
dimilikinya. Pembaca juga dapat membaca “curhatan” Sarah tentang kesulitan yang
dia lalui dalam kehidupan sosial. Mungkin bahasan spesifik dan sangat personal ini
adalah salah satu alasan kenapa Big Mushy
Happy Lump
tidak se-relatable Adulthood
is a Myth
dengan bahasan yang lebih universal. Pada akhirnya, aku rasa
sedikit-banyaknya pembaca dengan kecenderungan introvert dapat memahami kesulitan yang dilalui Sarah.
Beragam komik singkat dalam Adulthood is a Myth memang lebih relatable buatku daripada Big
Mushy Happy Lump
. To be fair,
tentu saja tidak semua komik dalam buku ini relatable.
Sejauh ini aku memang tidak bisa relate dengan
komik yang mengangkat tema dating (it’s not my scene – yet). Aku semata-mata lebih menyukai Adulthood is a Myth karena ada begitu banyak bagian favorit yang
aku temukan dalam buku yang satu ini. Beberapa tema komiknya juga hit way too close to home.
Kalau kau mencari bacaan cepat & ringan, tapi tetap
menghibur dan relatable — sepertinya
Sarah’s Scribble dapat dimasukkan ke dalam
pilihan bacaanmu.
Rating
3/5
Artikel
Lain Yang Disebut Dalam Tulisan Ini

1. Far’s Books
Space

Mei-Juni 2019: The Struggle is Real

2.
Wikipedia – Sarah’s Scribbles

[24/05/19] Tentang Long Way Down Karya Jason Reynolds


ANOTHER
THING ABOUT THE RULES
They weren’t meant to be broken.
They were meant for the broken
to follow.


Informasi
Buku
 

Judul: Long Way Down
Penulis: Jason Reynolds
Penerbit: Atheneum/Caitlyn Dlouhy Books
ISBN:
9781481438278
Bulan/tahun publikasi: Oktober 2017
Jumlah halaman: 320 halaman
Buku: ebook dibaca via Scribd
Bahasa: Inggris
Kategori umur: young adult
Temukan buku ini di 
Goodreads



Blurb

A cannon. A strap.
A piece. A biscuit.
A burner. A heater.
A chopper. A gat.
A hammer
A tool
for RULE

Or, you can call it a gun. That’s what fifteen-year-old Will has shoved in the
back waistband of his jeans. See, his brother Shawn was just murdered. And Will
knows the rules. No crying. No snitching. Revenge. That’s where Will’s now
heading, with that gun shoved in the back waistband of his jeans, the gun that
was his brother’s gun. He gets on the elevator, seventh floor, stoked. He knows
who he’s after. Or does he?

As the elevator stops on the sixth floor, on comes Buck. Buck, Will finds out,
is who gave Shawn the gun before Will took the gun. Buck tells Will to check
that the gun is even loaded. And that’s when Will sees that one bullet is
missing. And the only one who could have fired Shawn’s gun was Shawn. Huh. Will
didn’t know that Shawn had ever actually USED his gun. Bigger huh. BUCK IS
DEAD. But Buck’s in the elevator?

Just as Will’s trying to think this through, the door to the next floor opens.
A teenage girl gets on, waves away the smoke from Dead Buck’s cigarette. Will
doesn’t know her, but she knew him. Knew. When they were eight. And stray
bullets had cut through the playground, and Will had tried to cover her, but
she was hit anyway, and so what she wants to know, on that fifth floor elevator
stop, is, what if Will, Will with the gun shoved in the back waistband of his
jeans, MISSES.

And so it goes, the whole long way down, as the elevator stops on each floor,
and at each stop someone connected to his brother gets on to give Will a piece
to a bigger story than the one he thinks he knows. A story that might never
know an END…if Will gets off that elevator.

Told in short, fierce staccato narrative verse, Long Way Down is a fast and
furious, dazzlingly brilliant look at teenage gun violence, as could only be
told by Jason Reynolds.




Menurut
Farah Tentang Buku Ini

Jason Reynolds baru berusia 19 tahun
ketika menerima kabar bahwa seorang teman baik telah meninggalkan karena
dibunuh. Dikuasai duka dan amarah, keinginan kuat untuk balas dendam sempat
menyelimuti benak Reynolds. Keinginan ini untungnya urung terealisasi setelah
Reynolds memilih untuk menghormati keinginan Ibu sang teman baik yang tidak
ingin “ada Ibu lain yang merasakan hal yang sama dengan yang dia rasakan”.
Dikutip langsung dari wawancara Reynolds dengan NPR;


 “I’m grateful that we
didn’t do the thing that we thought we were going to do,” Reynolds says.
“When you start to sort of work through those things and you come back to
reality … you’re, like, ‘Whoa, my entire life could have changed.’ “

Pengalaman personal ini menjadi pondasi Reynolds dalam menulis cerita pergulatan batin yang dialami Will dalam Long
Way Down
.



Setelah kehilangan Shawn, saudara
laki-lakinya, Will yang berduka berusaha menjustifikasi keinginannya untuk
balas dendam dengan dalih untuk mengikuti the rules (peraturan) yang
berlaku di komunitas mereka;


        The Rules
No.1: Crying
Don’t.
No matter what.
Don’t.

No. 2: Snitching
Don’t.
No matter what.
Don’t.

No. 3: Revenge
Do.
No matter what.
Do.


 Akan tetapi, apa balas dendam memang
adalah jawabannya?

Memutuskan untuk balas dendam setelah
dimakan duka selama beberapa hari, dalam perjalanan turun Will pun mulai
“berpapasan” dengan beberapa orang dari masa lalunya di atas elevator.
Perjalanan turun dalam elevator yang sebenarnya cuma sebentar ini terasa
begitu panjang (long way down) karena pergulatan batin yang dialami Will
setelah berhadapan dengan “para hantu” dari masa lalunya ini.

Dalam Long Way Down, pembaca
akan merasakan bagaimana rasa duka, marah, bingung, dan tak berdaya mehinggapi
seorang pemuda yang sudah kehilangan banyak sosok berharga dalam hidupnya
karena senjata api.


***

Meminjam langsung dari kata-kata Jason Reynolds, Long Way Down merupakan
sebuah novel dalam bentuk bait (novel-in-verse). Pembaca tidak perlu
mengalokasikan waktu terlalu banyak untuk menyelesaikan buku 320 halaman ini. Long
Way Down
boleh jadi merupakan persinggungan paling dekatku dengan genre poetry
sejauh ini.

Sebagai seorang pembaca, aku memang
belum terlalu relate dengan poetry yang memerlukan interpretasi
dalam ketika dibaca. Aku merasa lebih nyaman ketika membaca prosa yang straight-forward
dan berterus-terang. Reynolds merangkai cerita Will dalam Long Way Down dengan
menggabungkan keindahan bait yang ditawarkan poetry dan kejelasan (clarity)
ala sebuah prosa. Cara penulisan ini pun menghasilkan novel yang singkat,
indah, penting, dan berpengaruh.

Novel dalam bentuk bait memang
adalah deskripsi paling tepat untuk menggambarkan Long Way Down.
Alih-alih menggunakan metafora tingkat tinggi yang membingungkan, metafora elevator/lift
yang digunakan Reynolds terasa tepat dan tidak terlalu “abstrak”
untuk dibayangkan pembaca. Metafora ini memberi gambaran tepat tentang
pergolakan batin yang dialami oleh seseorang pemuda yang dibakar api dendam
tapi juga merasa takut dan tidak berdaya di saat bersamaan.

Dalam perbincangannya dengan Mashable Asia, Reynolds menjelaskan alasan
dibalik penggunaan elevator sebagai metafora dalam Long Way Down;

I am a consummate metaphor addict.
In this book, because I chose to write it in verse, the natural inclination is
to layer it. You can create all kinds of symbolism and metaphors that poetry
and verse leans towards. So I wanted it to mimic what it feels like to be
angry. What it feels like to be traumatized and pained. What it feels like is
claustrophobia. It feels like is tightness and coldness, steel, jagged
movements and vertigo. All the things that an elevator brings is what it
feels like to be that angry.

***

Lewat Long Way Down, Reynolds
berusaha menuturkan cerita yang merepresentasikan pengalaman/pergulatan
sehari-hari yang dia dan banyak anak muda lain alami ketika tumbuh dan besar di
lingkungan dimana kekerasan akibat senjata api (gun violence) adalah
“makanan sehari-hari”. Long Way Down juga berusaha meluruskan
miskonsepsi dan klise tentang para anak muda yang akhirnya “tergoda”
untuk melakukan balas dendam dalam lingkungan ini.

Alih-alih memotret mereka secara
satu dimensi dan seolah tanpa rasa takut, Reynolds tidak melupakan bagaimana
pemuda-pemuda ini juga merupakan manusia yang mengalami pergolakan batin nan
kompleks. Pembaca yang menikmati Long Way Down dapat melihat sendiri
bagaimana balas dendam sebenarnya bukanlah pilihan yang membawa kedamaian bagi
karakter Will. Keputusan Will bahkan terkesan seperti keputusan yang diambil di
puncak keputus-asa-an dan ketidak-berdayaan-nya.

***

Dalam perbincangannya dengan Los Angeles Review of Books, Reynolds sempat
berbagi cerita tentang bagaimana di masa kecil dia sempat menjauh dari dunia
sastra karena merasa “sebagian besar buku hanya berkisah tentang orang
lain dan masalah mereka” dan Reynolds sulit untuk terhubung dengan
buku-buku ini. Reynolds akhirnya mengesampingkan buku di usia 9 tahun sebelum
akhirnya merangkul buku kembali di masa remajanya. Butuh waktu bertahun-tahun
sebelum Reynolds akhirnya menemukan “suaranya sendiri” dan memutuskan
untuk berbagi cerita dari sudut pandang ini lewat Long Way Down dan
karya-karyanya yang lain.

Sedikit banyaknya, aku bisa bersimpati
dengan pergulatan Reynolds untuk menemukan representasi dalam dunia perbukuan. Mungkin
ini kembali lagi pada impulse alami manusia untuk merasakan pengakuan
atas eksistensinya.
Menemukan buku yang “mewakili” suara dan
pengalaman personalmu sebagai seorang individu memang adalah pengalaman memorable
dan terasa begitu berharga. Aku boleh jadi sudah melahap berpuluh-puluh buku
selama beberapa tahun terakhir. Akan tetapi, baru segelintir buku saja yang
mampu memuaskan harapanku untuk merasa “terwakili” dalam berbagai
kisahnya. Representation matters indeed.

Alasan dibalik format Long Way
Down
yang merupakan perpaduan antara novel & poetry yang bisa
dibaca dalam waktu singkat juga tidak jauh-jauh dari perkara
representasi ini. Reynolds berharap bahwa format semacam ini dapat membuat
sebagian besar orang yang dia ingin “representasikan” melalui kisah
Will & pemuda-pemuda yang hidup di lingkungan lain, benar-benar membaca
dan merasa terhubung dengan buku dan cerita ini
. Reynolds juga berharap
agar mereka bisa benar-benar merenungkan apa yang sebenarnya berusaha
disampaikan dalam Long Way Down. Reynolds mengungkapkan hal ini dalam wawancaranya dengan NPR;

I need my young brothers who are
living in these environments, I need the kids who are not living in these
environments to have no excuses not to read the book.
The truth of the matter is that I recognize that I write prose,
and I love prose, and I want everybody to read prose, but I’m also not — I
would never, sort of, deny the fact that like, literacy in America is not the
highest, especially amongst young men, especially amongst young men of color.
It’s something that we’ve all been working very hard on, and my job is not to
sort of critique or judge that. My job is to do something to help that, and
to know you can finish this in 45 minutes means the world to me, so that we can
get more young people reading it and thinking and having discussion about what
this book is actually about.

Kalau membaca artikel BookRiot yang
berjudul Getting Boys to Read with Long Way Down By Jason Reynolds
ini, sepertinya harapan Reynolds yang dipaparkannya dalam jawaban di atas sedikit-banyak
telah terwujud ya.

***

Pada akhirnya, aku akan
merekomendasikan Long Way Down untuk pembaca yang mencari buku singkat,
padat tapi tetap penting dan berkesan ketika dibaca. Kalau kau merupakan
pembaca yang menyukai novel debut Angie Thomas, The Hate You Give, aku rasa kau juga akan
menikmati kisah yang ditawarkan Long Way Down.

Tulisan Lain Dalam Kiriman Ini/Bacaan Lanjutan



Rating

4,5/5 

Farah di tempat lain: Goodreads | Instagram | Twitter


Tentang The Brothers Bishop Karya Bart Yates

It seems to be that loneliness is a small price to pay for peace and quiet.


Informasi Buku

Judul:
The Brothers Bishop

Penulis:
Bart Yates

Penerbit:
Kensington Books

ISBN:
9780758282521

Tahun
publikasi: 2006 (pertama kali dipublikasikan tahun 2005)

Jumlah
halaman: 320 halaman

Buku:
E-book (dibaca via Scribd) 

Bahasa:
Inggris 

Kategori
umur: adult 

Temukan
buku ini di 
Goodreads

Blurb

Tommy and Nathan Bishop
are as different as two brothers can be. Carefree and careless, Tommy is
the golden boy who takes men into his bed with a seductive smile and
turns them out just as quickly. No one can resist him–and no one can
control him, either. That salient point certainly isn’t lost on his
brother. Nathan is all about control. At thirty-one, he is as dark and
complicated as Tommy is light and easy, and he is bitter beyond his
years. While Tommy left for the excitement of New York City, Nathan has
stayed behind, teaching high school English in their provincial
hometown, surrounded by the reminders of their ruined family history and
the legacy of anger that runs through him like a scar.

Now,
Tommy has come home to the family cottage by the sea for the summer,
bringing his unstable, sexual powder keg of an entourage–and the
distant echoes of his family’s tumultuous past–with him. Tommy and his
lover Philip are teetering on the brink of disaster, while their married
friends, Camille and Kyle, perfect their steps in a dance of denial,
each partner pulling Nathan deeper into the fray. And when one of
Nathan’s troubled students, Simon, begins visiting the house, the slow
fuse is lit on a highly combustible mix.

During a heady
two-week party filled with drunken revelations, bitter jealousies,
caustic jabs, and tender reconciliations, Tommy and Nathan will confront
the legacy of their twisted family history–their angry, abusive father
and the tragic death of their mother–and finally, the one secret that
has shaped their entire lives. It is a summer that will challenge
everything Nathan remembers and unravel Tommy’s carefully constructed
facade, drawing them both unwittingly into a drama with echoes of the
past. . .one with unforeseen and very dangerous consequences.

“There are undercurrents of tragedy and emotional scarring at work that
take the story to disturbing places. . .Yates puts his novel together
like a one-two punch and makes it readable. . .you can’t put it down.”
–Edge Magazine


Menurut Farah Tentang Buku Ini

Pada satu
siang yang cerah, aku iseng memutuskan membaca buku yang muncul secara random di feed Goodreads ini. Siapa sangka ternyata
The Brothers Bishop akhirnya memperkenalkanku pada penulis baru dengan
gaya penulisan mengalir dan begitu menangkap perhatian. Sayang sekali, kisah
tragis tentang sisi gelap cinta (romance is death in this story) yang
ditawarkan novel 320 halaman ini hanya meninggalkan perasaan kesal di hatiku.
Berikut adalah uraianku tentang mengapa aku membenci dan mengagumi The Brothers Bishop di saat yang
bersamaan.

 

Good Things About This Novel

Gaya penulisan Bart Yates adalah hal terbaik
dari
The Brothers Bishop. Di
tengah para karakter yang out-of-this-world awful dan berbagai peristiwa kacau
dalam cerita, tulisan Yates-lah yang
membuatku betah menyelesaikan novel ini sampai akhir. Gaya penulisan Yates yang
begitu mengalir bahkan mengantarkanku membaca 
The Brothers Bishop hanya dalam satu kali
duduk saja. Ini prestasi yang cukup luar biasa menurut. Aku rasa tidak semua
penulis memiliki kecakapan untuk membuat pembaca yang sudah terlampau kesal
dengan novelnya bertahan membaca novel bersangkutan sampai akhir. Gaya
penulisan jugalah yang membuat novel ini bertengger di rating 3. Kalau
menilai hanya berdasarkan cerita, sepertinya
The
Brothers Bishop
malah termasuk ke dalam buku zona No-rating ku.

                  
Actual footage of me after reading this book and solely judging the messed up story its offer  (GIF source: Tumblr)

Ketika
sedang kesal-kesalnya pasca membaca The Brothers Bishop, aku akhirnya mengunjungi Goodreads untuk
mengintip ulasan berbintang 5 dari novel ini. Siapa tahu bisa lebih membuka
pikiran dan membuatku menyukai novel ini, bukan?
Sebagian besar ulasan penuh bintang yang aku
baca juga menggarisbawahi gaya penulisan Bart Yates yang bagus dan membuat
The
Brothers Bishop
asyik dibaca. Aku mengamini poin
ini tentu. Hal lain yang banyak disebut dalam ulasan positif ini adalah bagaimana
narator cerita, Nathan Bishop, terasa fresh dan relatable karena
gaya penuturannya yang blak-blakan dan jujur. Sampai pada satu titik di novel, aku
sebenarnya setuju dengan pendapat ini. Akan tetapi, makin menuju ke akhir cerita, karakter
Nathan makin menyebalkan dan asshole-ish for no reason menurutku.

 

Not-So-Good Things About This Novel

Ulasan 5 bintang memang mendominasi laman Goodreads untuk novel ini. Akan tetapi, aku memutuskan untuk “menggali” ulasan 3 bintang dan 1 bintang karena penasaran. Apakah ada pembaca yang juga merasa sebal tiada tara pasca membaca The Brothers Bishop? Theses minorities exist of course. Ulasan tidak terlalu dermawan mereka menggarisbawahi beberapa hal menarik yang sepertinya juga merupakan alasan dibalik kekesalan berkepanjanganku terhadap balada dua bersaudara ini.
1. Karakter unlikable yang ada terlalu berlebihan, hampir mustahil bersimpati dengan mereka lagi (bad-decision-making in this story is endless)
Seperti yang sudah aku
ungkapkan di atas, sebagai narator Nathan memang asyik untuk didengar di awal
novel. Dia jujur, bitter, dan apa adanya. Aku masih bisa bersimpati
dengan karakter ini. Akan tetapi, semakin cerita berkembang semakin Nathan
berubah menjadi sosok terlampau “kejam”. Perubahan yang terjadi pun
seolah tanpa tujuan.
Saudara Nathan, Tommy Bishop, bahkan lebih parah lagi.
Tanpa memberi bocoran apa-apa, penulis berusaha memotret Tommy sebagai sosok
penuh cela terlepas dari penampilan luarnya yang sempurna. Penulis seperti
mengarahkan pembaca untuk bersimpati pada Tommy karena “dia tidak
benar-benar bermaksud melakukan apa yang dia lakukan”. Sayang sekali, Tommy adalah karakter yang murni tidak ada faedahnya di mataku. Aku begitu kasihan dengan Nathan yang apes mendapat Tommy sebagai saudara kandung.
Oke, flaw dua karakter ini bisa jadi merupakan perwujudan masa kecil mereka yang berat dan dinamika keluarga mereka yang disfungsional. Oke, aku berusaha untuk paham. Tetap saja, aku pikir fakta tragis ini tidak bisa menjustifikasi segunung tindakan dan keputusan tidak bertanggungjawab yang dua bersaudara ini ambil. Ada banyak karakter dengan masa lalu berat di luar sana. Akan tetapi, karakter-karakter ini (untungnya) memiliki kemampuan untuk membuat keputusan yang 100% jauh lebih baik daripada 2 orang ini.

 
2. Aku tidak bisa menangkap poin
yang berusaha disampaikan cerita tragis ini.
Aku tidak keberatan membaca buku
yang mengangkat topik berat dan sulit untuk dibahas. Seringkali buku semacam
ini ditulis dengan cara yang tetap menarik perhatian dan membuatku bisa bersimpati
dengan karakternya. Di akhir novel seperti ini, aku biasanya juga bisa menangkap
satu atau dua hal berfaedah. Belum lagi merenungkan pertanyaan yang ditinggalkan cerita yang sudah usai untuk direnungkan sendiri oleh pembaca. Membaca memang memperluas sudut pandang kita dan
membangun empati bagaimanapun juga. Akan tetapi, meskipun memasukkan topik berat
dalam cerita, The Brothers Bishop tidak berusaha menggali topik ini lebih
dalam. Setelah sampai di halaman akhir, aku masih tidak yakin
dengan pesan berfaedah macam apa yang berusaha disampaikan penulis. Aku hanya merasa miris sendiri
karena beberapa karakter tampaknya selalu saja bisa lari dari masalah yang merupakan tanggung jawabnya dan malah karakter lain yang harus menderita karenanya. Apa gunanya menderita karena cerita buku kalau tak mendapat hal berfaedah darinya?
3. Wanita tidak digambarkan dengan
terlalu positif dalam novel ini.
Aku baru aware dengan perkara
potrayal seperti ini dalam dunia buku & pop culture secara umum
selama beberapa bulan terakhir. Rasa tidak enak yang aku rasakan selama membaca
The Brothers Bishop boleh jadi juga berasal dari cara penulis
memperlakukan karakter perempuan yang sudahlah sedikit, tapi tidak
ditulis dengan positif dan penuh pertimbangan.
Ulasan dari pengguna Goodreads yang satu ini juga memaparkan hal yang tidak terlalu aku sukai dari The Brothers Bishop dengan sangat baik dan terurut.

In Conclusion

Meskipun mengapresiasi gaya penulisan Bart Yates yang menyita perhatian, aku tidak terlalu menyukai buku ini secara keseluruhan. The Brothers Bishop memang bukanlah bacaan untuk semua orang. Aku tidak bisa “merekomendasikan” buku ini karena aku pribadi masih merasa kesal dengan kisah yang ditawarkannya. Akan tetapi, kalau kau adalah seorang pembaca yang ingin mengeksplorasi sisi “kelam” dari cinta (and no, this is not a romantic book), tidak keberatan dengan topik berat, dan bisa meng-handle karakter yang tidak mengundang simpati, mungkin The Brothers Bishop bisa menjadi salah satu bacaan yang kau pertimbangkan.
Trigger warning: this novel cointains upsetting topics like taboo relationship, child abuse, dysfunctional family, and sexual abuse. Please proceed to read with caution.

Rating

3/5  

Terhibur/terbantu dengan tulisan ini? Dukung Farah melalui Karyakarsa

Farah melacak bacaannya di situs buku alternatif  The Storygraph | @farbooksventure

Ingin tanya-tanya & tetap anonim? Kirim saja pertanyaanmu lewat Curious Cat

[28/03/19] Pertama Kali “Membaca” Audiobook, Scribd, dan The Music of What Happens


“The world will make you vulnerable, if you’re acting like you’re not, that’s what your doing, acting.”

Informasi Audiobook
Judul: The Music of What Happens
Penulis: Bill Konigsberg

Penerbit: Scholastic Audio
Rilis: 26 Februari 2019
Durasi: 9 jam, 18 menit

Didengar via: Scribd
Bahasa: Inggris
Kategori umur: young adult
Temukan buku ini di Goodreads 


Deskripsi Audiobook

Max: Chill. Sports.
Video games. Gay and not a big deal, not to him, not to his mom, not to
his buddies. And a secret: An encounter with an older kid that makes it
hard to breathe, one that he doesn’t want to think about, ever.

Jordan:
The opposite of chill. Poetry. His “wives” and the Chandler Mall. Never
been kissed and searching for Mr. Right, who probably won’t like him
anyway. And a secret: A spiraling out of control mother, and the
knowledge that he’s the only one who can keep the family from falling
apart.

Throw in a rickety, 1980s-era food truck called Coq Au
Vinny. Add in prickly pears, cloud eggs, and a murky idea of what’s
considered locally sourced and organic. Place it all in Mesa, Arizona,
in June, where the temp regularly hits 114. And top it off with a touch
of undeniable chemistry between utter opposites.

Over the course
of one summer, two boys will have to face their biggest fears and decide
what they’re willing to risk — to get the thing they want the most.



Pengalaman Pertama “Membaca” Audiobook (& Menggunakan Scribd)
Audiobook sepertinya
begitu menjadi primadona akhir-akhir ini. Terima kasih pada artikel ringkas Book
Riot
tentang sejarah audiobook ini, aku akhirnya tahu bahwa audiobook
sebenarnya sudah ada dalam berbagai medium sejak bertahun-tahun lalu. Dalam
bentuk kaset dan CD? Pernah. Versi paling awal dari audiobook bahkan
berbentuk rekaman
super singkat puisi/cerita anak-anak
dari era penemuan phonograph oleh Thomas
Alfa Edison. Tidak mengherankan memang kalau era smartphone membuat audiobook
kembali naik daun. Cukup dengan menggunakan ear phone, orang-orang bisa
mendengarkan audiobook dimana saja dan kapan saja untuk mengisi waktu
senggang. All hail the positive impact of technology! 

Setelah beberapa
lama dilanda rasa penasaran, kesempatan untuk mencoba audiobook datang
ketika aku berhasil join dengan beberapa orang untuk berlangganan di
situs Scribd.
Lucunya, aku sudah mengetahui keberadaan Scribd selama hampir 4 tahun
tanpa benar-benar tahu betapa banyak hal yang bisa aku temukan di sana.

Dari hari-hari
yang dipenuhi kerja kelompok dan tugas menggunung, terkadang beberapa link
tentang topik tugas yang sedang aku cari berakhir di laman Scribd.
Dokumen semacam ini tidak bisa diunduh dan digunakan secara utuh tentu saja
oleh aku yang tidak berlangganan, punya akun Scribd saja tidak! Sejak
saat itu aku selalu mengabai hasil percarian dari Scribd yang aku anggap
hanya sekadar situs tempat banyak orang membagikan tugas-tugas mereka. Sampai
akhirnya, dari komunitas bookstagram aku pun sadar bahwa Scribd
juga merupakan gudang untuk banyak koleksi e-book ­& audiobook baik
fiksi maupun non-fiksi.
 

Farah:
Sumber: GIPHY

Farah kamu
kemana aja selama ini?
Sikapku terhadap Scribd pun berubah. Dari
yang awalnya tidak peduli, aku akhirnya menyimpan harapan semoga bisa
berlangganan di situs ini suatu saat nanti. Terima kasih berkat keajaiban
komunitas bookstagram, harapan ini akhirnya menjadi kenyataan.

Aku sempat
terintimidasi ketika melihat-lihat info tentang berbagai audiobook di Scribd.
Kenapa? Aku baru sadar bahwa memutuskan mendengar audiobook 
berarti harus bersabar dan menerima kenyataan bahwa aku harus mendengarkan
kumpulan audio sebuah buku yang rata-rata berdurasi total selama 9 jam. Audiobook
memang dibagi per-bab dalam rekaman audionya, tapi tetap saja dalam satu
bab durasinya bisa sampai 30 menit. Menyaksikan video Youtube berdurasi 30
menit? Oke. Mendengarkan audio yang berisi narasi buku selama 30 menit? Aku
jujur skeptis dengan diri sendiri. Durasi panjang ini lumayan mengintimidasiku
yang masih pemula. Apa yang terjadi kalau aku bosan dan akhirnya malah tidak
melanjutkan?

Pada awalnya,
novel terbaru Taylor Reid Jenkins Daisy Jones & The Six adalah
kandidat utama dari “eksperimen” audiobook-ku. Ada beberapa orang yang
berkomentar bahwa format penulisan Daisy Jones & The Six yang
seperti kumpulan transcript wawancara membuat buku ini sangat cocok
dinikmati dalam format audiobook. Tidak disangka-sangka, aku tanpa
sengaja malah menemukan versi audiobook dari novel YA The Music of
What Happens
, salah satu dari berbagai novel yang aku sadari keberadaannya
berkat Instagram. Novel ini menarik perhatianku karena sampulnya yang
begitu sedap dipandang.



Sumber: Blog Bill Konigsberg
Begitulah cerita awal mula bagaimana aku terjun
ke dalam lautan audiobook yang
menarik lewat novel yang (di beberapa bagian) membuat lapar ini.

Menurut Farah Tentang Audiobook Ini 

Di permukaan, The Music of What Happens memang
menawarkan premis umum;
Dua karakter
dengan sifat bertolak-belakang bertemu dengan satu sama lain dalam sebuah
pertemuan tidak terduga. Setiap karakter menyimpan masalah dan ketakutan mereka
masing-masing. Karakter mereka yang bertolak-belakang akhirnya membuat mereka
saling melengkapi satu sama lain. Pertemuan tak terduga pun mengantarkan
karakter-karakter ini menjadi pribadi yang lebih baik seiring berkembangnya
cerita. Terdengar familiar, bukan?
Max dan Jordan
adalah 2 karakter yang sudah tahu dengan keberadaan satu sama lain tapi belum
benar-benar “bertemu” sebelum pertemuan mereka di truk makanan Keluarga Jordan
pada suatu hari di musim panas. The Music
of What Happens
adalah tipe-tipe novel character
driven
yang awalnya terasa mengalir lambat. 
Pembaca akan disuguhkan dengan narasi dari sudut pandang Max dan Jordan,
2 tokoh utama cerita. Aku sempat merasa kikuk karena baru pertama kali membaca
novel dalam bentuk audiobook. Audiobook boleh jadi merupakan sarana
baik untuk berlatih kemampuan listening Bahasa
Inggris. Akan tetapi, ketika “membaca”
novel dengan gaya seperti ini aku sempat kesulitan dengan nama beberapa
karakter dalam cerita.
Versi audiobook dari The Music Of What Happens dinarasikan oleh 2 narator yang mewakili
sudut pandang Max dan Jordan dalam novel. Aku tidak punya kesulitan yang
berarti di bagian Jordan. Aku merasa bisa relate
dengan kekhawatiran dan rasa takut seorang Jordan, terima kasih pada narator
ekspresif yang menarasikan sudut pandangnya. Narator untuk bagian Max sendiri memiliki
suara yang “lebih berat” daripada narator untuk Jordan. Di satu sisi, mungkin
saja ini melengkapi bayangan pembaca tentang betapa berbedanya 2 karakter ini. Akan
tetapi, terkadang suara beratnya membuat narrator untuk Max hanya terdengar “kumur-kumur”
dalam beberapa bagian di telingaku. It’s
not you, it’s me really
. Jadi ya, mendengarkan sudut pandang Max adalah
tantangan tersendiri untukku.
Perasaan yang
pertama kali muncul pasca mendengar audiobook
ini adalah puas. Puas karena berhasil menyelesaikan audiobook untuk pertama kalinya, juga puas karena kisah Max dan
Jordan ditutup dengan rapi. Hal yang membedakan cerita Max & Jordan dari
cerita dengan pola familiar lain semacam ini adalah hal-hal serius yang
berusaha dikupas penulis dalam cerita mereka. Topik tentang toxic masculinity, toxic family, toxic friendship,
dan bahkan sexual assault (trigger warning: rape) mulai
bermunculan silih berganti semakin dalam kita mendengarkan cerita Max dan
Jordan. Aku salut dengan penulis karena berhasil membuat penyelesaian rapi untuk
topik-topik serius ini.
Topik-topik di atas mungkin
tidak terlalu menyenangkan untuk dibaca. Akan tetapi, Bill Konigsberg berhasil
memadukan pola cerita novel mainstream dengan
isu serius untuk meningkatkan kesadaran pembacanya akan topik bersangkutan. And that’s a really good thing in my opinion.
Hal yang aku
sukai ketika “membaca” versi audiobook
ini adalah bagaimana semakin “hidup”-nya bayanganku akan perisiwa yang terjadi
dalam novel, terima kasih pada narrator novelnya yang menarasikan cerita dengan
sepenuh hati. Aku memang tidak leluasa membuat bayangan sendiri tentang detail yang
membedakan Max dan Jordan, tapi mendengarkan seseorang menarasikan novel dengan
penuh semangat dan penghayatan menyenangkan juga.
Hal yang kurang
sreg untukku selama mendengarkan The
Music of What Happens
sepertinya hanya penggunaan kata dude yang agak berlebihan. Harus aku akui, aku bukanlah seorang native speaker dalam Bahasa Inggris, tinggal di
negara berbahasa Inggris saja tidak. Akan tetapi, apa memang ada orang-orang  yang menggunakan kata dude sesering ini?
Aku akan
merekomendasikan
The
Music of What Happens
untuk pembaca yang mencari novel YA yang memadukan
isu berat dengan gaya penceritaan mainstream
dan berhasil membungkus ceritanya dengan rapi.

Kembali lagi ke dalam pembahasan
tentang audiobook, berbeda dari
sebagian besar orang yang bisa mendengarkan audiobook
di sela-sela aktivitas sehari-hari mereka. Aku adalah tipe orang yang lebih
nyaman mendengarkan audiobook ketika sedang ingin bersantai seperti di waktu malam hari menjelang tidur.
Secara keseluruhan, pengalamanku “membaca” audiobook
untuk kali
pertama adalah pengalaman menarik dan lumayan eye-opening. Aku pasti akan membaca audiobook lain di masa yang akan datang,
tapi alih-alih menemani di antara aktivitas sehari-hari, audiobook ini akan menemaniku di akhir minggu yang tenang dan
santai.

Artikel Yang Disebut Dalam Tulisan Ini
1. A Brief History of the Audiobook (oleh Aram Mrjoian dalam situs BookRiot)  
2. Audiobook (dalam Wikipedia Bahasa Inggris)
3. Scribd (dalam Wikipedia Bahasa Inggris)


Rating
3,5/5