Karena terkadang, benda mati seperti dinding toilet memang lebih dapat dipercaya ketimbang makhluk lain yang kita kategorikan “hidup”
Judul: Corat-Coret di Toilet
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 9786020328935
Cetakan: ketiga (Juni 2016)
Tahun publikasi: 2016 (pertama kali dipublikasikan pada 2014)
Jumlah halaman: 138 halaman
Buku: milik pribadi
Temukan buku ini di Goodreads
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 9786020328935
Cetakan: ketiga (Juni 2016)
Tahun publikasi: 2016 (pertama kali dipublikasikan pada 2014)
Jumlah halaman: 138 halaman
Buku: milik pribadi
Temukan buku ini di Goodreads
Blurb
“Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya kepada dinding toilet.”
Menurut Farah Tentang Buku Ini
“Ia berkata bahwa mencuri buku merupakan tindakan terkutuk, dan ia melakukannya dengan harapan bisa ditangkap sehingga ia akan tahu bahwa pemerintah memang mencintai buku dan benci para pencuri buku. Tapi dasar ia memang malang, ia tak juga ditangkap meskipun sudah ribuan buku ia curi.” – Eka Kurniawan, Peterpan.
Dua kalimat di atas merupakan kutipan dari cerpen pembuka dalam kumpulan cerpen Corat-Coret di Toilet bertajuk “Peterpan”. Dua kalimat ini secara tidak langsung mengungkapkan banyak hal bukan? Eka Kurniawan kembali menunjukkan kepiawaiannya dalam mengolah cerita lewat kumpulan cerpen ini. Tema dari 12 cerpen dalam buku ini sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Ada cerita tentang cinta yang tak sampai. Ada cerita tentang beberapa hal tidak terduga yang tanpa kita sangka-sangka ternyata mungkin saja memang sebenarnya terjadi. Ada cerita bertema “nakal” khas Eka Kurniawan (baca cerpen “Dongeng Sebelum Bercinta” dalam buku ini!), bahkan nama karakter dalam cerpen ini mengingatkanku pada nama karakter dalam buku Eka Kurniawan yang lain, dan ada beberapa cerita satir yang menyentil dunia perpolitikan.
Berkaca dari pengalamanku membaca karya-karya Eka Kurniawan sebelumnya seperti Cantik Itu Luka, Lelaki Harimau, dan Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, Corat-Coret di Toilet bisa dikatakan tidak seliar ketiga karya tersebut. Aku merasa dapat melihat sisi lain dari gaya penulisan seorang Eka Kurniawan. Dalam Corat-Coret di Toilet aku seolah dihadapkan pada sisi kepenulisan yang lebih “kalem” dan mungkin agak sedikit sentimental. Tapi, tentu saja cerita-cerita dalam buku ini tetap tidak kehilangan ciri khas seorang Eka Kurniawan.
Aku menyelesaikan buku ini dalam satu kali duduk (mungkin sekitar 1 jam) di sudut salah satu kantin di hari Senin yang mendung itu. Buku kumpulan cerpen memang merupakan pilihan yang tepat sebagai bacaan cepat. Aku menyelesaikan buku ini disela waktu membaca The Geography of Genius dan The 100-Year-Old Man Who Climbed Out The Window and Disappeared. Meskipun sudah sangat dekat dengan akhir bulan, aku masih belum memenuhi targetku untuk bulan ini. Terkadang memang sulit menyelesaikan dua buku tebal (belum lagi salah satunya adalah buku berbahasa Inggris) ketika berjadwal penuh seperti bulan ini. Mungkin saja aku akan mengejar target dengan membaca buku kumpulan cerpen lain lagi.
Cerpen favoritku dari 12 cerita dalam buku ini adalah “Peterpan” dan “Corat-Coret di Toilet”. Kesamaan dari kedua cerita ini adalah tema ceritanya yang menyindir dunia perpolitikan. Untuk cerpen “Peterpan”, aku langsung memutuskan cerpen pembuka itu merupakan cerpen favoritku ketika aku menemukan kalimat yang aku kutip dalam pembuka tulisanku ini.
That sentences speak volume don’t you think?
Untuk cerpen “Corat-Coret di Toilet” sendiri, aku langsung jatuh hati pada tema cerita ini tentang kebiasaan beberapa orang yang suka mencorat-coret dinding toilet dimanapun itu. Fenomena ini sering aku dapati dalam kehidupan sehari-hari dan ya, bahkan beberapa orang saling berbalas pesan via dinding toilet! Mengabadikan fenomena yang sering
Rating
3.5/5