trying to make less and less, we are always somehow making more.
Informasi Buku
Judul: The Bright Hour
Penulis: Nina Riggs
Penerbit: Simon & Schuster
ISBN:
9781501169373
Tahun
publikasi: 2018
Jumlah
halaman: 336 halaman
Buku:
milik pribadi
Bahasa:
Inggris
Kategori
umur: adult
Temukan
buku ini di Goodreads
Blurb
Poet and essayist Nina
Riggs was just thirty-seven years old when initially diagnosed with
breast cancer—one small spot. Within a year, she received the
devastating news that her cancer was terminal.How does a dying
person learn to live each day “unattached to outcome”? How does one
approach the moments, big and small, with both love and honesty? How
does a young mother and wife prepare her two young children and adored
husband for a loss that will shape the rest of their lives? How do we
want to be remembered?Exploring motherhood, marriage,
friendship, and memory, Nina asks: What makes a meaningful life when one
has limited time? “Profound and poignant” (O, The Oprah Magazine), The Bright Hour
is about how to make the most of all the days, even the painful ones.
It’s about the way literature, especially Nina’s direct ancestor, Ralph
Waldo Emerson, and her other muse, Montaigne, can be a balm and a form
of prayer.Brilliantly written and exceptionally moving, it’s a
“deeply affecting memoir, a simultaneously heartbreaking and funny
account of living with loss and the specter of death. As Riggs
lyrically, unflinchingly details her reality, she finds beauty and truth
that comfort even amid the crushing sadness” (People, Book of the Week).Tender and heartwarming, The Bright Hour “is a gentle reminder to cherish each day” (Entertainment Weekly,
Best New Books) and offers us this important perspective: “You can read
a multitude books about how to die, but Riggs, a dying woman, will show
you how to live” (The New York Times Book Review, Editor’s Choice).
Menurut Farah Tentang Buku Ini
memoar dari Nina Riggs. Seorang penyair, essayist,
istri, dan ibu 2 orang anak. Nina juga merupakan salah satu keturunan langsung
dari Ralph Waldo Emerson (RWE), seorang essayist
ternama Amerika Serikat, dari garis keturunan sang ayah. Buku 336 halaman ini berisi pengalaman
dan refleksi personal Nina setelah divonis menderita kanker payudara di usia 37
tahun. Mirisnya, sang ibu juga mengidap penyakit yang sama dengan Nina dan
kenyataan ini menjadi tema sentral dalam The
Bright Hour. Tulisan-tulisan personal Nina sendiri bagaikan pedang bermata dua. Di
satu sisi, tulisan-tulisan ini membawa pembaca lebih dekat dan lebih “terhubung”
(relate) pada cerita-cerita Nina. Di
sisi lain, beberapa tulisan yang terlampau personal (terkadang terasa seperti inside joke atau inside knowledge) malah membuat pembaca bingung karena tidak bisa
menangkap apa yang sebenarnya ingin Nina ingin sampaikan.
mengherankan memang ketika beberapa orang menyandingkan buku ini dengan When Breath Becomes Air karya Paul
Kalanithi. Buku bersangkutan bahkan beberapa kali disebut dalam The Bright Hour sebagai salah satu dari
sekian banyak bacaan yang Nina lahap dalam masa pengobatannya. Di permukaan,
kedua buku ini memang mengusung tema yang sama. Keduanya merupakan memoir yang
menguraikan sudut pandang masing-masing penulis tentang bagaimana mereka
menghadapi kematian yang pasti menanti di depan mata tanpa lupa untuk “hidup” di
masa sekarang. Topik tentang menerima (benar-benar
menerima) kematian adalah hal yang sama-sama diusung 2 memoar ini. Akan
tetapi, tentu ada banyak hal lain yang membedakan kedua buku ini. Latar
belakang masing-masing penulis yang begitu bertolak-belakang bahkan sudah membawa banyak perbedaan
dalam cerita mereka.
perbedaan ini. Sayang sekali terjemahan Bahasa Indonesia untuk memoar Paul
Kalanithi ini sedikit membingungkan. I’ll
get my hands on the English version of When
Breath Becomes Air as soon as possible.
wawancara Nina Riggs & Nora Krug dalam The
Washington Post pada Juni 2017 (terlampir di akhir memoir The Bright Hour dan bisa dibaca di sini), The Bright Hour berawal dari tulisan
Nina dalam blog pribadinya, Suspicious Country. Nina memaparkan bagaimana tulisan di blog-nya mulai berubah menjadi
proyek yang lebih besar dan koheren. Tulisan-tulisannya tidak hanya menyangkut
terapi yang dia lalui, tapi juga refleksi tentang transisi yang terjadi dalam hubungan
Nina & sang ibu serta kenyataan bahwa kematian merupakan hal konstan yang
senantiasa berada dalam kehidupan sehari-hari setiap orang. Setelah memutuskan
untuk menulis manuskrip, Nina mulai membaca tulisan berbagai penulis yang membahas refleksi
akan hidup/mati dan ini benar-benar bisa pembaca rasakan dalam The Bright Hour. Pengaruh dari esai
Michel de Montaigne dan moyang Nina, RWE, sangat kental dalam sebagian besar
tulisan Nina di The Bright Hour.
dikutip Nina dengan on-point memang
memaparkan “kenyataan” dibalik terapi yang tersedia untuk beberapa penyakit
tertentu;
“I do not at all like to cure one evil by another,” says Montaigne, no stranger
to doctors or illness, who in one sense captures in a dozen words all of what
feels wrong about cancer treatment today. “I hate remedies that are more of a
nuisance than the sickness.”
benar-benar penasaran dengan esai dari Montaigne. Di sepanjang memoarnya Nina juga
sempat menyebutkan beberapa judul buku yang menarik untuk dibaca.
Sayang sekali, selain beberapa argumen menarik dari tulisan Montaigne tidak
ada hal lain yang terlalu spesial atau memorable bagiku dari buku ini. Seperti yang sudah aku ungkapkan di awal, beberapa
tulisan Nina terlampau personal dan “kabur” ketika coba dipahami oleh pembaca
(dalam hal ini adalah diriku). Tulisan seperti ini sayangnya tidak meninggalkan
pengaruh yang signifikan, hanya membuat bingung. Mungkin tulisan-tulisan semacam
ini akan lebih masuk akal dan berpengaruh bagi orang-orang yang benar-benar
mengenal Nina di dunia nyata. Memoar ini pada dasarnya adalah kumpulan tulisan
refleksi individu seorang Nina bagaimanapun juga.
lebih “mengenal” Nina lagi dari tulisan-tulisannya. Dalam acknowledge, suami Nina memang menuliskan bagaimana The Bright Hour merupakan warisan untuk kedua putra
mereka, Freddy dan Benny. Niatan Nina untuk menulis sesuatu yang bisa membuat
Freddy dan Benny merasa dekat dengan sang ibu ketika mereka tumbuh besar (dan
tahu betapa besarnya cinta sang ibu untuk mereka) sudah tercapai lewat The Bright Hour. Dan untuk kenyataan
ini, The Bright Hour adalah sesuatu yang sangat penting dan berharga bagi mereka
berdua.
bisa lebih menikmati memoir personal ini. Sayang sekali kebingungan yang
melanda akhirnya menghalangiku mencapai tahap itu. Sama seperti bagaimana aku
tidak terlalu sreg dengan Educated karena gaya penulisan Tara Westover,
ternyata aku juga tidak terlalu cocok gaya penulisan yang Nina Riggs pilih
untuk memoar pribadinya ini.
bisa menjadi pilihan bacaan bagi pembaca yang mencari memoar personal
tentang bagaimana menapaki hidup di tengah bayangan kematian yang semakin nyata. Sebagian besar pembaca juga merekomendasikan buku ini untuk dibaca beriringan dengan memoar When Breath Becomes Air karya Paul Kalanithi.
Artikel Lain Yang Disebut Dalam Tulisan Ini
Bahan Bacaan Lanjutan
Rating
TRIVIA: Sebuah “Epilogue” Dari When Breath Becomes Air & The Bright Hour
Sumber: GIPHY |
Baca detail
bagaimana romansa ini muncul dalam berbagai tulisan di bawah ini;
Then their spouses fell in love. [Sebuah artikel di The Washington
Post oleh Nora Krug, 03 Januari 2018]
pribadi Nina Riggs, Suspicious Country, tentang bagaimana
hubungannya dengan Lucy bermula dan peran Nina dalam hal ini]
Goddard, saudari kembar Lucy Kalinithi, tentang hubungan Lucy & John]