[14/04/19] Tentang The Bright Hour Karya Nina Riggs

 

But in
trying to make less and less, we are always somehow making more.

Informasi Buku 


Judul: The Bright Hour
Penulis: Nina Riggs
Penerbit: Simon & Schuster
ISBN:
9781501169373

Tahun
publikasi: 2018
 
Jumlah
halaman: 336 halaman

Buku:
milik pribadi

Bahasa:
Inggris

Kategori
umur: adult

Temukan
buku ini di Goodreads

Blurb

Poet and essayist Nina
Riggs was just thirty-seven years old when initially diagnosed with
breast cancer—one small spot. Within a year, she received the
devastating news that her cancer was terminal.

How does a dying
person learn to live each day “unattached to outcome”? How does one
approach the moments, big and small, with both love and honesty? How
does a young mother and wife prepare her two young children and adored
husband for a loss that will shape the rest of their lives? How do we
want to be remembered?

Exploring motherhood, marriage,
friendship, and memory, Nina asks: What makes a meaningful life when one
has limited time? “Profound and poignant” (O, The Oprah Magazine), The Bright Hour
is about how to make the most of all the days, even the painful ones.
It’s about the way literature, especially Nina’s direct ancestor, Ralph
Waldo Emerson, and her other muse, Montaigne, can be a balm and a form
of prayer.

Brilliantly written and exceptionally moving, it’s a
“deeply affecting memoir, a simultaneously heartbreaking and funny
account of living with loss and the specter of death. As Riggs
lyrically, unflinchingly details her reality, she finds beauty and truth
that comfort even amid the crushing sadness” (People, Book of the Week).

Tender and heartwarming, The Bright Hour “is a gentle reminder to cherish each day” (Entertainment Weekly,
Best New Books) and offers us this important perspective: “You can read
a multitude books about how to die, but Riggs, a dying woman, will show
you how to live” (The New York Times Book Review, Editor’s Choice).

Menurut Farah Tentang Buku Ini

The Bright Hour merupakan
memoar dari Nina Riggs. Seorang penyair, essayist,
istri, dan ibu 2 orang anak. Nina juga merupakan salah satu keturunan langsung
dari Ralph Waldo Emerson (RWE), seorang essayist
ternama Amerika Serikat
, dari garis keturunan sang ayah. Buku 336 halaman ini berisi pengalaman
dan refleksi personal Nina setelah divonis menderita kanker payudara di usia 37
tahun. Mirisnya, sang ibu juga mengidap penyakit yang sama dengan Nina dan
kenyataan ini menjadi tema sentral dalam The
Bright Hour
. Tulisan-tulisan personal Nina sendiri bagaikan pedang bermata dua. Di
satu sisi, tulisan-tulisan ini membawa pembaca lebih dekat dan lebih “terhubung”
(relate) pada cerita-cerita Nina. Di
sisi lain, beberapa tulisan yang terlampau personal (terkadang terasa seperti inside joke atau inside knowledge) malah membuat pembaca bingung karena tidak bisa
menangkap apa yang sebenarnya ingin Nina ingin sampaikan.
Tidak
mengherankan memang ketika beberapa orang menyandingkan buku ini dengan When Breath Becomes Air karya Paul
Kalanithi. Buku bersangkutan bahkan beberapa kali disebut dalam The Bright Hour sebagai salah satu dari
sekian banyak bacaan yang Nina lahap dalam masa pengobatannya. Di permukaan,
kedua buku ini memang mengusung tema yang sama. Keduanya merupakan memoir yang
menguraikan sudut pandang masing-masing penulis tentang bagaimana mereka
menghadapi kematian yang pasti menanti di depan mata tanpa lupa untuk “hidup” di
masa sekarang. Topik tentang menerima (benar-benar
menerima
) kematian adalah hal yang sama-sama diusung 2 memoar ini. Akan
tetapi, tentu ada banyak hal lain yang membedakan kedua buku ini. Latar
belakang masing-masing penulis yang begitu bertolak-belakang bahkan sudah membawa banyak perbedaan
dalam cerita mereka.
Aku harus membaca ulang When Breath Becomes Air agar bisa benar-benar “menjelaskan”
perbedaan ini. Sayang sekali terjemahan Bahasa Indonesia untuk memoar Paul
Kalanithi ini sedikit membingungkan. I’ll
get my hands on the English version of
When
Breath Becomes Air as soon as possible
.
Menurut
wawancara Nina Riggs & Nora Krug dalam The
Washington Post
pada Juni 2017 (terlampir di akhir memoir The Bright Hour dan bisa dibaca di sini), The Bright Hour berawal dari tulisan
Nina dalam blog pribadinya, Suspicious Country. Nina memaparkan bagaimana tulisan di blog-nya mulai berubah menjadi
proyek yang lebih besar dan koheren. Tulisan-tulisannya tidak hanya menyangkut
terapi yang dia lalui, tapi juga refleksi tentang transisi yang terjadi dalam hubungan
Nina & sang ibu serta kenyataan bahwa kematian merupakan hal konstan yang
senantiasa berada dalam kehidupan sehari-hari setiap orang. Setelah memutuskan
untuk menulis manuskrip, Nina mulai membaca tulisan berbagai penulis yang membahas refleksi
akan hidup/mati dan ini benar-benar bisa pembaca rasakan dalam The Bright Hour. Pengaruh dari esai
Michel de Montaigne dan moyang Nina, RWE, sangat kental dalam sebagian besar
tulisan Nina di The Bright Hour.       
Dalam satu bagian memorable, tulisan sinis Montaigne yang
dikutip Nina dengan on-point memang
memaparkan “kenyataan” dibalik terapi yang tersedia untuk beberapa penyakit
tertentu;

“I do not at all like to cure one evil by another,” says Montaigne, no stranger
to doctors or illness, who in one sense captures in a dozen words all of what
feels wrong about cancer treatment today. “I hate remedies that are more of a
nuisance than the sickness.”

Kutipan di atas membuatku
benar-benar penasaran dengan esai dari Montaigne. Di sepanjang memoarnya Nina juga
sempat menyebutkan beberapa judul buku yang menarik untuk dibaca.
Sayang sekali, selain beberapa argumen menarik dari tulisan Montaigne tidak
ada hal lain yang terlalu spesial atau memorable bagiku dari buku ini. Seperti yang sudah aku ungkapkan di awal, beberapa
tulisan Nina terlampau personal dan “kabur” ketika coba dipahami oleh pembaca
(dalam hal ini adalah diriku). Tulisan seperti ini sayangnya tidak meninggalkan
pengaruh yang signifikan, hanya membuat bingung. Mungkin tulisan-tulisan semacam
ini akan lebih masuk akal dan berpengaruh bagi orang-orang yang benar-benar
mengenal Nina di dunia nyata. Memoar ini pada dasarnya adalah kumpulan tulisan
refleksi individu seorang Nina bagaimanapun juga.
Melalui The Bright Hour, aku yakin keluarga dan teman-teman dekat bisa
lebih “mengenal” Nina lagi dari tulisan-tulisannya. Dalam acknowledge, suami Nina memang menuliskan bagaimana The Bright Hour merupakan warisan untuk kedua putra
mereka, Freddy dan Benny. Niatan Nina untuk menulis sesuatu yang bisa membuat
Freddy dan Benny merasa dekat dengan sang ibu ketika mereka tumbuh besar (dan
tahu betapa besarnya cinta sang ibu untuk mereka) sudah tercapai lewat The Bright Hour. Dan untuk kenyataan
ini, The Bright Hour adalah sesuatu yang sangat penting dan berharga bagi mereka
berdua.
Aku harap aku
bisa lebih menikmati memoir personal ini. Sayang sekali kebingungan yang
melanda akhirnya menghalangiku mencapai tahap itu. Sama seperti bagaimana aku
tidak terlalu sreg dengan Educated karena gaya penulisan Tara Westover,
ternyata aku juga tidak terlalu cocok gaya penulisan yang Nina Riggs pilih
untuk memoar pribadinya ini.

Pada akhirnya, The Bright Hour tetap
bisa menjadi pilihan bacaan bagi pembaca yang mencari memoar personal
tentang bagaimana menapaki hidup di tengah bayangan kematian yang semakin nyata. Sebagian besar pembaca  juga merekomendasikan buku ini untuk dibaca beriringan dengan memoar When Breath Becomes Air karya Paul Kalanithi. 

Artikel Lain Yang Disebut Dalam Tulisan Ini

1. Tentang Ralph Waldo Emerson (Wikipedia)
2. Wawancana Nina Riggs & Nora Krug (The Washington Post)
3. Ulasan Educated karya Tara Westover oleh Farah (Far’s Books Space)
4. Tentang Michel de Montaigne (Wikipedia)

Bahan Bacaan Lanjutan

1. The First Thing I Did After My Wife’s Death (oleh John Duberstein, suami Nina Riggs)

Rating

3/5


TRIVIA: Sebuah “Epilogue” Dari When Breath Becomes Air & The Bright Hour

I can’t make this up you guys.
Hidup seringkali penuh kejutan dan memang “selucu” itu.
Sebelum kepergiannya, Nina Riggs sempat membangun korespondensi dengan Lucy Kalanithi, istri mendiang Paul Kalanithi. Lucy bahkan bersedia menulis blurb untuk memoar Nina dan mendukung Nina sampai akhir. Pasca kepergian Nina, John Duberstein (suami dan ayah dari 2 anak Nina) akhirnya mengikuti saran sang mendiang istri & menghubungi Lucy yang sudah pernah melalui masa berduka pasca kepergian pasangan hidupnya.
Kisah romansa bittersweet pun muncul dari kontak yang terbangun antara John dan Lucy ini. 
I know you guys. Life is weird and awesome like that.
Farah setelah mengetahui cerita ini:
Sumber: GIPHY

Baca detail
bagaimana romansa ini muncul dalam berbagai tulisan di bawah ini;

1. Two dying memoirists wrote bestsellers about their final days.
Then their spouses fell in love.
[Sebuah artikel di The Washington
Post
oleh Nora Krug, 03 Januari 2018]

2. Fourth River (By JD) [Tulisan John Duberstein di blog
pribadi Nina Riggs, Suspicious Country, tentang bagaimana
hubungannya dengan Lucy bermula dan peran Nina dalam hal ini]

3. An Update on My Twin Sister [Tulisan dari Joanna
Goddard, saudari kembar Lucy Kalinithi, tentang hubungan Lucy & John]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *