Tentang Honey Girl Karya Morgan Rogers

Review sebuah novel kontemporer berkesan yang aku baca di bulan Maret 2021!

Informasi Buku

Judul: Honey Girl

Penulis: Morgan Rogers (intip situs resmi penulis di sini)

Format Buku: Audio

Narator: York Whitaker

Durasi: 10 jam, 11 menit

Bahasa: Inggris

Penerbit: Harlequin Audio 

ISBN: 9781488210754

Artis Sampul: Poppy Madga

Design Sampul: Gigi Lau 

Tahun publikasi: 2021

Baca juga review lain di The StoryGraph

Blurb Buku

A refreshingly timely and relatable debut novel about a young woman whose life plans fall apart when she meets her wife.


With her newly completed PhD in astronomy in hand, twenty-eight-year-old Grace Porter goes on a girls’ trip to Vegas to celebrate. She’s a straight A, work-through-the-summer certified high achiever. She is not the kind of person who goes to Vegas and gets drunkenly married to a woman whose name she doesn’t know…until she does exactly that. This one moment of departure from her stern ex-military father’s plans for her life has Grace wondering why she doesn’t feel more fulfilled from completing her degree. Staggering under the weight of her parent’s expectations, a struggling job market and feelings of burnout, Grace flees her home in Portland for a summer in New York with the wife she barely knows. In New York, she’s able to ignore all the constant questions about her future plans and falls hard for her creative and beautiful wife, Yuki Yamamoto. But when reality comes crashing in, Grace must face what she’s been running from all along—the fears that make us human, the family scars that need to heal and the longing for connection, especially when navigating the messiness of adulthood.

Pilihan Akses Buku

Aku mendengar edisi audiobook Honey Girl melalui Scribd.

Edisi paperback bisa ditemukan di Periplus.

Edisi e-book juga tersedia di Google Play Book.

Penasaran ingin mencoba Scribd? Kamu bisa menggunakan link referal ini untuk coba-coba.

Menurut Farah Tentang Buku Ini

Membaca blurb Honey Girl akan memberi kesan bahwa novel kontemporer ini adalah kisah romantis. Asumsi yang tidak sepenuhnya salah tentu saja. Romansa antara Grace Porter & Yuki Yamamoto memang merupakan salah satu komponen dalam novel. Akan tetapi, cerita romance mereka bukanlah fokus utama. Honey Girl, pada intinya, adalah kisah coming-of-age seorang perempuan black & queer di penghujung usia 20-an. Buku ini juga bercerita tentang ketidakpastian yang datang setelah kamu menyelesaikan pendidikan akademik yang hampir dekade durasinya.


Menasbihkan genre spesifik untuk Honey Girl memang sulit. Fakta ini juga diamini oleh review buku Honey Girl dari The Seattle Times & wawancara Bitch Media dengan Morgan Rogers sendiri:

When I pitched the book to my agent and we were talking about submitting it to editors, I said it’s not a romance novel. It doesn’t really fit the beats and tropes in the romance genre. It’s first and foremost a coming-of-age [novel], even though those usually skew much younger in age. I’m younger than Grace. I’m 28, but it feels like a time where you can have this rebirth, grow, learn, and figure out who you want to be and where you want to go from here.”


Fleksibilitas dalam hal genre membuat Honey Girl bisa menyinggung banyak topik yang relevan buatku sebagai pembaca. Topik seperti burn out, feeling lost in life, suka-duka pertemanan (friendship), kesehatan mental, sampai hubungan kompleks dengan orang tua membangun cerita coming-of-age seorang Grace Porter. Melihat panjangnya bagian pembuka review Honey Girl ini, jangan heran kalau bagian selanjutnya akan lebih panjang lagi.


Semoga kamu menikmati tulisan panjang tentang (banyak) hal yang aku sukai dari novel Honey Girl:


Hal Yang Disukai

Hal pertama yang membuatku tertarik pada novel Honey Girl (selain sampul cantik) adalah trope “Marriage In Vegas” yang langsung muncul di blurb buku. Sudah bukan rahasia lagi bahwa aku adalah pembaca rutin fanfiction (FF). Trope satu ini adalah staple dari puluhan (bahkan ratusan) FF yang sudah aku baca selama hampir satu dekade terakhir. Meskipun awalnya hanya berspekulasi, Morgan Rogers sudah mengkonfirmasi dalam beberapa wawancara bahwa dia memang terinspirasi dari FF:

“I got my start in writing [through] reading fanfiction, so I’m very familiar with the [genre’s] tropes. I have my favorite tropes that I like to read and look for. So I kept throwing out all these ideas of things I wanted to write and I had all these works in progress. And I was like, why don’t I just write what I want to read? I love the married-in-Vegas trope. I love the idea of two people who don’t know each other having to make things work and figure out how they fit or if they fit.” – dalam wawancara dengan Evette Dione dari Bitch Media.


>>>


Kalau bicara topik, aku sangat menikmati eksplorasi hubungan orang tua/anak dan queer friendship dalam cerita. Dua hubungan ini bisa dibilang merupakan fokus utama dalam perjalanan Grace Porter sebagai karakter (bahkan lebih dari hubungan romantis Grace dengan Yuki).


Aku suka bagaimana Grace belajar melihat orang tuanya dari sudut pandang berbeda. Bahwa di akhir hari orang tua adalah manusia tidak sempurna. Meskipun berusaha sebaik-baiknya, terkadang tindakan mereka akan berefek negatif pada anak, walau mereka tidak berniat memunculkan efek itu. Aku juga suka bagaimana teman-teman queer Grace menjadi support system untuk dia ketika keluarga dekat Grace tidak bisa menawarkan dukungan ini. Hubungan pertemanan mereka juga dipotret dengan realistis. It’s not a perfect friendship at all. Aku sangat mengapresiasi nuance yang Morgan Rogers tawarkan.

Dalam hubungan apapun, akan ada titik ketika konflik muncul & kita berpotensi melukai perasaan satu sama lain. That’s the deal with human relations. Hal yang penting adalah bagaimana kita bekerja sama untuk memecahkan konflik ini. Aku pikir ini adalah hal penting untuk diingat karena meskipun berharap kita tidak melukai perasaan siapa-siapa apalagi orang terdekat, konflik adalah bagian tak terpisahkan dalam hubungan sehat.

>>>

Topik penting lain yang menjadi highlight cerita buatku adalah topik tentang kesehatan mental. Tidak hanya menyinggung burnout, cerita Grace juga menunjukkan usaha dia untuk menjadi lebih sehat & mindful dari segi mental dengan menemukan terapis yang bisa membantu. Kondisi mental seseorang akan mempengaruhi bagaimana dia membangun hubungan berarti dengan orang lain, bukan? Self-awareness in regards to your limitations/boundaries is good.
“The tension between having deeply meaningful relationships and still experiencing loneliness — which for Porter and her friends is tied to depression and other mental illness — is a common experience, but one rarely rendered wholly in fiction. Rogers stays with her characters through this tension, and during their more challenging moments.”  (The Seattle Times, Sarah Neilson).

Membaca berbagai tantangan yang dialami Grace & kawan-kawannya sebagai individu di usia 20-an sangat menenangkan. Aku merasa tidak sendiri.


>>>


Kalau bicara gaya penulisan & produksi audiobook sendiri, they are simply great. Cerita Grace ditulis dengan gaya bahasa yang begitu raw & tender. York Whitaker sebagai narator audiobook juga berhasil menghidupkan cerita perjalanan Grace menjadi sesuatu yang begitu enak didengar. Aku semakin kagum ketika sadar bahwa novel ini merupakan buku debut dari Morgan Rogers. Aku tidak sabar untuk membaca karya Rogers selanjutnya. 

Kenyataan bahwa dua booktuber yang sering aku tonton juga merekomendasikan novel ini adalah pertanda bagus.

Hal Yang Tidak Terlalu Disukai

Seperti yang sudah kamu lihat, aku adalah pengulas bias karena aku benar-benar menyukai buku ini. Bagian “Hal Yang Disukai” di atas (yang hampir 600 kata) adalah buktinya.

Kalau ditanya kritik, berikut beberapa hal yang aku harap bisa dipoles dari novel ini:
  • Meskipun tahu bahwa romance adalah salah satu bagian dari cerita & bukan merupakan fokus, aku sebenarnya masih berharap hubungan Grace & Yuki akan dikembangkan lebih lanjut. Honey Girl sendiri dipasarkan sebagai buku romance. Sayangnya ,romance bukanlah genre yang akan aku asosiasikan dengan cerita ini. Label adult contemporary sepertinya akan lebih cocok.
  • Selain itu, story arc dari salah satu karakter sampingan yang merupakan teman baik Grace menurutku tidak ditutup dengan memuaskan. Penutup arc dia terkesan buru-buru. Sebagai pembaca, aku merasa tidak mendapat closure di arc spesifik ini.
Booktuber WithCindy juga sudah mengulas buku ini & aku setuju dengan kritik dia tentang gaya penulisan Honey Girl yang bepotensi tidak cocok untuk beberapa pembaca. Kamu bisa membaca ulasan lengkap dari Cindy di sini.

Aku Akan Merekomandasikan Honey Girl Untuk…

Pembaca yang tertarik dengan kisah coming-of-age & self-growth seorang perempuan black & queer (dengan PhD) di penghujung usia 20-an. Kalau berharap untuk membaca kisah romantis yang fluffy & wholesome, Honey Girl sepertinya bukanlah buku yang tepat untukmu.


Jangan lupa untuk memeriksa content warning dulu kalau kamu memutuskan untuk membaca buku ini:

Content warnings (dikutip langsung dari situs resmi penulis): discussion and depictions of mental illness, self-harm (scratching skin, nails digging into skin as anxiety coping mechanism), past suicide attempt by side character, depictions of anti-Blackness and homophobia in the academic and corporate settings, casual alcohol consumption, minor drug use (marijuana), discussions of racism experienced by all characters of color, past limb amputation due to war injury (side character), past parent death (side character).


Rating

4,5/5

Bacaan Lanjutan


Terhibur/terbantu dengan tulisan ini? Dukung Farah melalui Karyakarsa

Farah melacak bacaannya di situs buku alternatif  The Storygraph | @farbooksventure

Ingin tanya-tanya & tetap anonim? Kirim saja pertanyaanmu lewat Curious Cat

[10/12/20] Tentang From Here to Eternity Karya Caitlin Doughty

“All that surrounds us comes from death, every part of every city, and every part of every person.”

Informasi Buku

Judul: From Here to Eternity: Traveling The World to Find the Good Death
Penulis: Caitlin Doughty
Penerbit: Weidenfeld & Nicolson (W&N)
Illustrator: Landis Blair
ISBN: 9781474606530
Tahun publikasi: 2019 (pertama kali dipublikasikan tahun 2017)
Jumlah halaman: 272 halaman
Buku: paperback milik pribadi
Bahasa: Inggris
Kategori Umur: Adult
Trigger Warning: Death (animal death / child death), Grief
Baca detail buku ini di The Storygraph

Blurb Buku

The best-selling author of Smoke Gets in Your Eyes expands our sense of what it means to treat the dead with “dignity.”


Fascinated by our pervasive terror of dead bodies, mortician Caitlin Doughty set out to discover how other cultures care for their dead. In rural Indonesia, she observes a man clean and dress his grandfather’s mummified body. Grandpa’s mummy has lived in the family home for two years, where the family has maintained a warm and respectful relationship. She meets Bolivian natitas (cigarette-smoking, wish-granting human skulls), and introduces us to a Japanese kotsuage, in which relatives use chopsticks to pluck their loved-ones’ bones from cremation ashes.

With curiosity and morbid humor, Doughty encounters vividly decomposed bodies and participates in compelling, powerful death practices almost entirely unknown in America. Featuring Gorey-esque illustrations by artist Landis Blair, From Here to Eternity introduces death-care innovators researching green burial and body composting, explores new spaces for mourning—including a glowing-Buddha columbarium in Japan and America’s only open-air pyre—and reveals unexpected new possibilities for our own death rituals.

Pilihan Akses Buku

Aku membeli edisi paperback From Here to Eternity di Big Bad Wolf (BBW) Tokopedia. Buku ini juga ada di katalog Toko Buku Online Periplus & Opentrolley Indonesia. Buku elektronik sendiri bisa ditemukan di Google Play Book. Aku mendengar edisi audiobook From Here to Eternity di Scribd.

Scribd Tips 1: Kalau ingin mencoba Scribd, kamu bisa sign up melalui link referral ini. Kamu bisa free trial Scribd selama 60 hari. Aku sendiri mendapat jatah langganan selama 30 hari. Simbiosis mutualisme, am I right? 
Scribd Tips 2: Kamu juga bisa patungan langganan dengan 4 orang lain (satu akun Scribd bisa dibuka di lima gawai berbeda). Kalau aktif di Twitter, mampir saja ke Literary Base. Sesama pembaca rutin mencari teman patungan di sana.

Menurut Farah Tentang Buku Ini

Hal Yang Dibahas

Dalam From Here to Eternity, Caitlin Doughty mengeksplorasi berbagai ritual yang dilakukan masyarakat dari delapan tempat berbeda untuk menanggapi kematian anggota komunitas mereka. Beberapa kelompok memilih kremasi. Kelompok lain rutin berinteraksi dengan mereka yang sudah berpulang dengan cara yang boleh jadi tidak terbayangkan oleh masyarakat Barat (baca Amerika Serikat, selanjutnya disebut AS).

Dalam buku 272 halaman ini, Doughty mengkritik bagaimana komersialisasi industri pemakaman di AS selama beberapa dekade terakhir berimbas negatif pada persepsi masyarakat AS tentang kematian. Komersialisasi ini secara tidak langsung membangun “dinding” antara yang berpulang dan yang ditinggalkan. “Dinding” ini terbentuk seiring dengan kecenderungan penyelenggaraan jenazah di AS yang dilakukan sepenuhnya oleh staf funeral home tanpa melibatkan keluarga jenazah. Keluarga sering kali tidak memiliki ruang atau kesempatan untuk terlibat langsung dalam ritual kematian orang terdekatnya.

Doughty percaya bahwa partisipasi langsung keluarga jenazah dalam ritual kematian adalah langkah krusial dalam proses berduka yang mereka lalui. Iklim industri pemakaman saat ini sayangnya tidak mendukung keterlibatan seperti ini. Jarak yang terbentuk antara jenazah dan keluarga yang ditinggalkan inilah yang membentuk “dinding” tadi.

Alih-alih menerima kematian sebagai realita kehidupan, “dinding” ini membuat sebagian besar orang menolak untuk bahkan membicarakannya. Bagaimana kita bisa berduka sepenuhnya agar bisa pulih di kemudian hari, kalau kita masih menolak untuk hidup berdampingan dengan kenyataan ini?

Melalui eksplorasinya ke berbagai komunitas yang hidup bersisian dengan kematian, Doughty berharap akan ada lebih banyak orang AS yang terbuka untuk membicarakan kenyataan hidup ini. Dia juga berharap agar orang-orang lebih terbuka dan tidak langsung menghakimi ketika berhadapan dengan ritual kematian yang berbeda dari tradisi mereka sendiri.

Hal Yang Disukai

Jauh sebelum menyebarkan pesan tentang death-positivity melalui buku nonfiksi, Caitlin Doughty sudah melakukan ini dalam berbagai video di kanal Youtube-nya; Ask A Mortician. Keluwesan & humor Doughty dalam video-video ini ikut terbawa ke dalam gaya penulisan di From Here to Eternity. Tidak peduli dalam bentuk video atau tulisan, Doughty selalu mengedukasi audiensnya tentang kematian/industri pemakaman secara terbuka tanpa kehilangan gaya humor penuh hormatnya. Doughty mampu mengemas beragam topik & pertanyaan sulit yang muncul tentang kematian menjadi narasi informatif yang tetap menarik & membuat tenang ketika kita coba resapi.

Dari delapan tempat yang Doughty tulis dalam buku ini, tiga tulisan tentang tiga tempat begitu memorable bagiku;
  • Indonesia: South Sulawesi
Tulisan Doughty tentang Tana Toraja benar-benar menunjukkan kelihaiannya dalam membuat tulisan kaya humor tanpa mengesamping rasa hormat. Peak humor yang aku bicarakan: ketika turis lokal dari Jakarta secara random mengajak Doughty untuk selfie. Mengutip langsung dari buku:

“Strange as this felt in the moment, I could see why the discovery of a six-foot-tall white girl in a pol-ka-dot dress in the corner of a cave filled with skulls would be an Instagrammable moment. They took several pictures with me in different poses before moving on.”

Aku mengapresiasi pendekatan Doughty yang tidak menghakimi dan terbuka dalam tulisannya.

  • Mexico: Michoacan
Ini boleh jadi merupakan tulisan paling heartbreaking dalam buku ini. Doughty menulis tentang Dia de Muertos & bagaimana hari libur ini sangat berarti untuk seorang teman yang tengah berduka. Aku suka bagaimana bagian ini menggarisbawahi pentingnya menghadapi kematian secara terbuka ketika sedang berduka agar kita bisa melanjutkan hidup di kemudian hari.

  • California: Joshua Tree
Aku mengenal tradisi sky burial dan Tower of Silence untuk pertama kalinya dalam tulisan penutup buku ini. Aku rasa aku tidak akan melupakan apa yang sudah aku baca ini dalam waktu dekat. Sedikit banyaknya aku bisa mengerti kenapa Doughty merasa tradisi sky burial akan memberi ketenangan untuknya secara pribadi setelah kematian. Diskusi tentang bagaimana tradisi ini mulai ditinggalkan karena berbagai faktor juga sungguh menarik untuk dibaca.

Hal Yang Tidak Terlalu Disukai

Secara keseluruhan aku tidak memiliki kritik untuk From Here to Eternity sebagai sebuah buku. Tapi, aku memiliki kritik untuk edisi audiobook buku ini.

Ketika mendengar audiobook & membaca edisi paperback secara bersamaan, aku mengamati ada beberapa bagian yang tidak dibacakan dalam edisi audiobook. Bagian yang tidak dibacakan biasanya adalah detail statistik (contoh: paragraf dua dari bawah di halaman 29 edisi paperback). Meskipun tidak banyak, aku harap edisi audiobook bisa diperbaharui sehingga bagian yang hilang bisa ditambahkan karena detail yang ditinggalkan sangat menarik untuk diketahui.

Aku juga lebih menyukai edisi paperback karena kita bisa mengapresiasi beragam ilustrasi ciamik yang melengkapi From Here to Eternity di sepanjang buku:

First things first, it’s a nice book to look at. The illustrations provided are great too! pic.twitter.com/H78ARf0dhg

— Farah (@farbooksventure) November 14, 2020

Minus lain untuk edisi audiobook adalah fakta bahwa author acknowledgement dan daftar pustaka tidak tersedia untuk dibaca. Aku harap provider audiobook juga menawarkan dua hal ini dalam produknya di masa depan.

Aku Akan Merekomendasikan Buku Ini Untuk…

Seseorang yang mencari bacaan non fiksi unik, bisa dibaca cepat/sekali duduk, dan disampaikan dalam bahasa Inggris mudah dimengerti. Kalau kamu adalah tipe orang dengan selera humor morbid, buku-buku & video Caitlin Doughty sepertinya dibuat untukmu.

Aku mengenal Ask A Mortician sendiri lewat video tentang Lake Superior ini:



Aku sudah menjadi subscriber setia Doughty sejak saat itu.

Rating

5/5 

Tontonan Lanjutan


Farah melacak bacaannya di The Storygraph.

Tentang Less Karya Andrew Sean Greer

“How does Less get the world so wrong? Over and over again? Where is the exit from moments like this? Where is the donkey door out?”

Informasi Buku

Judul: Less
Penulis: Andrew Sean Greer
Penerbit: Back Bay Books
ISBN: 9780316316132
Bulan/tahun publikasi: Mei 2018 (pertama kali dipublikasikan pada Juli 2017)
Jumlah halaman: 263 halaman
Cetakan: reprint edition
Buku: paperback milik pribadi (dibeli di Periplus Online Bookstore)
Bahasa: Inggris
Kategori umur: adult
Temukan buku ini di Goodreads

Blurb


Who says you can’t run away from your problems? You are a failed novelist about to turn fifty. A wedding invitation arrives in the mail: your boyfriend of the past nine years is engaged to someone else. You can’t say yes–it would be too awkward–and you can’t say no–it would look like defeat. On your desk are a series of invitations to half-baked literary events around the world.

QUESTION: How do you arrange to skip town?
ANSWER: You accept them all.

What would possibly go wrong? Arthur Less will almost fall in love in Paris, almost fall to his death in Berlin, barely escape to a Moroccan ski chalet from a Saharan sandstorm, accidentally book himself as the (only) writer-in-residence at a Christian Retreat Center in Southern India, and encounter, on a desert island in the Arabian Sea, the last person on Earth he wants to face. Somewhere in there: he will turn fifty. Through it all, there is his first love. And there is his last.

Because, despite all these mishaps, missteps, misunderstandings and mistakes, Less is, above all, a love story.



Menurut Farah Tentang Buku Ini

Semua dimulai dari sampul Less. Aku rasa aku sedang dalam mood untuk membeli buku secara “buta” waktu itu. Aku tidak mencari tahu apa-apa tentang buku ini. Tidak genre. Tidak sinopsis cerita. Apalagi ulasan buku. Aku bahkan belum tahu buku inilah yang diganjar penghargaan Pulitzer untuk Fiksi pada 2018. Aku hanya melihat sampulnya, jatuh hati, dan tanpa ragu langsung beli. Keputusan yang cukup berani mengingat bagaimana harga Less masih terbilang tinggi waktu itu (lucunya, saat menulis ini Less sedang diskon di toko buku langgananku 👀). Kalau kurang beruntung dan tidak suka dengan apa yang novel ini tawarkan tentu aku hanya bisa gigit jari.

Jujur saja aku sempat khawatir inilah yang akan terjadi ketika membaca seperempat awal novel ini. Less menuturkan kisah Arthur Less, seorang penulis pria paruh baya di tengah masa sulit dalam ranah personal/profesional yang melakukan perjalanan 80 hari ke berbagai tempat di dunia. Sekilas premis ini terdengar familiar dan biasa saja. Nothing new really. Ini adalah premis yang entah bagaimana aku asumsikan merupakan resep menuju critical acclaim; tulisan serius (yang di dalam-dalamkan padahal trivial) tentang seorang pria yang mencari jati diri/makna hidup lewat kunjungannya ke berbagai tempat baru/tidak biasa. Ketika mendengar istilah literary fiction, jenis tulisan yang aku bayangkan adalah tulisan introspektif & suram. Biasanya bukan bacaan menyenangkan yang mengundang senyum. Aku bersyukur karena Less tidak mengikuti jalur ini.

Setelah membaca beragam wawancara Andrew Sean Greer terkait novel Less di internet, tidak mengherankan mungkin kalau pada awalnya memang jalur inilah yang ingin ditempuh Greer;
 
ASG’s decided to make it comedy! (Adrienne Westenfeld – Esquire)

   







An important realization (Elizabeth Flock – PBS)

Saking meta-nya, Geer bahkan membuat penulis protagonis cerita kita, Arthur Less, menulis novel semacam ini untuk buku keduanya (yang gagal). Sebelum akhirnya disadarkan tokoh lain bahwa buku jenis ini terlampau pretentious dan tidak akan menyenangkan untuk dibaca. Ulasan dari The Guardian ini bahkan di buka dengan momen meta yang aku bicarakan di atas;

Saking meta-nya aku pun pusing sendiri (Patrick Gale – The Guardian)


Ketika menamatkan novel ini untuk pertama kali, aku kesulitan untuk menjelaskan alasan dibalik kecintaanku padanya. Fakta bahwa Less “menyimpang” dari jalur yang biasanya diambil penulis literary fiction pemenang perhargaan bisa jadi adalah salah satu alasannya. Kesadaran bahwa buku ini mengambil premis lama yang dibungkus dalam bentuk baru yang lebih menyenangkan datang setelah aku membaca novel fiksi romantis lain (yang protagonisnya juga adalah penulis di tengah kesulitan personal dan finansial).

You never told me what you write, Everett. I’m sure it’s something really groundbreaking and important. Totally new and fresh. Like a story about a disillusioned white guy, wandering the world, misunderstood and coldly horny.”

Kutipan tersebut diucapkan oleh January Andrews, salah satu protagonis dalam novel Beach Read karya Emily Henry yang baru rilis pertengahan Mei 2020. Ketika membaca ini, aku entah mengapa merasa ter-called out karena sangat familiar dengan genre bacaan semacam ini.  Beberapa minggu lalu, aku juga mengenal sepupu lebih sinister dari “genre” ini, terima kasih pada cuitan seseorang di Twitter;
Porny gay novel/memoir about an American who goes to a foreign country and screws around with a native then ditches him to go back to the US: a genre

— Anton Hur (@AntonHur) May 13, 2020

Novel yang langsung muncul di kepala karena cuitan ini adalah novel What Belongs to You-nya Garth Greenwell. Aku gagal paham dengan apa yang sebenarnya ingin novel ini kisahkan. There’s no point in this story I feel. Gaya penulisannya juga membuat sakit kepala alih-alih indah. Secara superfisial, novel ini berbagi kesamaan dengan Less; mengisahkan tentang perjalanan seorang pria kulit putih yang melarikan diri dari kenyataan dengan melakukan perjalanan ke negeri asing.


Less berhasil menurutku karena ditulis dengan self-aware. Alih-alih membuat Less menjadi the-next-deep-and-oh-so-serious-fiction, penulis memutuskan untuk bersenang-senang dan memasukan humor & kebahagiaan sebanyak yang dia bisa dalam cerita. Protagonis kita mengalami kesulitan bertubi-tubi sepanjang cerita, sampai akhirnya dia belajar dari kesalahan serta ketidaktahuannya untuk akhirnya mencicipi kebahagiaan di akhir. The author truly making fun of his protagonist in this one, it’s fun to read until the end. Dalam wawancaranya dengan Esquire, Geer membeberkan ini;

Pada akhirnya, yang membuatku begitu menikmati Less adalah kisah romantis & outlook positif yang kadang diikuti momen bittersweet dalam ceritanya. Aku tidak menyangka kisah romantis bisa begitu memuaskan & se-nyastra kisah yang satu ini. Arthur Less bukanlah seorang saint tanpa dosa (meskipun ada sesuatu yang “naif” tentang karakternya). Di masa lalu dia melakukan banyak tindakan questionable. Hanya saja, setelah melihat bagaimana Arthur sampai pada kesadaran diri baru di akhir perjalanannya, sebagai pembaca aku ikut bersorak untuknya. 
This is exactly me at the end of Less (Adrienne Westenfeld – Esquire)
Less boleh saja menjadi bacaan berhasil untukku. Namun ternyata beberapa pembaca di Goodreads malah merasakan sebaliknya.
Kalau kamu ingin membaca literary fiction pemenang Pulitzer, tapi tidak mood dengan bacaan serius & suram… Aku harap kamu memberi buku ini kesempatan.

Rating

4,5/5

Tulisan Lain Dalam Kiriman Ini/Bacaan Lanjutan

1. Urban Dictionary – Definisi Meta

Terhibur/terbantu dengan tulisan ini? Dukung Farah melalui Karyakarsa

Farah melacak bacaannya di situs buku alternatif  The Storygraph | @farbooksventure

Ingin tanya-tanya & tetap anonim? Kirim saja pertanyaanmu lewat Curious Cat

[16/05/20] Tentang Mythology: An Illustrated Journey Into Our Imagined World Karya Christopher Dell


“The desire to tell stories is a fundamental part of the human condition. When it’s coupled with an innate need to make sense of our surroundings and to understand the origins of things, the result is mythology.”

Informasi Buku

Judul: Mythology: An Illustrated Journey Into Our Imagined World
Penulis: Christopher Dell
Penerbit: Thames Hudson
ISBN: 9780500291511
Bulan/tahun publikasi: Januari 2016 (pertama kali dipublikasikan September 2012)
Jumlah halaman: 352 halaman
Buku: paperback milik sendiri (dibeli di Toko Buku Daring Periplus)
Bahasa: Inggris
Temukan buku ini di Goodreads

Blurb

 Every culture has its own myths, and this lively and accessible compendium gathers some of humankind’s most enduring stories in one place. Here, from every corner of the globe, are tales of the world’s creation, undying love, the Sun and the Moon, gods of the weather, tricksters, terrible monsters, the afterlife and the underworld, and more. Looking at the overarching themes of the world’s mythologies, Christopher Dell shows how many myths share common patterns and traces how the human imagination, in all its diversity, has expressed itself through the ages.

From the ancient Norse characters to Homer’s epics to Gilgamesh, from the Hindu deities to the Old Testament and King Arthur, this is the perfect introduction to mythology. Brought to life through hundreds of colorful, beautiful, and sometimes bizarre illustrations, this book will appeal to anyone interested in the tales we tell to make sense of the world around us.


Menurut Farah Tentang Buku Ini

Ketertarikanku terhadap mitologi berkembang secara perlahan selama beberapa tahun terakhir. Sebagai seorang newbie, aku menyadari bahwa alih-alih langsung terjun ke satu mitologi spesifik, aku lebih menikmati overview (selayang pandang) terhadap beragam mitologi yang ada di dunia. Untuk kemudian mengamati benang merah yang ada dalam mitologi-mitologi bersangkutan. Kesadaran ini datang setelah aku menyaksikan rangkaian video Crash CourseWorld Mythology’ di Youtube:
 
Tangkapan layar dari playlist ‘World Mythology’ di kanal Youtube Crash Course
Rangkaian video inilah yang akhirnya membuatku tergerak untuk mencari buku nonfiksi yang mengangkat mitologi sebagai pembahasan. Pencarian ini ternyata cukup sulit karena ada begitu banyak pilihan di luar sana. Sebagian besar buku juga cenderung fokus pada mitologi dari peradaban tertentu. Aku yang masih belum tahu ingin fokus pada mitologi apa ingin mencari buku yang bisa menawarkan “perkenalan” terhadap beragam mitologi di dunia agar bisa mengambil keputusan kemudian. Gayung bersambut ketika aku menemukan buku Mythology: An Illustrated Journey Into Our Imagined World di situs toko buku langganan.

Sampul biru & cantik buku inilah yang pertama kali menangkap mataku. Setelah menelusuri ulasan bukunya di Goodreads, aku makin yakin bahwa ini adalah pilihan tepat sebagai bacaan pembuka. Aku dibuat terkejut campur senang ketika menyadari bahwa buku ini tidak hanya menyirami otak tapi juga memanjakan mata. Keindahan memang tidak berakhir di sampul buku ini saja. Dilengkapi dengan kurang lebih 400 ilustrasi, perjalanan menelusuri benang merah mitologi antar peradaban menjadi lebih berwarna dan semarak dalam buku 352 halaman ini. Mythology: An Illustrated Journey Into Our Imagined World memadukan narasi singkat & informatif dengan beragam ilustrasi cantik untuk mengenalkan beragam topik yang bisa dijadikan bahan diskusi dalam mitologi kepada pembacanya.
Aku sempat membagikan beberapa gambar dari ilustrasi favorit yang aku temukan dalam buku ini di utas bacaku di Twitter;
Some more pictures that caught my eyes in this round of reading; pic.twitter.com/BAs6AWhOPn

— Farah (@farbooksventure) May 8, 2020

Dibagi menjadi 8 bab besar, pembaca akan disuguhi pembahasan tentang ranah supernatural dalam beragam mitos, senyawa/bahan simbolis, penciptaan bumi/manusia, makhluk yang hanya ada dalam mitos, serta para pahlawan serta kisah perjalanan epik mereka. Pada bagian penutup  juga dicantumkan overview dari beberapa peradaban yang mitologinya sudah disinggung dalam pembahasan di halaman awal. Indeks & daftar bacaan lanjutan juga tersedia bagi pembaca yang ingin mencari sumber bacaan spesifik.

Membaca Mythology: An Illustrated Journey Into Our Imagined World adalah pengalaman yang menyenangkan. Aku tidak pernah berhenti terkagum-kagum ketika membaca bagaimana kreatifnya manusia dari zaman ke zaman dalam membuat cerita untuk memahami fenomena di lingkungan sekitarnya. Kekaguman ini terasa begitu kuat ketika aku mengenal mitos yang dibuat penduduk Yunani kuno untuk menjelaskan fenomena pergantian musim; The Abduction of Persephone untuk kali pertama. Kekaguman ini semakin bertambah ketika buku ini menggarisbawahi bagaimana terlepas dari kondisi peradaban / sosio-demografik berbeda, berbagai peradaban tetap berbagi kesamaan dalam beragam cerita-cerita mitosnya.

Aku hanya memiliki keluhan minor. Dari segi fisik, buku ini terbilang besar dan berat. Jadi, buku ini memang bukan buku yang tepat untuk diboyong kemana-mana. Pembaca juga harus hati-hati ketika membuka buku ini karena binding bukunya rentan lepas. Dari segi isi, beberapa pengulas di Goodreads menyayangkan dangkalnya informasi yang ditawarkan buku ini. Aku bisa bersimpati dengan poin itu tentu saja. Akan tetapi, karena memang sudah memiliki ekspektasi bahwa buku ini adalah Mythology 101, keluhan ini tidak terlalu mengusikku. Kritik lain yang bisa aku amini adalah bagaimana western-centric-nya topik dalam buku ini. Aku harap aku bisa menemukan buku semacam ini yang lebih memusatkan pembahasan pada mitologi di daerah Asia atau Afrika.


Akhir kata, aku akan merekomendasikan buku ini untuk pendatang baru dalam dunia mitologi. Kalau kau mencari bacaan pengantar yang memberi uraian singkat tentang beragam mitologi yang ada di dunia & tidak keberatan mendapat bonus ilustrasi yang memanjakan mata, buku ini dapat menjadi pilihan bacaanmu.

Aku juga merekomendasikan membaca Mythology: An Illustrated Journey Into Our Imagined World sembari menyaksikan playlist Crash Course World Mythology. Berdasarkan pengalaman pribadiku, dua medium ini saling melengkapi satu sama lain & memperkaya pengalaman membaca kita.

Rating

5/5

Farah di tempat lain: Goodreads | Instagram | Twitter 

[31/07/19] Tentang Harry Potter & The Deathly Hallows Karya J.K. Rowling

“Of course it is happening inside your head, Harry, but why on earth should that mean that it is not real?”



Informasi Buku 
Judul: Harry Potter and the Deathly Hallows 
Penulis: J.K. Rowling 
Penerbit: Bloomsbury Publishing 
ISBN: 978140889476743
Tahun publikasi: 2018 (pertama kali dipublikasikan tahun 2007 dalam Bahasa Inggris) 
Jumlah halaman: 640 halaman 
Buku: milik pribadi 
Bahasa: Inggris
Kategori umur: young adult 
Temukan buku ini di Goodreads


Blurb


Harry Potter is leaving
Privet Drive for the last time. But as he climbs into the sidecar of
Hagrid’s motorbike and they take to the skies, he knows Lord Voldemort
and the Death Eaters will not be far behind.

The protective charm
that has kept him safe until now is broken. But the Dark Lord is
breathing fear into everything he loves. And he knows he can’t keep
hiding.

To stop Voldemort, Harry knows he must find the remaining Horcruxes and destroy them.

He will have to face his enemy in one final battle. – Goodreads.





Menurut Farah Tentang Buku Ini


Tulisan ke-5 dan terakhir dalam rangkaian Harry Potter 5-Days Review Marathon.
Kenyataan bahwa The
Deathly Hallows
merupakan buku terakhir dalam seri Harry Potter entah kenapa terasa surreal saat aku menulis ini. Entah karena aku menghabiskan lima
hari terakhir meraba hati & menguras otak untuk menulis ulasan-ulasan ini. Entah
karena aku memang baru saja menamatkan novel ke-7 dari canon Harry Potter dan merasa hilang di momen
sesudahnya. Who knows? Lucunya, perasaan surreal ini
tidak langsung muncul ketika baru menamatkan buku tersangkutan. Perasaan ini baru
benar-benar mengendap ketika aku duduk dan menulis ini.



Mungkin ini adalah alasan kenapa aku segan menulis
ulasan beberapa buku. Mungkin aku sekedar belum siap berhadapan dengan emosi
yang dipicu buku itu (atau dalam banyak kasus, murni karena rasa malas).
Kalau diingat lagi, rasa segan & ingin menghindar memang bukan hal asing
dalam perjalananku membaca seri Harry
Potter
. Aku mengulur-ngulur waktu ketika memulai The Goblet of Fire karena tidak yakin dengan cerita macam apa yang
akan aku temui. Aku kembali melakukan ini di tengah-tengah buku The Order of the Phoenix (menghindari buku ke-5 ini disponsori oleh rasa frustasi alih-alih rasa tidak pasti ala
buku ke-4).



Membaca The
Deathly Hallows
memunculkan perasaan yang sama. Mungkin karena buku ini
adalah buku tentang perang. It’s hard
reading about war (most of the time at least)
. Lucunya, aku sebenarnya sudah familiar tentang bagaimana kisah ini akan bergulir dan bagaimana dia akan berakhir. There’s no surprise left for me. Jadi,
kenapa aku masih dilanda keinginan untuk menghindar dari fakta yang tidak bisa
dihindari ini? Pada akhirnya, motivasiku untuk menyelesaikan The Deathly Hallows datang dari ulang
tahun ke-39 Harry dan Harry Potter 5-Days Review Marathon! yang jatuh
& berakhir pada 31 Juli. Motivasi yang tidak biasa mengingat aku melakukan semua
ini atas nama reading for pleasure. Well..



Seperti yang sudah terlihat dari tulisanku pada 3
paragraf di atas, ada banyak hal yang menggelitikku pasca The Deathly Hallows dan aku ragu harus mulai dari mana. Mengikuti
jejak dalam ulasan untuk The Half-Blood Prince aku akan menumpahkan pikiran-pikiran random ini dalam
beberapa poin;



·      
The Weird
Humor Is Still There


Sepertinya ignorance
membuatku baru menyadari keberadaan humor tidak biasa ala Rowling di buku
ke-6 (atau mungkin selera humorku saja yang aneh?). Humor semacam ini
bisa jadi sudah tersebar mulai dari buku pertama tapi luput dari perhatianku. Terlepas
dari muatan cerita serius, ada terselip beberapa kalimat atau momen ringan
mengundang senyum. Pada bab pertama yang lumayan mengerikan, aku tersenyum
kecil ketika Snape & Yaxle bersinggungan dengan burung merak albino penghuni Malfoy Manor.


There
was a rustle somewhere to their right: Yaxley drew his wand again, pointing it
at his companion’s head, but the source of the noise proved to be nothing more
than a pure white peacock, strutting
majestically
along the top of the hedge.‘
He always did himself well,
Lucius. Peacocks…’ Yaxle thrust his wand back under his cloak with a snort.”  


(*) Honestly? I’m
snorting along with Yaxle on this one
. My
weird sense humor just find the whole keeping white peacocks on your yard
business as absurd (if not funny
).



Satu momen ringan lain (yang aku
ingat dan tandai) adalah momen ketika Lupin membawa kabar kelahiran Teddy dan
menobatkan Harry sebagai godfather;


“He
[Harry] seemed set on course to become just as reckless a godfather to Teddy
Lupin as Sirius Black had been to him.”*

(*) Harry just finish planning for
the Gringotts raid this time around
.
·      
Things I Just Realize; Hallows vs. Horcrux Dilemma
Aku tidak bisa mengingat Harry melalui dilema ini
dalam camping-trip tanpa tujuannya di
film. Dilema ini lumayan membekas di ingatanku meskipun masih ada beberapa
bagian yang belum aku mengerti sepenuhnya. The
I-am-not-so-sure-Harry-moments
muncul kembali. Di satu poin, Harry memang
mengembangkan obsesi tidak sehat untuk menemukan Hallows (karena minimnya
kemajuan mereka dalam menghancurkan horcrux). Aku seolah bernostalgia ke buku 6
ketika Harry mencurigai (+ terobsesi) pada Malfoy & firasat Harry terbukti
benar. Aku tidak bisa menyalahkan sikap skeptis Hermione karena ketika
terobsesi, Harry memang sering kali lupa daratan karena terlampau fokus pada
tujuan yang ingin dia capai.
·      
Change of Hearts; Kreacher’s Tale
Di akhir cerita, aku sudah memperkirakan akan ada perubahan
dalam hal bagaimana aku memandang suatu karakter. Kenyataannya, aku tetap tidak
bisa memutuskan perasaan dan pendapatku terkait Snape & Dumbledore. They are a hopeless case for me. Satu-satunya
perubahan sudut pandang signifikan terjadi pada karakter
non-penyihir dalam buku ini; Kreacher, si House Elves.
Aku masih tidak bisa melupakan hal
yang Kreacher perbuat dalam The Order of
the Phoenix
. Di saat yang bersamaan, ada gema kebenaran dalam kata-kata Dumbledore
ini;

“`Sirius
did not hate Kreacher,’ said Dumbledore. ‘He regarded him as a servant unworthy
of much interest or notice. Indifference and neglect often do much more damage
than outright dislike… the fountain we destroyed tonight told a lie. We wizards
have mistreated and abuse our fellows for too long, and we are now reaping our
reward.’





Meskipun agak tertohok di bagian ini,
sikap Kreacher yang masih kurang menyenangkan di buku-6 membuat rasa kurang
sukaku semakin persisten. Dalam The
Deathly Hallows
, bab Kreacher’s Tale mengubah
total caraku memandang house elves yang
satu ini  setelah mendengar perjalanan macam apa
yang dia lalui bersama Regulus Black. I
can’t believe I have to hear a horrible story first before I realize how
Kreacher deserve some respects.
Lesson
learned.



·      
Recurring Things From The Past; Harry &
Hermione Duo
Sepertinya yang sudah aku perkirakan
dalam ulasanku untuk The Order of The Phoenix, duo Harry&Hermione kembali muncul
dalam buku ke-7. Hal yang sangat berbeda kali ini adalah bagaimana mood suram mewarnai perjalanan mereka berdua.
Not the finest moments of this duo of
course.
Dalam novel, duo ini sangat bermuram-durja bahkan cenderung
sengsara pasca ditinggal Ron. Dalam versi film adaptasi sendiri, bagian ini
disulap menjadi momen bittersweet dalam
pertemanan Harry&Hermione. Perubahan ini akhirnya menghasilkan salah satu
scene favorit sepanjang masaku dari Harry
Potter
.
·      
On the Film Version; Memorable Moments For Me
Sejujurnya banyak hal tentang 2 film yang diangkat
dari novel The Deathly Hallows terasa
kabur di ingatanku sekarang. Aku tidak bisa mengingat detail tentang kedua film
ini. Berbeda dari dua film pendahulunya yang (di mataku) masih kaya akan warna,
film adaptasi The Deathly Hallows is as
bleask as a war movie
. It just a
never ending gray color
.
Di sisi lain, ada 3 momen dalam 2 film
ini yang tidak lenyap dari ingatanku;
[1] The Tale of 3 Brothers moment; Aku sangat mengagumi versi
animasi cerita ini.
[2] Harry&Hermiones di Godric Hollows; the whole scene just feels magical and
bittersweet,

[3] Harry&Hermione berdansa di dalam tenda; bagian ini memang tidak ada dalam
novel. Still, it’s truly a good addition
in my opinion
. Ketika scene ini
muncul dalam film, emosi yang dipicu dari oleh lagu yang mengiringi dance mereka lagi-lagi memicu perasaan bittersweet. Ketika tarian mereka berakhir;  penonton tahu bahwa ini tidak mengubah
apa-apa & kondisi mereka masih jauh dari kata baik. Hanya rasa bitter yang tertinggal. Fakta menohok
inilah yang membuat scene ini sulit
lenyap dari ingatanku.
Happy 31 July & Happy birthday Happy Potter!

Happy birthday Harry Potter! From learning yer a wizard to finding true friends, and realising that your parents will be with you #always – here are just some of our favourite Harry moments. 🎉🎂🎁#HappyBirthdayHarryPotter pic.twitter.com/IVe8sjn5RP

— Bloomsbury UK (@BloomsburyBooks) July 31, 2019

Rating
4,5/5
 

Ternyata Pottermore
juga memiliki beberapa momen favorit yang sama denganku dalam berbagai seri Harry
Potter.
Lihat selengkapnya dalam kiriman Pottermore untuk
memperingati ulang tahun ke-39 Harry
.


— Pottermore (@pottermore) July 31, 2019

Daftar
lengkap dari ulasan untuk seri novel Harry Potter dalam Far’s Books Space dapat
dilihat dalam kiriman ini.

[31/07/19] Tentang Harry Potter & The Half-Blood Prince Karya J.K. Rowling

But for heaven’s sake – you’re wizards! You can do magic! Surely you can sort out – well – anything!”

Informasi Buku 
Judul: Harry Potter and the Half-Blood Prince
Penulis: J.K. Rowling 
Penerbit: Bloomsbury Publishing 
ISBN: 9781408894767 
Tahun publikasi: 2018 (pertama kali dipublikasikan tahun 2005 dalam Bahasa Inggris) 

Jumlah halaman: 560 halaman 
Buku: milik pribadi 
Bahasa: Inggris
Kategori umur: young adult
Temukan buku ini di Goodreads


Blurb

When Harry Potter and
the Half-Blood Prince opens, the war against Voldemort has begun. The
Wizarding world has split down the middle, and as the casualties mount,
the effects even spill over onto the Muggles. Dumbledore is away from
Hogwarts for long periods, and the Order of the Phoenix has suffered
grievous losses. And yet, as in all wars, life goes on.

Harry,
Ron, and Hermione, having passed their O.W.L. level exams, start on
their specialist N.E.W.T. courses. Sixth-year students learn to
Apparate, losing a few eyebrows in the process. Teenagers flirt and
fight and fall in love. Harry becomes captain of the Gryffindor
Quidditch team, while Draco Malfoy pursues his own dark ends. And
classes are as fascinating and confounding as ever, as Harry receives
some extraordinary help in Potions from the mysterious Half-Blood
Prince.

Most importantly, Dumbledore and Harry work together to
uncover the full and complex story of a boy once named Tom Riddle—the
boy who became Lord Voldemort. Like Harry, he was the son of one
Muggle-born and one Wizarding parent, raised unloved, and a speaker of
Parseltongue. But the similarities end there, as the teenaged Riddle
became deeply interested in the Dark objects known as Horcruxes: objects
in which a wizard can hide part of his soul, if he dares splinter that
soul through murder.

Harry must use all the tools at his disposal
to draw a final secret out of one of Riddle’s teachers, the sly Potions
professor Horace Slughorn. Finally Harry and Dumbledore hold the key to
the Dark Lord’s weaknesses… until a shocking reversal exposes
Dumbledore’s own vulnerabilities, and casts Harry’s—and
Hogwarts’s—future in shadow. – Goodreads.

Menurut Farah Tentang Buku Ini

Selamat membaca tulisan ke-4 dalam rangkaian
Harry Potter 5-Days Review Marathon!
Sorry
for the delay but life happens I guess.
Spoilers
will be present on this post. So proceed with caution!
Mengikuti jejak The
Prisoner of Azkaban yang aku tamatkan
dalam sekali duduk, The Half-Blood Prince
menjadi sequel lain dalam seri Harry Potter yang aku lahap dalam durasi terbilang
singkat (hanya 1,5 hari). Meskipun tidak setebal The Order of The Phoenix, buku ke-6 ini tetap sarat akan plot poin penting serta twist mengejutkan nan memorable. Tidak hanya itu saja, The Half-Blood Prince juga diwarnai oleh
“humor” yang terselip di tengah-tengah narasi cerita serius dengan
tema seperti; kilas balik ke masa
lalu Voldemort, percobaan pembunuhan yang untungnya gagal, dan latar
belakang di balik kematian orang tua Harry. Kombinasi humor tidak biasa, drama
remaja, dan kemajuan cerita yang serius/suram tanpa sepenuhnya membuat lelah
membuat novel ini menjadi novel favorit keduaku setelah The Prisoner of Azkaban.
Ada banyak aspek yang menggelitik-ku setelah membaca The Half-Blood Prince. Sering kali
aspek-aspek ini tidak senantiasa berhubungan antar satu dengan lain. So, I’ll write my thoughts on bullet point
format for the sake of clarity
.
·      
The Weird
Humor of The Half-Blood Prince
Setelah diteror dengan bab pembuka nightmarish dalam The Goblet
of Fire
(feat. Pembunuhan muggle tidak berdosa oleh Voldemort) dan
The Order of The Phoenix (feat. Serangan dementor yang (lagi-lagi) melibatkan muggle), The Half-Blood
Prince
dibuka dengan bab ringan dan terbilang lucu. Dituturkan dari sudut
pandang perdana menteri muggle, bab
satu memang jauh dari kata bahagia karena membahas bagaimana kebangkitan Dark Lord memiliki andil besar peristiwa-peristiwa
buruk yang marak di komunitas muggle belakangan.
Pembaca bisa sedikit lega dan tersenyum kecil karena muggle yang satu ini masih kesulitan menerima bahwa sihir itu nyata.

But for heaven’s
sake – you’re
wizards! You can do magic! Surely you can sort out – well – anything!” – says a very dazed & confused muggle
prime minister.

Momen-momen komedi lain dalam The Half-Blood Prince secara langsung (mau pun tidak langsung)
juga disponsori oleh Potion Master teranyar
Hogwarts; Horace Slughorn. Mulai dari misi perekrutan Slughorn di awal novel (“He pushed past Harry, his face turned
resolutely with the air of a man trying to resist temptation”
), rangkaian
acara makan-makan canggung Slug Club
(feat. Smug Zabini
), Pesta Slughorn (feat.
Duo Harry & Luna), sampai bab legendaris ketika Harry akhirnya membujuk
Slughorn menggunakan Felix Felicis (that
chapter is comedic gold but turn
kinda bittersweet in the end
). Ironisnya, bab ikonik ini juga adalah bab
yang membahas kematian Aragog, acromantula
teman baik Hagrid. Entah kenapa kematian (atau hal-hal buruk lain) & humor kadang terasa tepat ketika berdampingan.
Di paruh awal The
Half-Blood Prince
, bab-bab serius memang diselingi oleh bab yang lebih
ringan dan kadang mengundang senyum. Hal ini tentu tidak berlaku lagi dalam
bab-bab akhir yang terasa seperti kombinasi klimaks sekaligus penutup cerita dengan
kesan tidak pasti dan suram.
·      
The
Ambigous Character(s)
Snape & Dumbledore adalah dua
karakter yang sudah masuk dalam daftar karakter ambigu secara moral versiku sejak
beberapa buku lalu. Snape sebenarnya bisa aku tolerir kalau dia tidak merisak
murid tanpa alasan. Perdebatannya dengan Bellatrix bahkan adalah salah satu highlight dalam The Half-Blood Prince menurutku. Iya, aku sadar akan masa lalu
macam apa yang Snape lalui. Apa ini
cara Snape menangani duka dan luka masa lalu? Bisa jadi, aku tidak ingin
menghakimi. Harus diingat juga bahwa Snape memiliki pilihan untuk bersikap
lebih baik pada anak-anak tidak
berdosa yang dia ajar. Sangat disayangkan saja ketika dia tidak memilih “bersembunyi”
di balik topeng antagonis ini.
Setelah The Half-Blood Prince, Narcissa Malfoy & Draco Malfoy mendadak
menduduki peringkat teratas dalam daftar karakter ambigu secara moral versiku.
Narcissa muncul dalam bab 2 (Spinner’s
End
) dan sangat memancarkan
persona seorang ibu tidak berdaya dan sangat khawatir akan takdir yang menimpa
anaknya. Aku agak kaget ketika beberapa bab kemudian sikapnya langsung berubah
total. Ketika bertemu dengan The Golden
Trio
di toko Madam Malkin, Narcissa menunjukkan wajahnya sebagai seorang
wanita pureblood yang elitist & snobbish (aka gaya tipikal
Keluarga Malfoy).
Untuk kasus Draco sendiri, sedikit
demi sedikit akan terlihat bagaimana
tekanan tinggi mulai menggerus keyakinan & kepercayaan diri Draco akan
harapan untuk era lebih baik di bawah kekuasaan Voldemort. Aku tidak habis
pikir dengan percobaan permbunuhan ceroboh yang dia coba lakukan. Namun,
sepertinya tidak adil untuk melabeli Draco sebagai seseorang yang pure evil. Draco masih punya penyesalan
dan rasa takut, dua hal yang absen dari villain
utama seri ini. Aku tidak menjustifikasi keputusan tidak bijak yang Draco
ambil tentu saja. Aku merasa prihatin saja karena seorang anak tumbuh di bawah
didikan keluarga yang “merusak” seperti ini. Aku mendapat kesan bahwa Draco begitu
haus akan penerimaan. Sayang sekali dia akhirnya mencari penerimaan ini
di jalan yang salah.
Di satu titik aku juga merasa bahwa
Horace Slughorn adalah karakter yang ambigu (at this point every slytherin is basically morally ambiguous, am I
stereotyping?
)
Apa ini karena sikap alami Syltherin-nya yang self-serving? Slughorn sendiri (mostly) tidak memiliki motif jahat di balik
sikapnya yang tanggap mencari untung untuk diri sendiri. Still, I don’t think I’ll
comfortable having friend like him
.
·      
The
Disturbing Flashbacks of Voldemort’s Past
Bagian ini sangat membekas dalam
ingatanku karena detail kisahnya yang begitu disturbing. Aku bergidik sendiri mengingat bab tentang Keluarga
Gaunt. Ada indikasi kalau sikap “alami” Voldemort yang tidak manusiawi (lagi)
berasal dari cela dalam genetika turun-temurun Keluarga Gaunt. I don’t know about genetics honestly. This feels
like a never ending nature vs. nurture debate all over again
. Namun, tidak
bisa dipungkiri bahwa Tom Riddle lahir dari orang tua yang mengalami trauma
berat karena kekerasan di masa kanak-kanak & tumbuh di keluarga
disfungsional. It’s horrible. Bagian
ini juga menunjukkan padaku bagaimana mentalitas superior bukanlah satu hal
yang patut untuk dipelihara.
·      
The
Teenage Angst (and Teen Friendships in general)
The
Half-Blood Prince
adalah puncak dari teenage
angst
dalam seri Harry Potter. Romance
is everywhere on this book (The jealously and will-they-won’t-they moments
become-tiring at times)
. Aku tidak punya pendapat khusus tentang
hal-hal romantis. It’s simply fine. Salah
satu hal yang aku kagumi dari seri Harry Potter adalah plot tentang pertemanan antar
karakter dalam berbagai novelnya. Sebagaimana aku memuji Luna Lovegood dalam
ulasanku untuk The Order of The Phoenix, aku akan melakukan ini lagi dalam ulasan The Half-Blood Prince karena dinamika
pertemanan Harry dan Luna yang menghangatkan hati. Bless Harry for taking
her to Slughorn’s party
. Lagi-lagi, Luna menjadi cahaya kecil di tengah
kegelapan yang menyelimuti The Half-Blood
Prince
.
The Enevitable Novel vs. Film Part
Di titik ini aku sadar bagaimana aku tidak terlalu
ambil pusing dengan aspek cerita/narasi dalam film-film Harry Potter. Beberapa
film memang lebih memuaskan daripada film lain. Akan tetapi, fokus utamaku
ketika menyaksikan film-film ini adalah pada visual yang ditawarkannya.
Sepertinya ini adalah efek dari tidak membaca novel dulu sebelum menyaksikan
film. Novel memang jauh lebih kaya untuk bahan imajinasi di kepala. Tetap saja, film-film
yang menjadi paparan pertamaku terhadap dunia Harry Potter ini tidak
menimbulkan kekecewaan berlebihan dalam hati.
The Prisoner of
Azkaban, The Half-Blood Prince
, dan The
Order of Phoenix
adalah holy trinity
film Harry Potter favoritku karena
visual yang mereka tawarkan. Warna biru dan tone tenang/cool mendominasi The Order of
Phoenix
. Kantor Prof. Umbridge bahkan di dominasi dengan warna pink
memuakkan (sama dengan penghuni kantornya). Ketika The Half-Blood Prince beralih didominasi warna gelap
(ungu/abu-abu) – it just fits. Setiap
kali scene yang melibatkan Draco
muncul, tone film otomatis
menjadi abu-abu dan kabur. Oscar sepertinya juga setuju karena The Half-Blood Prince mendapat nominasi dalam kategori Cinematography.
Aku juga mengamati perubahan yang dibuat untuk sub-plot
Draco. Alih-alih melihat penurunan kondisi yang drastis ala novel-Draco, Draco
dalam film sudah digambarkan kehilangan kepercayaan diri dan semangat dari
awal. Mengingat bagaimana film cenderung memangkas banyak hal, aku rasa
perubahan ini adalah keputusan cukup bijak. The
point is still there
.
Petualangan Felix Felicis Harry juga adalah bagian favoritku
dalam film. Ada 2 momen yang begitu jleb di
hati pada bagian ini;
1.    
Jleb karena lucu ketika Harry menjadi sangat goofy setelah meminum ramuan
keberuntungan & berpapasan dengan Slughorn di Green House.
2.    
Jleb karena sedih/miris ketika Slughorn berbagi cerita
tentang hadiah dari Lily (bagian ini tidak ada di novel but the acting is so good
& hit you right on the feels)
Satu hal yang (benar-benar)
tidak aku sukai adalah scene opening film
ini. I mean seriously? Of all the things
to choose you make Dumbledore cockblocking Harry?? That gorgeous waitress (and
Harry) deserve better than that.

Rating

4,5/5
Daftar lengkap dari ulasan untuk seri novel Harry Potter dalam Far’s Books Space dapat dilihat dalam kiriman ini.