Temukan buku ini di Goodreads
Blurb
When four classmates from a small Massachusetts college move to New York to make their way, they’re broke, adrift, and buoyed only by their friendship and ambition. There is kind, handsome Willem, an aspiring actor; JB, a quick-witted, sometimes cruel Brooklyn-born painter seeking entry to the art world; Malcolm, a frustrated architect at a prominent firm; and withdrawn, brilliant, enigmatic Jude, who serves as their center of gravity. Over the decades, their relationships deepen and darken, tinged by addiction, success, and pride. Yet their greatest challenge, each comes to realize, is Jude himself, by midlife a terrifyingly talented litigator yet an increasingly broken man, his mind and body scarred by an unspeakable childhood, and haunted by what he fears is a degree of trauma that he’ll not only be unable to overcome—but that will define his life forever.
Menurut Farah Tentang Buku Ini
Dari lebih kurang 40-an buku yang aku baca tahun ini, beberapa buku memang lebih sulit untuk dibaca ketimbang beberapa buku lain. Seperti yang sudah aku ungkapkan dalam ulasan novelnya, 1984 karya George Orwell termasuk dalam bacaan yang sulit untukku karena muatan politik yang cukup kental dan bahasa dalam novelnya yang lumayan berat. Di sisi lain, A Little Life karya Hanya Yanagihara merupakan salah satu bacaan tersulit bagiku tahun ini karena tema yang diusungnya. Buku ini sama sekali bukanlah bacaan yang menyenangkan. Ada banyak momen-momen sulit dan terasa begitu pribadi yang dijelaskan dengan gamblang dalam novel 816 halaman ini. Tidak salah memang kalau ada yang berseloroh bahwa buku ini adalah buku yang menantang.
Alih-alih memperhalus cara pengungkapan terkait tema yang lumayan sensitif dan triggering dalam A Little Life (yang beberapa di antaranya adalah self-harm dan sexual abuse), Hanya Yanagihara sama sekali tidak menahan diri dan mengungkapkan detail terkait tema ini dengan sangat jelas dan straighforward. Tidak cukup sampai di sana saja, bahkan sampai di halaman terakhir buku ini sayangnya “penawar” untuk kesedihan berkepanjangan dalam novelnya tidak akan pembaca temukan. Rasanya tidak berlebihan kalau aku mengatakan bahwa buku ini lumayan brutal. Bahkan editor dari novel ini (seperti yang di klaim oleh Sang penulis Hanya Yanagihara) menganggap bahwa beberapa bagian dalam A Little Life memang berpotensi untuk membuat kesal para pembaca.
Pada awalnya kisah dalam A Little Life tampak seperti sebuah bildungsroman. Pembaca akan disuguhi dengan kisah persahabatan antara 4 orang lelaki; Malcolm, JB, Willem, dan Jude. Keempat orang ini bertemu dan mulai berteman di bangku pendidikan tinggi. Dalam A Little Life kita akan melihat bagaimana naik-turun dan lika-liku persahabatan antara 4 orang ini sejak mereka berusia 20-an hingga mereka menginjak usia 50-an. Seiring dengan berjalannya cerita barulah kita akan menyadari bahwa novel ini sebenarnya fokus pada karakter seorang Jude. Jude sendiri adalah sosok yang bisa dibilang tertutup bahkan pada ketiga teman terdekatnya. Sikap Jude ini bukan tanpa alasan. 15 tahun awal dalam kehidupan Jude yang seorang yatim piatu merupakan masa-masa yang berusaha ia tutupi dari siapa saja. Kenangan buruk dari masa inilah yang menghantui Jude di sepanjang hidupnya. Perlahan kita akan mulai mengetahui kenyataan di balik masa lalu seorang Jude dalam rangkaian flashback cerita and it’s totally ugly and everything’s basically going downhill from there.. Aku pikir ini adalah kali pertama aku menemukan karakter protagonis yang broken beyond repair seperti karakter Jude ini.
Dalam wawancaranya dengan SBS Life, Hanya Yanagihara angkat bicara terkait keputusannya dalam menuliskan detail gamblang dalam beberapa topik yang cukup sensitif bagi sebagian orang dalam novel ini:
On the topic of trigger warnings (the literary equivalent of a red flag, signalling confronting content ahead), Yanagihara is sceptical, even in circumstances where a book risks opening old wounds for a particularly sensitive reader.“I think if we go into the world of art with warnings, we stop looking at visual art, we stop listening to songs, we stop going to the movies, we stop reading fiction, and in the end, you end up cocooning yourself because you’re afraid of getting hurt. I understand that – I understand not wanting to put yourself in situations that are going to call back old traumas, but the fact is you’ll never know how you’re going to react until you start reacting. I think trying to live life in a preventive way does no one any favours.”
Sedikit penawar duka dalam A Little Life sepertinya dapat kita peroleh dari kenyataan bahwa terlepas dari kenangan buruk dalam 15 tahun awal hidupnya, pada tahun-tahun setelah itu Jude sebenarnya dikelilingi oleh orang-orang yang mencintai dan menyayanginya dengan tulus tanpa syarat. Seperti yang diungkapkan dalam blurb fisik novel ini, A Little Life adalah sebuah novel indah tentang keluarga dimana kita dilahirkan dan keluarga yang kita buat untuk diri kita sendiri. I particulary love the relationships between Willem & Jude. Lewat novel ini kita seolah dapat melihat pertemanan antara para pria dari kacamata seorang Hanya Yanagihara (yang memang mengakui bahwa dia tertarik dengan topik ini).
Graduating from an all female college into a female-dominated industry (she was formerly the deputy editor of T: The New York Time Style magazine as well as editor of Conde Naste Traveller), Yanagihara confesses to an anthropological interest in observing men.“I was interested in what they didn’t allow themselves to talk about and the rituals they had with one another,” she says. “I found the topics they are allowed to discuss without threatening their sense of what maleness is had a much smaller range than what women can.” – SBS Life
Masih banyak mungkin yang bertanya-tanya tentang alasan dibalik penulisan novel ini. Masih dalam wawancaranya dengan SBS Life, Hanya Yanagihara menjawab pertanyaan ini:
“I want them [the reader] to think about this idea of happiness and whether it is achievable and how intolerant we are about people who can’t seem to find it. I want them to think about how much of life is in our control and whether we can help repair people. I want them to think about if there’s a point in which a life becomes unliveable.”
Well, kalau kau tidak terlalu menyukai buku berat dan (cenderung) depressing sepertinya buku ini kurang cocok untukmu.
Akan tetapi, kalau kau mencari buku yang lumayan menantang dan tidak keberatan dengan 816 pages of angst tidak ada salahnya mencoba membaca buku ini.
Rating
3,5/5