Tentang Honey Girl Karya Morgan Rogers

Review sebuah novel kontemporer berkesan yang aku baca di bulan Maret 2021!

Informasi Buku

Judul: Honey Girl

Penulis: Morgan Rogers (intip situs resmi penulis di sini)

Format Buku: Audio

Narator: York Whitaker

Durasi: 10 jam, 11 menit

Bahasa: Inggris

Penerbit: Harlequin Audio 

ISBN: 9781488210754

Artis Sampul: Poppy Madga

Design Sampul: Gigi Lau 

Tahun publikasi: 2021

Baca juga review lain di The StoryGraph

Blurb Buku

A refreshingly timely and relatable debut novel about a young woman whose life plans fall apart when she meets her wife.


With her newly completed PhD in astronomy in hand, twenty-eight-year-old Grace Porter goes on a girls’ trip to Vegas to celebrate. She’s a straight A, work-through-the-summer certified high achiever. She is not the kind of person who goes to Vegas and gets drunkenly married to a woman whose name she doesn’t know…until she does exactly that. This one moment of departure from her stern ex-military father’s plans for her life has Grace wondering why she doesn’t feel more fulfilled from completing her degree. Staggering under the weight of her parent’s expectations, a struggling job market and feelings of burnout, Grace flees her home in Portland for a summer in New York with the wife she barely knows. In New York, she’s able to ignore all the constant questions about her future plans and falls hard for her creative and beautiful wife, Yuki Yamamoto. But when reality comes crashing in, Grace must face what she’s been running from all along—the fears that make us human, the family scars that need to heal and the longing for connection, especially when navigating the messiness of adulthood.

Pilihan Akses Buku

Aku mendengar edisi audiobook Honey Girl melalui Scribd.

Edisi paperback bisa ditemukan di Periplus.

Edisi e-book juga tersedia di Google Play Book.

Penasaran ingin mencoba Scribd? Kamu bisa menggunakan link referal ini untuk coba-coba.

Menurut Farah Tentang Buku Ini

Membaca blurb Honey Girl akan memberi kesan bahwa novel kontemporer ini adalah kisah romantis. Asumsi yang tidak sepenuhnya salah tentu saja. Romansa antara Grace Porter & Yuki Yamamoto memang merupakan salah satu komponen dalam novel. Akan tetapi, cerita romance mereka bukanlah fokus utama. Honey Girl, pada intinya, adalah kisah coming-of-age seorang perempuan black & queer di penghujung usia 20-an. Buku ini juga bercerita tentang ketidakpastian yang datang setelah kamu menyelesaikan pendidikan akademik yang hampir dekade durasinya.


Menasbihkan genre spesifik untuk Honey Girl memang sulit. Fakta ini juga diamini oleh review buku Honey Girl dari The Seattle Times & wawancara Bitch Media dengan Morgan Rogers sendiri:

When I pitched the book to my agent and we were talking about submitting it to editors, I said it’s not a romance novel. It doesn’t really fit the beats and tropes in the romance genre. It’s first and foremost a coming-of-age [novel], even though those usually skew much younger in age. I’m younger than Grace. I’m 28, but it feels like a time where you can have this rebirth, grow, learn, and figure out who you want to be and where you want to go from here.”


Fleksibilitas dalam hal genre membuat Honey Girl bisa menyinggung banyak topik yang relevan buatku sebagai pembaca. Topik seperti burn out, feeling lost in life, suka-duka pertemanan (friendship), kesehatan mental, sampai hubungan kompleks dengan orang tua membangun cerita coming-of-age seorang Grace Porter. Melihat panjangnya bagian pembuka review Honey Girl ini, jangan heran kalau bagian selanjutnya akan lebih panjang lagi.


Semoga kamu menikmati tulisan panjang tentang (banyak) hal yang aku sukai dari novel Honey Girl:


Hal Yang Disukai

Hal pertama yang membuatku tertarik pada novel Honey Girl (selain sampul cantik) adalah trope “Marriage In Vegas” yang langsung muncul di blurb buku. Sudah bukan rahasia lagi bahwa aku adalah pembaca rutin fanfiction (FF). Trope satu ini adalah staple dari puluhan (bahkan ratusan) FF yang sudah aku baca selama hampir satu dekade terakhir. Meskipun awalnya hanya berspekulasi, Morgan Rogers sudah mengkonfirmasi dalam beberapa wawancara bahwa dia memang terinspirasi dari FF:

“I got my start in writing [through] reading fanfiction, so I’m very familiar with the [genre’s] tropes. I have my favorite tropes that I like to read and look for. So I kept throwing out all these ideas of things I wanted to write and I had all these works in progress. And I was like, why don’t I just write what I want to read? I love the married-in-Vegas trope. I love the idea of two people who don’t know each other having to make things work and figure out how they fit or if they fit.” – dalam wawancara dengan Evette Dione dari Bitch Media.


>>>


Kalau bicara topik, aku sangat menikmati eksplorasi hubungan orang tua/anak dan queer friendship dalam cerita. Dua hubungan ini bisa dibilang merupakan fokus utama dalam perjalanan Grace Porter sebagai karakter (bahkan lebih dari hubungan romantis Grace dengan Yuki).


Aku suka bagaimana Grace belajar melihat orang tuanya dari sudut pandang berbeda. Bahwa di akhir hari orang tua adalah manusia tidak sempurna. Meskipun berusaha sebaik-baiknya, terkadang tindakan mereka akan berefek negatif pada anak, walau mereka tidak berniat memunculkan efek itu. Aku juga suka bagaimana teman-teman queer Grace menjadi support system untuk dia ketika keluarga dekat Grace tidak bisa menawarkan dukungan ini. Hubungan pertemanan mereka juga dipotret dengan realistis. It’s not a perfect friendship at all. Aku sangat mengapresiasi nuance yang Morgan Rogers tawarkan.

Dalam hubungan apapun, akan ada titik ketika konflik muncul & kita berpotensi melukai perasaan satu sama lain. That’s the deal with human relations. Hal yang penting adalah bagaimana kita bekerja sama untuk memecahkan konflik ini. Aku pikir ini adalah hal penting untuk diingat karena meskipun berharap kita tidak melukai perasaan siapa-siapa apalagi orang terdekat, konflik adalah bagian tak terpisahkan dalam hubungan sehat.

>>>

Topik penting lain yang menjadi highlight cerita buatku adalah topik tentang kesehatan mental. Tidak hanya menyinggung burnout, cerita Grace juga menunjukkan usaha dia untuk menjadi lebih sehat & mindful dari segi mental dengan menemukan terapis yang bisa membantu. Kondisi mental seseorang akan mempengaruhi bagaimana dia membangun hubungan berarti dengan orang lain, bukan? Self-awareness in regards to your limitations/boundaries is good.
“The tension between having deeply meaningful relationships and still experiencing loneliness — which for Porter and her friends is tied to depression and other mental illness — is a common experience, but one rarely rendered wholly in fiction. Rogers stays with her characters through this tension, and during their more challenging moments.”  (The Seattle Times, Sarah Neilson).

Membaca berbagai tantangan yang dialami Grace & kawan-kawannya sebagai individu di usia 20-an sangat menenangkan. Aku merasa tidak sendiri.


>>>


Kalau bicara gaya penulisan & produksi audiobook sendiri, they are simply great. Cerita Grace ditulis dengan gaya bahasa yang begitu raw & tender. York Whitaker sebagai narator audiobook juga berhasil menghidupkan cerita perjalanan Grace menjadi sesuatu yang begitu enak didengar. Aku semakin kagum ketika sadar bahwa novel ini merupakan buku debut dari Morgan Rogers. Aku tidak sabar untuk membaca karya Rogers selanjutnya. 

Kenyataan bahwa dua booktuber yang sering aku tonton juga merekomendasikan novel ini adalah pertanda bagus.

Hal Yang Tidak Terlalu Disukai

Seperti yang sudah kamu lihat, aku adalah pengulas bias karena aku benar-benar menyukai buku ini. Bagian “Hal Yang Disukai” di atas (yang hampir 600 kata) adalah buktinya.

Kalau ditanya kritik, berikut beberapa hal yang aku harap bisa dipoles dari novel ini:
  • Meskipun tahu bahwa romance adalah salah satu bagian dari cerita & bukan merupakan fokus, aku sebenarnya masih berharap hubungan Grace & Yuki akan dikembangkan lebih lanjut. Honey Girl sendiri dipasarkan sebagai buku romance. Sayangnya ,romance bukanlah genre yang akan aku asosiasikan dengan cerita ini. Label adult contemporary sepertinya akan lebih cocok.
  • Selain itu, story arc dari salah satu karakter sampingan yang merupakan teman baik Grace menurutku tidak ditutup dengan memuaskan. Penutup arc dia terkesan buru-buru. Sebagai pembaca, aku merasa tidak mendapat closure di arc spesifik ini.
Booktuber WithCindy juga sudah mengulas buku ini & aku setuju dengan kritik dia tentang gaya penulisan Honey Girl yang bepotensi tidak cocok untuk beberapa pembaca. Kamu bisa membaca ulasan lengkap dari Cindy di sini.

Aku Akan Merekomandasikan Honey Girl Untuk…

Pembaca yang tertarik dengan kisah coming-of-age & self-growth seorang perempuan black & queer (dengan PhD) di penghujung usia 20-an. Kalau berharap untuk membaca kisah romantis yang fluffy & wholesome, Honey Girl sepertinya bukanlah buku yang tepat untukmu.


Jangan lupa untuk memeriksa content warning dulu kalau kamu memutuskan untuk membaca buku ini:

Content warnings (dikutip langsung dari situs resmi penulis): discussion and depictions of mental illness, self-harm (scratching skin, nails digging into skin as anxiety coping mechanism), past suicide attempt by side character, depictions of anti-Blackness and homophobia in the academic and corporate settings, casual alcohol consumption, minor drug use (marijuana), discussions of racism experienced by all characters of color, past limb amputation due to war injury (side character), past parent death (side character).


Rating

4,5/5

Bacaan Lanjutan


Terhibur/terbantu dengan tulisan ini? Dukung Farah melalui Karyakarsa

Farah melacak bacaannya di situs buku alternatif  The Storygraph | @farbooksventure

Ingin tanya-tanya & tetap anonim? Kirim saja pertanyaanmu lewat Curious Cat

Tentang Less Karya Andrew Sean Greer

“How does Less get the world so wrong? Over and over again? Where is the exit from moments like this? Where is the donkey door out?”

Informasi Buku

Judul: Less
Penulis: Andrew Sean Greer
Penerbit: Back Bay Books
ISBN: 9780316316132
Bulan/tahun publikasi: Mei 2018 (pertama kali dipublikasikan pada Juli 2017)
Jumlah halaman: 263 halaman
Cetakan: reprint edition
Buku: paperback milik pribadi (dibeli di Periplus Online Bookstore)
Bahasa: Inggris
Kategori umur: adult
Temukan buku ini di Goodreads

Blurb


Who says you can’t run away from your problems? You are a failed novelist about to turn fifty. A wedding invitation arrives in the mail: your boyfriend of the past nine years is engaged to someone else. You can’t say yes–it would be too awkward–and you can’t say no–it would look like defeat. On your desk are a series of invitations to half-baked literary events around the world.

QUESTION: How do you arrange to skip town?
ANSWER: You accept them all.

What would possibly go wrong? Arthur Less will almost fall in love in Paris, almost fall to his death in Berlin, barely escape to a Moroccan ski chalet from a Saharan sandstorm, accidentally book himself as the (only) writer-in-residence at a Christian Retreat Center in Southern India, and encounter, on a desert island in the Arabian Sea, the last person on Earth he wants to face. Somewhere in there: he will turn fifty. Through it all, there is his first love. And there is his last.

Because, despite all these mishaps, missteps, misunderstandings and mistakes, Less is, above all, a love story.



Menurut Farah Tentang Buku Ini

Semua dimulai dari sampul Less. Aku rasa aku sedang dalam mood untuk membeli buku secara “buta” waktu itu. Aku tidak mencari tahu apa-apa tentang buku ini. Tidak genre. Tidak sinopsis cerita. Apalagi ulasan buku. Aku bahkan belum tahu buku inilah yang diganjar penghargaan Pulitzer untuk Fiksi pada 2018. Aku hanya melihat sampulnya, jatuh hati, dan tanpa ragu langsung beli. Keputusan yang cukup berani mengingat bagaimana harga Less masih terbilang tinggi waktu itu (lucunya, saat menulis ini Less sedang diskon di toko buku langgananku 👀). Kalau kurang beruntung dan tidak suka dengan apa yang novel ini tawarkan tentu aku hanya bisa gigit jari.

Jujur saja aku sempat khawatir inilah yang akan terjadi ketika membaca seperempat awal novel ini. Less menuturkan kisah Arthur Less, seorang penulis pria paruh baya di tengah masa sulit dalam ranah personal/profesional yang melakukan perjalanan 80 hari ke berbagai tempat di dunia. Sekilas premis ini terdengar familiar dan biasa saja. Nothing new really. Ini adalah premis yang entah bagaimana aku asumsikan merupakan resep menuju critical acclaim; tulisan serius (yang di dalam-dalamkan padahal trivial) tentang seorang pria yang mencari jati diri/makna hidup lewat kunjungannya ke berbagai tempat baru/tidak biasa. Ketika mendengar istilah literary fiction, jenis tulisan yang aku bayangkan adalah tulisan introspektif & suram. Biasanya bukan bacaan menyenangkan yang mengundang senyum. Aku bersyukur karena Less tidak mengikuti jalur ini.

Setelah membaca beragam wawancara Andrew Sean Greer terkait novel Less di internet, tidak mengherankan mungkin kalau pada awalnya memang jalur inilah yang ingin ditempuh Greer;
 
ASG’s decided to make it comedy! (Adrienne Westenfeld – Esquire)

   







An important realization (Elizabeth Flock – PBS)

Saking meta-nya, Geer bahkan membuat penulis protagonis cerita kita, Arthur Less, menulis novel semacam ini untuk buku keduanya (yang gagal). Sebelum akhirnya disadarkan tokoh lain bahwa buku jenis ini terlampau pretentious dan tidak akan menyenangkan untuk dibaca. Ulasan dari The Guardian ini bahkan di buka dengan momen meta yang aku bicarakan di atas;

Saking meta-nya aku pun pusing sendiri (Patrick Gale – The Guardian)


Ketika menamatkan novel ini untuk pertama kali, aku kesulitan untuk menjelaskan alasan dibalik kecintaanku padanya. Fakta bahwa Less “menyimpang” dari jalur yang biasanya diambil penulis literary fiction pemenang perhargaan bisa jadi adalah salah satu alasannya. Kesadaran bahwa buku ini mengambil premis lama yang dibungkus dalam bentuk baru yang lebih menyenangkan datang setelah aku membaca novel fiksi romantis lain (yang protagonisnya juga adalah penulis di tengah kesulitan personal dan finansial).

You never told me what you write, Everett. I’m sure it’s something really groundbreaking and important. Totally new and fresh. Like a story about a disillusioned white guy, wandering the world, misunderstood and coldly horny.”

Kutipan tersebut diucapkan oleh January Andrews, salah satu protagonis dalam novel Beach Read karya Emily Henry yang baru rilis pertengahan Mei 2020. Ketika membaca ini, aku entah mengapa merasa ter-called out karena sangat familiar dengan genre bacaan semacam ini.  Beberapa minggu lalu, aku juga mengenal sepupu lebih sinister dari “genre” ini, terima kasih pada cuitan seseorang di Twitter;
Porny gay novel/memoir about an American who goes to a foreign country and screws around with a native then ditches him to go back to the US: a genre

— Anton Hur (@AntonHur) May 13, 2020

Novel yang langsung muncul di kepala karena cuitan ini adalah novel What Belongs to You-nya Garth Greenwell. Aku gagal paham dengan apa yang sebenarnya ingin novel ini kisahkan. There’s no point in this story I feel. Gaya penulisannya juga membuat sakit kepala alih-alih indah. Secara superfisial, novel ini berbagi kesamaan dengan Less; mengisahkan tentang perjalanan seorang pria kulit putih yang melarikan diri dari kenyataan dengan melakukan perjalanan ke negeri asing.


Less berhasil menurutku karena ditulis dengan self-aware. Alih-alih membuat Less menjadi the-next-deep-and-oh-so-serious-fiction, penulis memutuskan untuk bersenang-senang dan memasukan humor & kebahagiaan sebanyak yang dia bisa dalam cerita. Protagonis kita mengalami kesulitan bertubi-tubi sepanjang cerita, sampai akhirnya dia belajar dari kesalahan serta ketidaktahuannya untuk akhirnya mencicipi kebahagiaan di akhir. The author truly making fun of his protagonist in this one, it’s fun to read until the end. Dalam wawancaranya dengan Esquire, Geer membeberkan ini;

Pada akhirnya, yang membuatku begitu menikmati Less adalah kisah romantis & outlook positif yang kadang diikuti momen bittersweet dalam ceritanya. Aku tidak menyangka kisah romantis bisa begitu memuaskan & se-nyastra kisah yang satu ini. Arthur Less bukanlah seorang saint tanpa dosa (meskipun ada sesuatu yang “naif” tentang karakternya). Di masa lalu dia melakukan banyak tindakan questionable. Hanya saja, setelah melihat bagaimana Arthur sampai pada kesadaran diri baru di akhir perjalanannya, sebagai pembaca aku ikut bersorak untuknya. 
This is exactly me at the end of Less (Adrienne Westenfeld – Esquire)
Less boleh saja menjadi bacaan berhasil untukku. Namun ternyata beberapa pembaca di Goodreads malah merasakan sebaliknya.
Kalau kamu ingin membaca literary fiction pemenang Pulitzer, tapi tidak mood dengan bacaan serius & suram… Aku harap kamu memberi buku ini kesempatan.

Rating

4,5/5

Tulisan Lain Dalam Kiriman Ini/Bacaan Lanjutan

1. Urban Dictionary – Definisi Meta

Terhibur/terbantu dengan tulisan ini? Dukung Farah melalui Karyakarsa

Farah melacak bacaannya di situs buku alternatif  The Storygraph | @farbooksventure

Ingin tanya-tanya & tetap anonim? Kirim saja pertanyaanmu lewat Curious Cat

Tentang The Brothers Bishop Karya Bart Yates

It seems to be that loneliness is a small price to pay for peace and quiet.


Informasi Buku

Judul:
The Brothers Bishop

Penulis:
Bart Yates

Penerbit:
Kensington Books

ISBN:
9780758282521

Tahun
publikasi: 2006 (pertama kali dipublikasikan tahun 2005)

Jumlah
halaman: 320 halaman

Buku:
E-book (dibaca via Scribd) 

Bahasa:
Inggris 

Kategori
umur: adult 

Temukan
buku ini di 
Goodreads

Blurb

Tommy and Nathan Bishop
are as different as two brothers can be. Carefree and careless, Tommy is
the golden boy who takes men into his bed with a seductive smile and
turns them out just as quickly. No one can resist him–and no one can
control him, either. That salient point certainly isn’t lost on his
brother. Nathan is all about control. At thirty-one, he is as dark and
complicated as Tommy is light and easy, and he is bitter beyond his
years. While Tommy left for the excitement of New York City, Nathan has
stayed behind, teaching high school English in their provincial
hometown, surrounded by the reminders of their ruined family history and
the legacy of anger that runs through him like a scar.

Now,
Tommy has come home to the family cottage by the sea for the summer,
bringing his unstable, sexual powder keg of an entourage–and the
distant echoes of his family’s tumultuous past–with him. Tommy and his
lover Philip are teetering on the brink of disaster, while their married
friends, Camille and Kyle, perfect their steps in a dance of denial,
each partner pulling Nathan deeper into the fray. And when one of
Nathan’s troubled students, Simon, begins visiting the house, the slow
fuse is lit on a highly combustible mix.

During a heady
two-week party filled with drunken revelations, bitter jealousies,
caustic jabs, and tender reconciliations, Tommy and Nathan will confront
the legacy of their twisted family history–their angry, abusive father
and the tragic death of their mother–and finally, the one secret that
has shaped their entire lives. It is a summer that will challenge
everything Nathan remembers and unravel Tommy’s carefully constructed
facade, drawing them both unwittingly into a drama with echoes of the
past. . .one with unforeseen and very dangerous consequences.

“There are undercurrents of tragedy and emotional scarring at work that
take the story to disturbing places. . .Yates puts his novel together
like a one-two punch and makes it readable. . .you can’t put it down.”
–Edge Magazine


Menurut Farah Tentang Buku Ini

Pada satu
siang yang cerah, aku iseng memutuskan membaca buku yang muncul secara random di feed Goodreads ini. Siapa sangka ternyata
The Brothers Bishop akhirnya memperkenalkanku pada penulis baru dengan
gaya penulisan mengalir dan begitu menangkap perhatian. Sayang sekali, kisah
tragis tentang sisi gelap cinta (romance is death in this story) yang
ditawarkan novel 320 halaman ini hanya meninggalkan perasaan kesal di hatiku.
Berikut adalah uraianku tentang mengapa aku membenci dan mengagumi The Brothers Bishop di saat yang
bersamaan.

 

Good Things About This Novel

Gaya penulisan Bart Yates adalah hal terbaik
dari
The Brothers Bishop. Di
tengah para karakter yang out-of-this-world awful dan berbagai peristiwa kacau
dalam cerita, tulisan Yates-lah yang
membuatku betah menyelesaikan novel ini sampai akhir. Gaya penulisan Yates yang
begitu mengalir bahkan mengantarkanku membaca 
The Brothers Bishop hanya dalam satu kali
duduk saja. Ini prestasi yang cukup luar biasa menurut. Aku rasa tidak semua
penulis memiliki kecakapan untuk membuat pembaca yang sudah terlampau kesal
dengan novelnya bertahan membaca novel bersangkutan sampai akhir. Gaya
penulisan jugalah yang membuat novel ini bertengger di rating 3. Kalau
menilai hanya berdasarkan cerita, sepertinya
The
Brothers Bishop
malah termasuk ke dalam buku zona No-rating ku.

                  
Actual footage of me after reading this book and solely judging the messed up story its offer  (GIF source: Tumblr)

Ketika
sedang kesal-kesalnya pasca membaca The Brothers Bishop, aku akhirnya mengunjungi Goodreads untuk
mengintip ulasan berbintang 5 dari novel ini. Siapa tahu bisa lebih membuka
pikiran dan membuatku menyukai novel ini, bukan?
Sebagian besar ulasan penuh bintang yang aku
baca juga menggarisbawahi gaya penulisan Bart Yates yang bagus dan membuat
The
Brothers Bishop
asyik dibaca. Aku mengamini poin
ini tentu. Hal lain yang banyak disebut dalam ulasan positif ini adalah bagaimana
narator cerita, Nathan Bishop, terasa fresh dan relatable karena
gaya penuturannya yang blak-blakan dan jujur. Sampai pada satu titik di novel, aku
sebenarnya setuju dengan pendapat ini. Akan tetapi, makin menuju ke akhir cerita, karakter
Nathan makin menyebalkan dan asshole-ish for no reason menurutku.

 

Not-So-Good Things About This Novel

Ulasan 5 bintang memang mendominasi laman Goodreads untuk novel ini. Akan tetapi, aku memutuskan untuk “menggali” ulasan 3 bintang dan 1 bintang karena penasaran. Apakah ada pembaca yang juga merasa sebal tiada tara pasca membaca The Brothers Bishop? Theses minorities exist of course. Ulasan tidak terlalu dermawan mereka menggarisbawahi beberapa hal menarik yang sepertinya juga merupakan alasan dibalik kekesalan berkepanjanganku terhadap balada dua bersaudara ini.
1. Karakter unlikable yang ada terlalu berlebihan, hampir mustahil bersimpati dengan mereka lagi (bad-decision-making in this story is endless)
Seperti yang sudah aku
ungkapkan di atas, sebagai narator Nathan memang asyik untuk didengar di awal
novel. Dia jujur, bitter, dan apa adanya. Aku masih bisa bersimpati
dengan karakter ini. Akan tetapi, semakin cerita berkembang semakin Nathan
berubah menjadi sosok terlampau “kejam”. Perubahan yang terjadi pun
seolah tanpa tujuan.
Saudara Nathan, Tommy Bishop, bahkan lebih parah lagi.
Tanpa memberi bocoran apa-apa, penulis berusaha memotret Tommy sebagai sosok
penuh cela terlepas dari penampilan luarnya yang sempurna. Penulis seperti
mengarahkan pembaca untuk bersimpati pada Tommy karena “dia tidak
benar-benar bermaksud melakukan apa yang dia lakukan”. Sayang sekali, Tommy adalah karakter yang murni tidak ada faedahnya di mataku. Aku begitu kasihan dengan Nathan yang apes mendapat Tommy sebagai saudara kandung.
Oke, flaw dua karakter ini bisa jadi merupakan perwujudan masa kecil mereka yang berat dan dinamika keluarga mereka yang disfungsional. Oke, aku berusaha untuk paham. Tetap saja, aku pikir fakta tragis ini tidak bisa menjustifikasi segunung tindakan dan keputusan tidak bertanggungjawab yang dua bersaudara ini ambil. Ada banyak karakter dengan masa lalu berat di luar sana. Akan tetapi, karakter-karakter ini (untungnya) memiliki kemampuan untuk membuat keputusan yang 100% jauh lebih baik daripada 2 orang ini.

 
2. Aku tidak bisa menangkap poin
yang berusaha disampaikan cerita tragis ini.
Aku tidak keberatan membaca buku
yang mengangkat topik berat dan sulit untuk dibahas. Seringkali buku semacam
ini ditulis dengan cara yang tetap menarik perhatian dan membuatku bisa bersimpati
dengan karakternya. Di akhir novel seperti ini, aku biasanya juga bisa menangkap
satu atau dua hal berfaedah. Belum lagi merenungkan pertanyaan yang ditinggalkan cerita yang sudah usai untuk direnungkan sendiri oleh pembaca. Membaca memang memperluas sudut pandang kita dan
membangun empati bagaimanapun juga. Akan tetapi, meskipun memasukkan topik berat
dalam cerita, The Brothers Bishop tidak berusaha menggali topik ini lebih
dalam. Setelah sampai di halaman akhir, aku masih tidak yakin
dengan pesan berfaedah macam apa yang berusaha disampaikan penulis. Aku hanya merasa miris sendiri
karena beberapa karakter tampaknya selalu saja bisa lari dari masalah yang merupakan tanggung jawabnya dan malah karakter lain yang harus menderita karenanya. Apa gunanya menderita karena cerita buku kalau tak mendapat hal berfaedah darinya?
3. Wanita tidak digambarkan dengan
terlalu positif dalam novel ini.
Aku baru aware dengan perkara
potrayal seperti ini dalam dunia buku & pop culture secara umum
selama beberapa bulan terakhir. Rasa tidak enak yang aku rasakan selama membaca
The Brothers Bishop boleh jadi juga berasal dari cara penulis
memperlakukan karakter perempuan yang sudahlah sedikit, tapi tidak
ditulis dengan positif dan penuh pertimbangan.
Ulasan dari pengguna Goodreads yang satu ini juga memaparkan hal yang tidak terlalu aku sukai dari The Brothers Bishop dengan sangat baik dan terurut.

In Conclusion

Meskipun mengapresiasi gaya penulisan Bart Yates yang menyita perhatian, aku tidak terlalu menyukai buku ini secara keseluruhan. The Brothers Bishop memang bukanlah bacaan untuk semua orang. Aku tidak bisa “merekomendasikan” buku ini karena aku pribadi masih merasa kesal dengan kisah yang ditawarkannya. Akan tetapi, kalau kau adalah seorang pembaca yang ingin mengeksplorasi sisi “kelam” dari cinta (and no, this is not a romantic book), tidak keberatan dengan topik berat, dan bisa meng-handle karakter yang tidak mengundang simpati, mungkin The Brothers Bishop bisa menjadi salah satu bacaan yang kau pertimbangkan.
Trigger warning: this novel cointains upsetting topics like taboo relationship, child abuse, dysfunctional family, and sexual abuse. Please proceed to read with caution.

Rating

3/5  

Terhibur/terbantu dengan tulisan ini? Dukung Farah melalui Karyakarsa

Farah melacak bacaannya di situs buku alternatif  The Storygraph | @farbooksventure

Ingin tanya-tanya & tetap anonim? Kirim saja pertanyaanmu lewat Curious Cat

[28/03/19] Pertama Kali “Membaca” Audiobook, Scribd, dan The Music of What Happens


“The world will make you vulnerable, if you’re acting like you’re not, that’s what your doing, acting.”

Informasi Audiobook
Judul: The Music of What Happens
Penulis: Bill Konigsberg

Penerbit: Scholastic Audio
Rilis: 26 Februari 2019
Durasi: 9 jam, 18 menit

Didengar via: Scribd
Bahasa: Inggris
Kategori umur: young adult
Temukan buku ini di Goodreads 


Deskripsi Audiobook

Max: Chill. Sports.
Video games. Gay and not a big deal, not to him, not to his mom, not to
his buddies. And a secret: An encounter with an older kid that makes it
hard to breathe, one that he doesn’t want to think about, ever.

Jordan:
The opposite of chill. Poetry. His “wives” and the Chandler Mall. Never
been kissed and searching for Mr. Right, who probably won’t like him
anyway. And a secret: A spiraling out of control mother, and the
knowledge that he’s the only one who can keep the family from falling
apart.

Throw in a rickety, 1980s-era food truck called Coq Au
Vinny. Add in prickly pears, cloud eggs, and a murky idea of what’s
considered locally sourced and organic. Place it all in Mesa, Arizona,
in June, where the temp regularly hits 114. And top it off with a touch
of undeniable chemistry between utter opposites.

Over the course
of one summer, two boys will have to face their biggest fears and decide
what they’re willing to risk — to get the thing they want the most.



Pengalaman Pertama “Membaca” Audiobook (& Menggunakan Scribd)
Audiobook sepertinya
begitu menjadi primadona akhir-akhir ini. Terima kasih pada artikel ringkas Book
Riot
tentang sejarah audiobook ini, aku akhirnya tahu bahwa audiobook
sebenarnya sudah ada dalam berbagai medium sejak bertahun-tahun lalu. Dalam
bentuk kaset dan CD? Pernah. Versi paling awal dari audiobook bahkan
berbentuk rekaman
super singkat puisi/cerita anak-anak
dari era penemuan phonograph oleh Thomas
Alfa Edison. Tidak mengherankan memang kalau era smartphone membuat audiobook
kembali naik daun. Cukup dengan menggunakan ear phone, orang-orang bisa
mendengarkan audiobook dimana saja dan kapan saja untuk mengisi waktu
senggang. All hail the positive impact of technology! 

Setelah beberapa
lama dilanda rasa penasaran, kesempatan untuk mencoba audiobook datang
ketika aku berhasil join dengan beberapa orang untuk berlangganan di
situs Scribd.
Lucunya, aku sudah mengetahui keberadaan Scribd selama hampir 4 tahun
tanpa benar-benar tahu betapa banyak hal yang bisa aku temukan di sana.

Dari hari-hari
yang dipenuhi kerja kelompok dan tugas menggunung, terkadang beberapa link
tentang topik tugas yang sedang aku cari berakhir di laman Scribd.
Dokumen semacam ini tidak bisa diunduh dan digunakan secara utuh tentu saja
oleh aku yang tidak berlangganan, punya akun Scribd saja tidak! Sejak
saat itu aku selalu mengabai hasil percarian dari Scribd yang aku anggap
hanya sekadar situs tempat banyak orang membagikan tugas-tugas mereka. Sampai
akhirnya, dari komunitas bookstagram aku pun sadar bahwa Scribd
juga merupakan gudang untuk banyak koleksi e-book ­& audiobook baik
fiksi maupun non-fiksi.
 

Farah:
Sumber: GIPHY

Farah kamu
kemana aja selama ini?
Sikapku terhadap Scribd pun berubah. Dari
yang awalnya tidak peduli, aku akhirnya menyimpan harapan semoga bisa
berlangganan di situs ini suatu saat nanti. Terima kasih berkat keajaiban
komunitas bookstagram, harapan ini akhirnya menjadi kenyataan.

Aku sempat
terintimidasi ketika melihat-lihat info tentang berbagai audiobook di Scribd.
Kenapa? Aku baru sadar bahwa memutuskan mendengar audiobook 
berarti harus bersabar dan menerima kenyataan bahwa aku harus mendengarkan
kumpulan audio sebuah buku yang rata-rata berdurasi total selama 9 jam. Audiobook
memang dibagi per-bab dalam rekaman audionya, tapi tetap saja dalam satu
bab durasinya bisa sampai 30 menit. Menyaksikan video Youtube berdurasi 30
menit? Oke. Mendengarkan audio yang berisi narasi buku selama 30 menit? Aku
jujur skeptis dengan diri sendiri. Durasi panjang ini lumayan mengintimidasiku
yang masih pemula. Apa yang terjadi kalau aku bosan dan akhirnya malah tidak
melanjutkan?

Pada awalnya,
novel terbaru Taylor Reid Jenkins Daisy Jones & The Six adalah
kandidat utama dari “eksperimen” audiobook-ku. Ada beberapa orang yang
berkomentar bahwa format penulisan Daisy Jones & The Six yang
seperti kumpulan transcript wawancara membuat buku ini sangat cocok
dinikmati dalam format audiobook. Tidak disangka-sangka, aku tanpa
sengaja malah menemukan versi audiobook dari novel YA The Music of
What Happens
, salah satu dari berbagai novel yang aku sadari keberadaannya
berkat Instagram. Novel ini menarik perhatianku karena sampulnya yang
begitu sedap dipandang.



Sumber: Blog Bill Konigsberg
Begitulah cerita awal mula bagaimana aku terjun
ke dalam lautan audiobook yang
menarik lewat novel yang (di beberapa bagian) membuat lapar ini.

Menurut Farah Tentang Audiobook Ini 

Di permukaan, The Music of What Happens memang
menawarkan premis umum;
Dua karakter
dengan sifat bertolak-belakang bertemu dengan satu sama lain dalam sebuah
pertemuan tidak terduga. Setiap karakter menyimpan masalah dan ketakutan mereka
masing-masing. Karakter mereka yang bertolak-belakang akhirnya membuat mereka
saling melengkapi satu sama lain. Pertemuan tak terduga pun mengantarkan
karakter-karakter ini menjadi pribadi yang lebih baik seiring berkembangnya
cerita. Terdengar familiar, bukan?
Max dan Jordan
adalah 2 karakter yang sudah tahu dengan keberadaan satu sama lain tapi belum
benar-benar “bertemu” sebelum pertemuan mereka di truk makanan Keluarga Jordan
pada suatu hari di musim panas. The Music
of What Happens
adalah tipe-tipe novel character
driven
yang awalnya terasa mengalir lambat. 
Pembaca akan disuguhkan dengan narasi dari sudut pandang Max dan Jordan,
2 tokoh utama cerita. Aku sempat merasa kikuk karena baru pertama kali membaca
novel dalam bentuk audiobook. Audiobook boleh jadi merupakan sarana
baik untuk berlatih kemampuan listening Bahasa
Inggris. Akan tetapi, ketika “membaca”
novel dengan gaya seperti ini aku sempat kesulitan dengan nama beberapa
karakter dalam cerita.
Versi audiobook dari The Music Of What Happens dinarasikan oleh 2 narator yang mewakili
sudut pandang Max dan Jordan dalam novel. Aku tidak punya kesulitan yang
berarti di bagian Jordan. Aku merasa bisa relate
dengan kekhawatiran dan rasa takut seorang Jordan, terima kasih pada narator
ekspresif yang menarasikan sudut pandangnya. Narator untuk bagian Max sendiri memiliki
suara yang “lebih berat” daripada narator untuk Jordan. Di satu sisi, mungkin
saja ini melengkapi bayangan pembaca tentang betapa berbedanya 2 karakter ini. Akan
tetapi, terkadang suara beratnya membuat narrator untuk Max hanya terdengar “kumur-kumur”
dalam beberapa bagian di telingaku. It’s
not you, it’s me really
. Jadi ya, mendengarkan sudut pandang Max adalah
tantangan tersendiri untukku.
Perasaan yang
pertama kali muncul pasca mendengar audiobook
ini adalah puas. Puas karena berhasil menyelesaikan audiobook untuk pertama kalinya, juga puas karena kisah Max dan
Jordan ditutup dengan rapi. Hal yang membedakan cerita Max & Jordan dari
cerita dengan pola familiar lain semacam ini adalah hal-hal serius yang
berusaha dikupas penulis dalam cerita mereka. Topik tentang toxic masculinity, toxic family, toxic friendship,
dan bahkan sexual assault (trigger warning: rape) mulai
bermunculan silih berganti semakin dalam kita mendengarkan cerita Max dan
Jordan. Aku salut dengan penulis karena berhasil membuat penyelesaian rapi untuk
topik-topik serius ini.
Topik-topik di atas mungkin
tidak terlalu menyenangkan untuk dibaca. Akan tetapi, Bill Konigsberg berhasil
memadukan pola cerita novel mainstream dengan
isu serius untuk meningkatkan kesadaran pembacanya akan topik bersangkutan. And that’s a really good thing in my opinion.
Hal yang aku
sukai ketika “membaca” versi audiobook
ini adalah bagaimana semakin “hidup”-nya bayanganku akan perisiwa yang terjadi
dalam novel, terima kasih pada narrator novelnya yang menarasikan cerita dengan
sepenuh hati. Aku memang tidak leluasa membuat bayangan sendiri tentang detail yang
membedakan Max dan Jordan, tapi mendengarkan seseorang menarasikan novel dengan
penuh semangat dan penghayatan menyenangkan juga.
Hal yang kurang
sreg untukku selama mendengarkan The
Music of What Happens
sepertinya hanya penggunaan kata dude yang agak berlebihan. Harus aku akui, aku bukanlah seorang native speaker dalam Bahasa Inggris, tinggal di
negara berbahasa Inggris saja tidak. Akan tetapi, apa memang ada orang-orang  yang menggunakan kata dude sesering ini?
Aku akan
merekomendasikan
The
Music of What Happens
untuk pembaca yang mencari novel YA yang memadukan
isu berat dengan gaya penceritaan mainstream
dan berhasil membungkus ceritanya dengan rapi.

Kembali lagi ke dalam pembahasan
tentang audiobook, berbeda dari
sebagian besar orang yang bisa mendengarkan audiobook
di sela-sela aktivitas sehari-hari mereka. Aku adalah tipe orang yang lebih
nyaman mendengarkan audiobook ketika sedang ingin bersantai seperti di waktu malam hari menjelang tidur.
Secara keseluruhan, pengalamanku “membaca” audiobook
untuk kali
pertama adalah pengalaman menarik dan lumayan eye-opening. Aku pasti akan membaca audiobook lain di masa yang akan datang,
tapi alih-alih menemani di antara aktivitas sehari-hari, audiobook ini akan menemaniku di akhir minggu yang tenang dan
santai.

Artikel Yang Disebut Dalam Tulisan Ini
1. A Brief History of the Audiobook (oleh Aram Mrjoian dalam situs BookRiot)  
2. Audiobook (dalam Wikipedia Bahasa Inggris)
3. Scribd (dalam Wikipedia Bahasa Inggris)


Rating
3,5/5 

[25/02/19] Tentang The Seven Husbands of Evelyn Hugo Karya Taylor Jenkin Reid

 



“No
one is all good or all bad. I know this, of course. I had to learn it at a
young age. But sometimes it’s easy to forget just how true it is. That it
applies to everyone.”




Informasi Buku 
Judul: The Seven
Husbands of Evelyn Hugo
 
Penulis: Taylor Jenkin Reid 
Penerbit: Atria
Books (Imprint of Simon & Schuster)
ISBN: 9781501139246 
Tahun publikasi:
2017
Jumlah halaman: 452
halaman
Buku: milik pribadi
(e-book
Bahasa: Inggris
Kategori umur: adult

Temukan buku ini
di Goodreads

Blurb

Evelyn Hugo is finally ready to tell the truth about
her glamorous and scandalous life. But when she chooses unknown magazine
reporter Monique Grant for the job, no one in the journalism community is more
astounded than Monique herself. Why her? Why now?

Monique is not exactly on top of the world. Her husband, David, has left her,
and her career has stagnated. Regardless of why Evelyn has chosen her to write
her biography, Monique is determined to use this opportunity to jumpstart her
career.

Summoned to Evelyn’s Upper East Side apartment, Monique listens as Evelyn
unfurls her story: from making her way to Los Angeles in the 1950s to her
decision to leave show business in the late 80s, and, of course, the seven
husbands along the way. As Evelyn’s life unfolds through the decades—revealing
a ruthless ambition, an unexpected friendship, and a great forbidden
love—Monique begins to feel a very a real connection to the actress. But as
Evelyn’s story catches up with the present, it becomes clear that her life
intersects with Monique’s own in tragic and irreversible ways.

Filled with emotional insight and written with Reid’s signature talent, this is
a fascinating journey through the splendor of Old Hollywood into the harsh
realities of the present day as two women struggle with what it means—and what
it takes—to face the truth.

Menurut Farah Tentang Buku Ini 
The Seven Husbands of Evelyn Hugo adalah buku pertama dari Taylor Jenkin Reid yang
pernah aku baca. Untuk Reid sendiri, buku ini merupakan buku kelima yang dia
terbitkan. Ketertarikanku pada buku 452 halaman ini berawal dari judul bukunya
yang membuat penasaran, sampul novelnya yang didominasi warna hijau memanjakan
mata, dan ulasan berkilauan yang diberikan oleh orang-orang yang sudah
membacanya. Setelah selama beberapa bulan berusaha mencari versi fisik buku
ini, aku akhirnya harus berpuas diri membaca versi buku elektronik dari novel historical
fiction
ini.
Di permukaan The Seven Husbands of Evelyn Hugo berkisah
tentang keputusan mengejutkan legenda dunia perfilman Hollywood, Evelyn Hugo,
untuk buka-bukaan tentang kehidupan glamornya yang penuh skandal dan pernikahan
setelah membisu tentang isu ini selama beberapa dekade. Belum habis
keterkejutan publik dengan keputusan tiba-tiba ini, Evelyn Hugo kembali
mengejutkan setelah secara spesifik meminta Monique Grant, seorang
reporter biasa, untuk menulis kisah panjang hidup dan karirnya. Hal ini tentu
saja “terlalu baik untuk menjadi kenyataan” bagi Monique yang tengah
berada pada titik terendah dalam hidupnya. Seperti hal-hal “yang terlalu
baik untuk menjadi kenyataan” lainnya, akan muncul fakta mengejutkan
tentang alasan dibalik terpilihnya Monique untuk menulis kisah panjang Evelyn
Hugo ini.

The Seven Husbands of Evelyn Hugo dinarasikan dari sudut pandang orang pertama. Pembaca akan
mendengarkan kisah ini dari sudut pandang Evelyn Hugo dan Monique Grant secara
bergantian. The Seven Husbands of Evelyn Hugo sendiri dipenuhi kisah
kilas balik Evelyn yang memaparkan awal karirnya hingga kehidupannya sekarang.
Totalnya ada 69 bab dalam buku ini. Selain dibagi menjadi bab, narasi dalam The
Seven Husbands of Evelyn Hugo
juga dibagi dalam 7 bagian yang mewakili
ketujuh suami Hugo. Ketujuh bagian ini akan mengupas  kenyataan dibalik
pernikahan Evelyn Hugo yang menjadi sensasi tersendiri. Di antara bab-bab lain
dan ketujuh bagian ini, pembaca juga akan menemukan cuplikan berita dan artikel
yang ditulis media terkait sepak terjang Evelyn Hugo. Cara penuturan seperti
ini membuat pembaca bisa merasakan bagaimana berbedanya imej yang media punya
tentang sosok Evelyn Hugo dan kenyataan sebenarnya.

Ketika mulai membaca, pembaca juga akan
merasakan bahwa ada isu-isu lain yang juga diselipkan Reid dalam kisah Evelyn
Hugo. Isu tentang identitas, ras, dan menjadi seorang wanita kuat dan
“dominan” di era ketika hal ini masih dianggap “tabu”
melengkapi kisah Glamor Evelyn Hugo yang tidak selamanya indah. Evelyn Hugo
bukanlah karakter yang sempurna. Pembaca mungkin akan terbagi menjadi kubu yang
mendukung dan mempertanyakan tindakan yang diambil Hugo dalam hidupnya. Akan
tetapi, pada akhirnya aku rasa semua orang akan menilai Evelyn Hugo sebagai
individu yang layak untuk dihormati. Wanita ini bersedia mengakui kesalahan
yang telah dia buat dan tidak menjustifikasi perbuatannya. Aku sangat
menghargai kejujuran dan keterbukaan Evelyn Hugo dalam hal ini.
…”It’s on the house,” he said, which I
thought was the dumbest thing, because if there is anyone that should be
getting free food, it isn’t rich people. –
Evelyn Hugo ketika mendapat makanan gratis karena kepopulerannya.
Ketangguhan Evelyn Hugo jugalah yang menginspirasi
Monique Grant untuk “mengambil kembali” kendali atas hidupnya yang
terkesan tidak memiliki arah. Seiring dengan pengakuan-pengakuan yang Hugo
buat, Monique Grant juga berkembang ke arah yang lebih baik sebagai sebuah
karakter.  
Why, until
this moment, did I not realize that the issue is my own confidence? That the
root of most of my problems is that I need to be secure enough in who I am to
tell anyone who doesn’t like it to go fuck themselves?
Aku sangat menikmati gaya penulisan Taylor Jenkin Reid
yang santai dan mengalir. Tidak mengherankan memang kalau buku ini ditasbihkan
sebagai bacaan pantai (beach read)
menyenangkan. Terlepas dari fakta bahwa beberapa isu yang berusaha angkat dari
cerita Evelyn lumayan “berat”, cara penulisan Reid membuat pembaca
nyaman untuk terus membaca buku ini sampai akhir. Aku tidak menyarankan untuk
membaca novel ini sebagai bacaan sebelum tidur. True Story;
setelah memutuskan untuk membaca The Seven Husbands of Evelyn Hugo
sebagai bacaan “santai” penghantar tidur beberapa malam lalu,
niatanku untuk “membaca satu halaman lagi” perlahan berubah menjadi
“satu bab lagi saja”. Akhirnya,  aku malah terjaga sepanjang
malam untuk menyelesaikan novelnya. There goes my good night sleep. It’s
worth it though
.
The Seven Husbands of Evelyn Hugo adalah jenis bacaan yang membuat pembaca penasaran dan
kesulitan melepas bukunya sampai semua “misteri” sudah terkuak di
halaman-halaman akhir. Aku merekomendasikan buku ini sebagai bacaan sekali
duduk pada akhir minggu yang santai. Kalau sedang mencari bahan bacaan tentang
tokoh utama wanita tangguh dan tidak keberatan dengan bacaan bertema LGBTQ+, The
Seven Husbands of Evelyn Hugo
dapat menjadi pilihan bacaan untukmu.
*Sebuah artikel menarik untuk menjadi bahan bacaan
lanjutan: Wawancara Taylor Jenkin Reid &
PopSugar tentang
The Seven Husbands of Evelyn Hugo.
Rating
4/5

[31/10/18] Tentang Jack of Hearts (and Other Parts) Karya L.C. Rosen

“…
In that moment, I get to be me. And if you don’t like that, fuck off.”

Informasi
Buku

Judul: Jack of Hearts (and Other Parts) 
Penulis: L.C. Rosen
Penerbit: Penguin 
Bahasa:
Inggris

ISBN:
9780241365021

Bulan/tahun
publikasi: Oktober 2018

Jumlah
halaman: 340 halaman

Buku:
e-book milik pribadi (dibeli via Google Play Book)

Bahasa: Inggris 
Kategori
umur: young adult
 

Temukan buku ini di Goodreads



Blurb

My first time
getting it in the butt was kind of weird. I think it’s going to be weird for
everyone’s first time, though.

Meet Jack Rothman. He’s seventeen and loves partying, makeup and boys –
sometimes all at the same time. His sex life makes him the hot topic for the
high school gossip machine. But who cares? Like Jack always says, ‘it could be
worse’.

He doesn’t actually expect that to come true.
But after Jack starts writing an online sex advice column, the mysterious
love letters he’s been getting take a turn for the creepy. Jack’s secret
admirer knows everything: where he’s hanging out, who he’s sleeping with, who
his mum is dating. They claim they love Jack, but not his unashamedly queer
lifestyle. They need him to curb his sexuality, or they’ll force him.

As the pressure mounts, Jack must unmask his stalker before their obsession
becomes genuinely dangerous…



Menurut Farah Tentang Buku Ini

Jack
of Hearts (and Other Parts)
 adalah buku Young Adult (YA)
kontemporer yang fokus pada kisah Jack Rothman. Jack sendiri adalah seorang
siswa SMA blak-blakan yang memiliki rasa percaya diri tinggi. Sebagai
seorang lelaki gay yang sangat memperhatikan  penampilan dan gemar menggunakan eyeliner, Jack
sering kali menjadi topik perbincangan teman-temannya. Gosip yang paling anyar
adalah tentang bagaimana “liarnya” kehidupan seksual seorang Jack.
Meskipun tahu dan sering mendengar orang-orang bergosip tentang dirinya, Jack
tidak pernah ambil pusing. Jack beranggapan bahwa orang semacam ini tidak
pantas untuk ditanggapi.
 
 
Bersama dengan dua sahabat baiknya, Ben dan Jenna, Jack tidak
malu menjadi dirinya sendiri. Masalah bermula ketika Jack memutuskan untuk
menjadi kontributor di situs Jenna. Sejak menjadi penulis di kolom sex
advice
dengan nama pena ‘Jack of Hearts’, Jack mulai menemukan surat di
lokernya dari seorang pengagum rahasia. Awalnya Jack tidak memiliki prasangka
buruk dan menganggap hal ini akan berlalu begitu saja. Ketika surat yang
berdatangan mulai bernada mengancam dan si pengagum rahasia ini seolah
mengetahui setiap gerak-gerik Jack, laki-laki ini dipaksa untuk bertindak cepat
sebelum si pengagum rahasia melakukan tindakan merugikan bagi orang-orang yang
disayangi Jack.
 
Sejujurnya yang membuatku tertarik pada buku ini bukan plot
ceritanya semata. Aku pertama kali membaca tentang buku ini lewat ulasan seorang reviewer aktif di Goodreads. Reviewer yang satu ini menurutku
membuat ulasan yang lumayan komprehensif dan mudah dimengerti (panutan sekali
pokoknya ulasan yang dia tulis!). Ulasannya yang menekankan tentang bagaimana
Jack merupakan seorang protagonis kuat dan menarik berhasil menyakinkanku untuk
membaca novel ini. Aku memang sedang haus akan bacaan dengan protagonis tangguh
waktu itu. Nilai plus lain dari novel ini juga terletak pada topik-topik
menarik yang diangkat dalam ceritanya. Percaya atau tidak, novel ini bisa
lumayan edukatif bagi pembaca yang tertarik dengan topik seputar LGBTQ.

 
 
Memang ada beberapa bagian dalam novel yang agak terkesan NSFW.
Akan tetapi, tenang saja! Tidak ada hal yang terlampau eksplisit. Selama
pembaca membaca novel ini dengan pikiran terbuka dan berusaha untuk tidak
judgemental aku yakin ada hal positif yang dapat diambil setelah selesai
membacanya. Salah satu pesan yang aku tangkap dari kisah Jack ini memang
tentang bagaimana menjadi seseorang yang judgemental itu bukanlah hal yang
baik.
 
 
Bagian favoritku dalam Jack of Hearts (and Other Parts)
sendiri adalah ketika Jack sebagai ‘Jack of Hearts’ meluruskan miskonsepsi dari
salah satu penanya di kolumnya. Si penanya ini memang beranggapan bahwa
preferensi seseorang di tempat tidur (dalam hal ini lelaki gay) dapat
“dinilai” dari tampilan fisik luarnya saja. Tentu saja hal ini tidak
benar. Lagi pula ini hal personal yang tidak perlu dinilai-nilai, bukan?
Si penanya ini bisa dibilang judge the books by its cover. Jawaban ‘Jack
of Heart’ untuk pertanyaan ini badass sekali menurutku. Mari berusaha
untuk tidak menjadi individu yang gampang menghakimi teman-teman
 
Jadi, kenapa buku ini menjadi salah satu bacaan favoritku
untuk tahun ini?
1.
Protagonisnya A+.

2.
Novel ini mengangkat topik-topik yang menarik.

3.
Cara penulisannya mengalir dan membuat pembaca tidak sabar untuk menyelesaikan
novelnya.
 
 
Kalau kamu adalah seseorang dengan pemikiran terbuka,
mendadak ingin membaca novel YA dengan protagonik fresh, dan tertarik
dengan topik LGBTQ, aku rasa Jack of Hearts (and Other Parts) dapat
menjadi pilihan bacaanmu.

Tulisan Lain Dalam Kiriman Ini/Bacaan Lanjutan

1. Far’s Books Space – Tentang ‘Boy Erased’
2. Goodreads (Emily May) – Ulasan Jack of Hearts (And Other Parts)
3. Wikipedia – Not safe for work

Rating


4,4/5

Farah di tempat lain: Goodreads | Instagram | Twitter