[25/03/19] Tentang Salt to the Sea Karya Ruta Sepetys


Sudah
cukup belajarnya, Joana. Terkadang menjalani hidup bisa jadi lebih mendidik
ketimbang sekedar mempelajari


Informasi Buku
Judul: Salt to the Sea

Penulis: Ruta Sepetys 
Penerjemah: Putri Septiana
Kurniawati

Penerbit: Elex Media Komputindo
Bahasa: Indonesia
ISBN: 9786020454153
Tahun publikasi: 2018 (Pertama kali diterbitkan tahun 2016 dalam Bahasa
Inggris)
Jumlah halaman: 272 halaman
Temukan buku ini di Goodreads


Blurb

Tahun 1945. Perang Dunia II merambah
Prusia Timur. Jutaan pengungsi pergi mencari tempat aman. Di antara mereka
terdapat empat orang dengan kisah dan rahasia yang berbeda.

Takdir mempertemukan keempatnya di Wihelm Gustoff, kapal megah yang menjadi
tempat mereka menggantungkan harapan bersama lebih dari sepuluh ribu penumpang
lainnya. Tapi sebelum kebebasan sempat diraih, tragedy besar pun terjadi. Tak
peduli dari Negara mana mereka berasal dan status apa yang mereka sandang,
ribuan penumpang kapal harus berjuang keras melakukan satu hal: bertahan hidup.

Menurut
Farah Tentang Buku Ini

Setelah rutin menulis tentang
berbagai buku yang aku baca & benar-benar memperhatikan apa bacaan yang
belum/sudah/akan dibaca selanjutnya, aku akhirnya menyadari bahwa ada banyak
buku historical fiction yang singgah dalam daftar
bacaanku. Entah karena aku suka iseng membayangkan bagaimana kebiasaan hidup
orang di masa lampau, karena jatuh hati dengan gaya dan vibe New York tahun 40-an ala film Kill Your Darlings, atau murni rasa penasaran
belaka, bacaan bertema historical fiction memang memiliki daya tarik
tersendiri untukku. Buku-buku sejenis ini sedikit-banyaknya juga
membuatku lebih mawas diri dan peduli dengan berbagai cerita/sejarah yang sudah
terjadi di dunia. These type of books make me want to educated myself more.
So, it’s a good thing I guess…

Dalam Salt To The Sea, Ruta
Sepetys menempatkan fokus cerita pada perjalanan panjang & brutal yang
dilalui oleh pengungsi Lituania di tengah kemelut Perang Dunia II.  Di
tengah usaha untuk bertahan hidup ketika Pasukan Uni Soviet mulai memukul
mundur Jerman, para pengungsi ini akhirnya berbondong-bondong dievakuasi
melalui jalur laut. Salah satu kapal yang digunakan dalam evakuasi itu, Wilhelm Gustloff, tanpa diduga akhirnya tenggelam
karena gempuran torpedo kapal selam Uni Soviet. Tragedi ini menewaskan sampai
9.400 orang, membuatnya menjadi salah satu tragedi maritim dengan korban jiwa
terbesar dalam sejarah. Namun, entah mengapa Tragedi Wilhelm Gustloff ini
menjadi salah satu lipatan dalam sejarah yang tidak terlalu diketahui banyak
orang saat ini.

Dalam sebuah wawancara dengan NPR, Sepetys berkata
bahwa ide untuk mulai menulis Salt To The Sea datang dari sepupu sang
ayah yang seharusnya ikut menumpang di atas Kapal Wilhelm Gustloff dan akhirnya
tidak jadi naik. Ayah Sepetys sendiri merupakan salah seorang pengungsi
Lituania di masa mudanya sebelum pindah ke Amerika Serikat. Proyek ini boleh
dikatakan adalah proyek yang lumayan personal bagi Sepetys. Dalam tulisan
penutup untuk novel ini, Ruta Sepetys juga menjelaskan bahwa dia “ingin
memberi suara” untuk korban dari peristiwa tragis ini.

Masih dalam wawancaranya dengan NPR,
Ruta Sepetys juga memaparkan hal ini tentang karakter dalam ceritanya;

“I wanted to explore what is it
like for a young person who is forced to leave everything they’ve ever known
and loved behind.”

Pernyataan ini sepertinya cukup
menjelaskan kenapa Sepetys memilih 4 karakter young adult (dalam rentang
usia belasan – awal 20 tahun) sebagai narator cerita dalam Salt To The Sea.

Salt To The Sea dituturkan dari sudut pandang 4 pemuda/pemudi dengan latar
belakang berbeda. Mereka dipertemukan di atas Kapal Wilhelm Gustloff di tengah
hiruk-pikuk pengungsi yang ingin menyelamatkan diri. Ke-4 orang ini memiliki
rahasia dan rasa takut masing-masing;

1. Joana

Seorang perawat Lituania yang mewarisi
darah Jerman dari sang ayah. Di satu titik, Joana merupakan tonggak kokoh
tempat bersandar bagi para karakter utama dan sampingan dalam cerita. Dibalik
semua itu, wanita ini selalu dihantui rasa bersalah.

2. Florian

Dijuluki “Si Ksatria” oleh
Emilia. Di awal novel dia terkesan dingin & tidak ramah. Seiring
berjalanannya cerita, kita akan sadar bahwa sikap ini adalah hasil dari
pengkhianatan yang pernah dia rasakan. Yep, Florian is a total tsundere.
There I said it
.

3. Emilia

Seorang gadis 15 tahun berdarah
Polandia. Aku benar-benar terkejut dengan perkembangan karakter Emilia. Dari
karakter yang awalnya membuatku skeptis, Emilia berubah menjadi karakter yang
benar-benar aku hormati. Emilia adalah tipe-tipe karakter yang lemah di luar
tapi sangat kuat di dalam. She’s awesome.

4. Alfred

Satu-satunya karakter yang sudut
pandangnya tidak memancing simpati pembaca. Alfred adalah tipe orang yang
terjebak dalam angan-angannya sendiri. Back story-nya lumayan
menyedihkan memang, tapi sulit sekali bersimpati pada Alfred setelah membaca
narasinya tentang banyak hal yang halu maksimal. To be fair, dia
memang menyadari beberapa hal krusial dalam cerita, tapi pengetahuan penting
ini tidak dia digunakan sama sekali. Jadi ya… Sia-sia.

Meskipun diceritakan oleh 4 narator
yang begitu berbeda, aku merasa di satu titik masing-masing narator ini pernah
bercerita tentang era yang lebih baik dan cerah dalam kehidupan mereka. Momen flashback
ini cukup jamak, apalagi ketika para narator kita sedang berada dalam
kondisi yang benar-benar terjepit. Mengingat hal baik dari masa lalu boleh jadi
adalah coping mechanism mereka (Self denial juga adalah coping
mechanism
umum dalam Salt To The Sea)
My heart feel really
heavy when reading those parts in the novel.
Selama membaca novel ini, aku
sering merasa diingatkan supaya bersyukur karena memiliki privilage untuk
hidup di era dan wilayah yang damai.

Format penulisan dalam Salt To
The Sea
sekilas mengingatkanku dengan format penulisan dalam novel historical
fiction
lain, All The Light We Cannot See. Alih-alih
memaparkan cerita dalam bab-bab panjang, Sepetys membagi Salt To The Sea menjadi
prosa singkat yang terkadang tidak sampai tiga halaman penuh. Narasi karakter
Alfred sendiri ditulis dalam bentuk surat yang dia bayangkan dalam hati untuk
sang kekasih. Format seperti ini membuatku bisa membaca Salt To The Sea dengan
cepat. Pembaca juga tidak direcoki informasi yang terlampau banyak.

Menariknya, beberapa pembaca merasa kurang cocok dengan
format penulisan seperti ini. Mereka merasa emotional attachment dengan
karakter dalam novel tidak terlalu terbangun karena singkatnya setiap bagian
dan minimnya back story yang detail. Aku merasa beruntung karena tidak
merasakan masalah ini. Aku juga sangat senang karena terjemahan Bahasa
Indonesia untuk novel ini begitu luwes dan mulus ketika dibaca. Feel dan
suasana novel asli aku rasa lumayan terwakilkan dalam versi terjemahan ini.

Alasan lain dibalik kenapa aku
menyukai novel 272 halaman ini adalah karena judul novelnya, Salt To The
Sea,
dengan mulus juga bisa ditemukan dalam narasi cerita. Dalam satu
bagian miris, Joana sempat berpikir bahwa dia akan “menjadi garam bagi
lautan [salt to sea]” Sejak dulu aku memang punya soft spot untuk
buku yang judulnya diambil dari frasa yang dapat ditemukan dalam narasi cerita.
Kalau dipikir-pikir lagi, judul ini agak menyedihkan memang. Apalagi kalau
dihubungkan dengan tragedi tenggelamnya Kapal Wilhelm Gustloff.

Harus aku akui, akhir cerita dalam Salt
To The Sea
terasa anti-klimaks dan terburu-buru setelah segala hal yang terjadi
di paruh awal novel. Akan tetapi, tujuan awal Ruta Sepetys dalam menulis novel
ini tercapai, Beliau memang mampu meng-highlight dan “memberi
suara” bagi peristiwa yang tidak banyak orang-orang sadari terjadi ini.

Aku akan merekomendasikan buku ini untuk
pecinta historical fiction (dan pembaca yang haus akan pengetahuan) di
luar sana.

* Laman Wikipedia ini merangkum informasi tentang
tragedi Kapal Wilhelm Gustloff.

Rating

4/5


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *