[28/01/17] Tentang Kumpulan Budak Setan Karya Eka Kurniawan, Intan Paramaditha & Ugoran Prasad


Suasana dari keseluruhan cerpen
dalam buku ini membawaku kembali bernostalgia ke era klasik cerita-cerita horor
di Indonesia. Dengan semua hal tidak masuk akalnya, segala siluman-siluman
yang terlibat dan para makhluk kasat mata di dalamnya.

Informasi Buku

Judul: Kumpulan Budak Setan
Penulis: Eka Kurniawan, Intan Paramaditha, dan Ugoran Prasad
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 9786020333649
Cetakan: kedua
Tahun publikasi: 2016 (pertama kali dipublikasikan pada tahun 2010)
Jumlah halaman: 174 halaman
Buku: milik pribadi
Temukan juga buku ini di Goodreads

Blurb

Kumpulan Budak Setan, kompilasi cerita horor Eka Kurniawan, Intan
Paramaditha, dan Ugoran Prasad, adalah proyek membaca ulang karya-karya
Abdullah Harahap, penulis horor populer yang produktif di era 1970-1980an. Dua
belas cerpen di dalamnya mengolah tema-tema khas Abdullah Harahap — balas
dendam, seks, pembunuhan — serta motif-motif berupa setan, arwah penasaran,
obyek gaib (jimat, topeng, susuk), dan manusia jadi-jadian.

Kupejamkan kembali mataku dan kubayangkan apa yang
dilakukannya di balik punggungku. Mungkin ia berbaring telentang? Mungkin ia
sedang memandangiku? Aku merasakan sehembus napas menerpa punggungku.

Akhirnya aku berbisik pelan, hingga kupingku pun nyaris tak mendengar:

“Ina Mia?” 
(“Riwayat Kesendirian,” Eka Kurniawan)

Jilbabnya putih kusam, membingkai wajahnya yang
tertutup bedak putih murahan – lebih mirip terigu menggumpal tersapu air – dan
gincu merah tak rata serupa darah yang baru dihapus. Orang kampung tak yakin
apakah mereka sedang melihat bibir yang tersenyum atau meringis kesakitan. 
(“Goyang Penasaran,” Intan Paramaditha)

“Duluan mana ayam atau telur,” gumam Moko pelan.
Intonasinya datar sehingga kalimat itu tak menjadi kalimat tanya. Laki-laki
yang ia cekal tak tahu harus bilang apa, tengadah dan menatap ngeri pada pisau
berkilat di tangannya. Moko tak menunggu laki-laki itu bersuara, menancapkan
pisaunya cepat ke arah leher mangsanya. Sekali. Sekali lagi. Lagi.

Darah di mana-mana. 
(“Hidung Iblis,” Ugoran Prasad)

Dalam Kumpulan Budak Setan, sembari
mengolah konvensi genre horor, kami juga memandang horor sebagai moda yang
dipertukarkan di berbagai ranah, dari panggung politik hingga kehidupan sehari-hari.
Horor tak melulu soal hantu, tetapi ruang liyan yang menciptakan kemungkinan
runtuhnya “realitas” yang seharusnya, tatanan yang kita percaya. Horor
beroperasi tak hanya dalam cerita setan, tapi juga dalam retorika politik
(misalnya saja penggunaan moda horor dalam film sejarah Pengkhianatan G30S/PKI,
atau, di tataran global, narasi seputar peristiwa 9/11) maupun hubungan
personal dan sosial yang sepintas lalu tak berbahaya (Goodreads).


Menurut Farah Tentang Buku Ini 
Aku sebenarnya juga tidak tahu sejak kapan kebiasaan ini dimulai. Akan tetapi, sama seperti ketika aku selesai membaca Mereka Bilang, Saya Monyet! di sela-sela waktu ketika sedang membaca The Geography of Bliss, aku menamatkan Kumpulan Budak Setan sembari membaca Max Havelaar oleh Multatuli yang baru aku baca setengahnya. Berbeda dari buku Max Havelaar yang bisa dibilang cukup “berat” dan memakan waktu lama untuk diselesaikan (setidaknya menurutku secara pribadi), aku dapat menamatkan Kumpulan Budak Setan dalam kurun waktu satu hari.


Kumpulan Budak Setan merupakan buku kumpulan cerita-cerita pendek ber-genre horor dari tiga orang penulis yaitu Eka Kurniawan, Intan Paramaditha dan Ugoran Prasad. Setiap penulis ini masing-masing menyumbangkan 4 cerita pendek hasil karyanya sehingga total cerita pendek dalam buku ini adalah 12 cerita.


Empat cerita pembuka dalam buku kompilasi cerpen ini ditulis oleh Eka Kurniawan. Kalau dibandingkan dengan karya-karya Eka Kurniawan yang pernah aku baca sebelumnya (seperti Cantik Itu Luka, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, dan Lelaki Harimau), keempat cerpen ini bisa dibilang cukup “jinak” dan tidak seliar cerita-cerita lain yang sudah ditulis Eka. Empat cerita pembuka ini tidak terlalu menakutkan bagiku.  


Empat cerita selanjutnya ditulis oleh Intan Paramaditha dan mulai sukses membuatku bergidik. Cerita-cerita pada bagian ini mulai membuatku geleng-geleng kepala dan merasa ngeri ketika membacanya. Dua cerpen favoritku pada bagian ini adalah “Pintu” dan “Si Manis dan Lelaki Ketujuh”. Bagi beberapa orang sepertinya kedua cerpen ini akan kurang nyaman untuk dibaca karena muatan seksual dan kekerasan (serta kegilaan) yang ada di dalamnya.

Semestinya aku tak datang, tapi dorongan itu—dorongan asing dari  luar diriku yang terus merongrong—membuatku ingin menemuinya terakhir kali. Seperti seorang pecandu, kuyakini ini sebagai ritual penghabisan sebelum kubereskan hidupku. Semacam ucapan selamat tinggal pada kejahatan yang pernah merayu dan tak akan kucicipi lagi. Akhir dongeng adalah kompromi, demikian ia bersabda (Si Manis dan Lelaki Ketujuh, Intan Paramaditha).

Empat cerita penutup yang ditulis oleh Ugoran Prasad sepertinya menjadi bagian klimaks dari kumpulan 12 cerita pendek ini. Cerita-cerita yang paling liar dan “mengganggu” ada di sini. Cerita bertajuk “Penjaga Bioskop” adalah favoritku di bagian ini (cerita ini bisa dikatakan agak lebih “indah” dibandingkan cerita-cerita liar lain yang ada).


Kumpulan Budak Setan sepertinya bukanlah pilihan yang tepat bagi pembaca yang tidak tahan dengan cerita bermuatan seksual kental dan penuh kekerasan. Kedua hal tersebut memang mendominasi kebanyakan cerita dalam kumpulan cerpen ini. 


Rating
3,5/5

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *