[28/07/19] Tentang Harry Potter and The Goblet of Fire Karya J.K. Rowling

“Numbing the pain for a while will make it worse when you finally feel it.”


Informasi Buku 
Judul: Harry Potter and the Goblet of Fire 
Penulis: J.K. Rowling 
Penerbit: Bloomsbury Publishing 
ISBN: 9781408894651 
Tahun publikasi: 2018 (pertama kali dipublikasikan tahun 2000 dalam Bahasa Inggris) 

Jumlah halaman: 640 halaman 
Buku: milik pribadi 
Bahasa: Inggris
Kategori umur: young adult
Temukan buku ini di Goodreads


Blurb

When the Quidditch
World Cup is disrupted by Voldemort’s rampaging supporters alongside the
resurrection of the terrifying Dark Mark, it is obvious to Harry Potter
that, far from weakening, Voldemort is getting stronger. Back at
Hogwarts for his fourth year, Harry is astonished to be chosen by the
Goblet of Fire to represent the school in the Triwizard Tournament. The
competition is dangerous, the tasks terrifying, and true courage is no
guarantee of survival – especially when the darkest forces are on the
rise.

These adult editions have been stylishly redesigned to showcase Andrew Davidson’s beautiful woodcut cover artwork. – Goodreads

Menurut Farah Tentang Buku Ini

Tulisan berikut merupakan tulisan ke-2 dalam rangkaian Harry Potter 5-Days Review Marathon untuk memperingati ulang tahun Harry Potter yang jatuh pada tanggal 31 Juli.
Beware of spoiler! Proceed with
caution.
Ketika membuka halaman pertama The Goblet Of Fire, aku seolah langsung bisa merasakan bagaimana
berbedanya buku ini dari 3 buku pendahulunya. Dari tampilan fisik buku dan tata
letak tulisan saja, novel The Goblet Of Fire
seperti menunjukkan bagaimana kisah Harry mulai beranjak ke ranah lebih “gelap”
dan serius. Hal yang pertama kali menangkap perhatianku adalah betapa
signifikannya penurunan spacing antar
paragraf dalam novel ini. Bersamaan
dengan tampilan narasi yang lebih rapat, ukuran huruf dalam keseluruhan novel juga
jauh lebih kecil. You also know things
getting serious when the novel growing thicker in pages count
. Di poin
inilah aku merasa seri ini perlahan meninggalkan akar kanak-kanaknya
dan melangkah menuju “masa remaja” yang penuh ketidakpastian. 
Setelah absen dalam Prisoner
of Azkaban
, You-Know-Who langsung
menyapa pembaca di bab pembuka The Goblet
Of Fire
. Sayang sekali seorang Muggle
kurang beruntung akhirnya meregang nyawa di tangan penyihir yang terobsesi
dengan keabadian ini. Ini hanyalah pembuka dari serangkaian kematian lain yang
menanti dalam 3 novel penerusnya. Kematian bersisian dengan pembunuhan memang
bukan barang baru dalam semesta Harry Potter. Dalam 3 buku pembuka seri ini pun,
kematian dan pembunuhan selalu mengikuti di setiap sudut. Hal yang berbeda dalam
The Goblet Of Fire adalah bagaimana
eksplisit dan gamblangnya kematian muncul dalam cerita.
Dalam Chamber of
Secrets,
kematian Moaning Myrtle dipotret
lewat flashback dan meskipun (secara
teknis) adalah pembunuhan – there’s
nothing explicit about it
. Pembantaian massal yang dituduhkan terhadap Sirius
Black sendiri adalah kejadian yang begitu mengerikan. Namun, minimnya
deskripsi detail membuat pembaca tidak sadar bagaimana disturbing-nya bagian ini. Dalam pembuka novelnya, The Goblet of Fire secara gamblang langsung
menunjukkan Voldemort sebagai villain yang
bukan hanya berbahaya karena kemampuan sihir tidak manusiawinya, tapi berbahaya
karena tidak memiliki empati/rasa bersalah dan memang tidak pikir dua kali
untuk membunuh demi mencapai tujuannya. Aku memang sudah sadar akan fakta ini
sejak buku pertama ketika dia menempatkan luka legendaris itu di dahi Harry,
tapi membaca detail dari tindakan ini dalam timeline
cerita di saat sekarang membuat fakta ini lebih “nyata” dan bukan hanya
sekedar isapan jempol belaka.
Di sisi lain, aku mengapresiasi bagaimana novel The Goblet of
Fire

menyinggung beberapa karakter dengan hidden depth yang tidak dieksplorasi dalam versi film adaptasi. Yes, I’m talking about Victor Krum. Turn
outs he’s not merely a pure jock the way film potrayed him to be
. Aku juga
mengapresiasi bagaimana The Goblet of Fire mempertahankan tradisi twist di saat yang tepat dan membuat pembaca tidak mampu berkata-kata ala Prisoner
of Azkaban.
Meskipun menuju ke arah yang lebih suram, aku sempat
terkejut karena membaca The Goblet of
Fire
ternyata tidak menimbulkan emosi sekuat yang aku perkirakan. Iya, aku
memang geleng-geleng kepala karena teenage
angst
mulai terasa dibuku ke-4 ini. Aku bahkan sempat
menunda-nunda  membaca novel
The Goblet of
Fire
karena merasa belum siap menghadapi killing spree yang disponsori Voldemort.
Siapa sangka ternyata The Goblet of Fire hanyalah
pemanasan menuju buku yang benar-benar membuat frustasi dan emosi; Order of the Phoenix.
Sama seperti bagaimana bab terakhir dalam novel ini
diberi judul The Beginning, The Goblet of Fire memang hanya awal bagi gejolak emosi luar biasa yang akan dirasakan pembaca dalam Order of the Phoenix dan buku-buku
selanjutnya.

As Hagrid had said, what would come, would come… and he would have to meet it when it did.”

The Enevitable Novel vs. Film Part
Aku bukanlah
penggemar berat dari versi film adaptasi novel ini. I’m honestly dying because of Harry and Ron horrible hair cut.
Beberapa bagian dalam film memang mampu membuat terpana. The Barty Crouch revelation is golden if you ask me. Namun, secara
keseluruhan aku merasa film ini agak underwhelming.
Aku yakin segenap kru melakukan yang terbaik dalam film adaptasi ini, tapi aku tetap
merasa ada satu atau lain hal yang hilang. Kalau diminta merangking versi film
adaptasi, niscaya tidak akan mengejutkan kalau aku meletakkan film ini di
bagian bawah.
Membaca versi
novel merupakan perkara berbeda. Membaca The
Goblet of Fire is a revelation
because it’s so good. Tanpa ragu aku akan meletakkan versi novel ini dalam
peringkat teratas novel Harry Potter favoritku. Konteks yang ditawarkan novel juga membuat banyak hal dalam versi film The
Goblet of Fire
menjadi jauh lebih masuk akal. Mulai dari detail tentang drama
Keluarga Crouch sampai usaha tidak setengah-tengah Barty Crouch Jr. dalam
pengabdiannya untuk Voldemort. Mungkin tidak berlebihan kalau aku menilai
Crouch Jr. sebagai salah satu Death Eaters
paling accomplished di antara
pengikut You-Know-Who yang lain. I mean dude actually get things done! (Ini
bukanlah hal yang patut dibanggakan tentu saja) Mungkin prestasi ini hanya bisa
disaingi oleh sepak terjang Snape yang sampai saat ini… Masih tidak aku pahami
motivasinya. I just can’t understand him
at all you guys
.
Kesimpulannya
adalah ini;
Aku punya
hubungan love and hate relationship dengan The Goblet of Fire;
Love; dengan novelnya yang kaya konteks
dan se-wow yang diindikasikan judulnya.
Hate; dengan versi film adaptasinya yang di beberapa bagian terasa seperti missed opportunity.
Rating
4,5/5

Daftar lengkap dari ulasan untuk seri novel Harry Potter dalam Far’s Books Space dapat dilihat dalam kiriman ini. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *