[29/07/19] Tentang Harry Potter & The Order of The Phoenix Karya J.K Rowling

“…I
know nothing of the secrets of death, Harry, for I choose my feeble imitation
of life instead…”

Informasi Buku 
Judul: Harry Potter and the Order of The Phoenix
Penulis: J.K. Rowling 
Penerbit: Bloomsbury Publishing 
ISBN: 9781408894750 
Tahun publikasi: 2018 (pertama kali dipublikasikan tahun 2003 dalam Bahasa Inggris) 

Jumlah halaman: 816 halaman 
Buku: milik pribadi 
Bahasa: Inggris
Kategori umur: young adult
Temukan buku ini di Goodreads


Blurb

After the Dementors’ attack on his cousin Dudley, Harry knows he is about to become Voldemort’s next target.

Although
many are denying the Dark Lord’s return, Harry is not alone, and a
secret order is gathering at Grimmauld Place to fight against the Dark
forces.

Meanwhile, Voldemort’s savage assaults on Harry’s mind are growing stronger every day.

He must allow Professor Snape to teach him to protect himself before he runs out of time. – Goodreads

Menurut Farah Tentang Buku Ini

Selamat membaca tulisan ke-3 dalam rangkaian
Harry Potter 5-Days Review Marathon.
As
usual, some ~sirius~ spoilers are present. So please proceed with caution!
Dari 4 buku yang dirilis pasca The Prisoner of Azkaban, The Order of the Phoenix adalah sequel dengan ekspektasi paling minim bagiku
yang belum membacanya. Dalam kepala, aku sudah memperkirakan bagaimana The Goblet of Fire akan memunculkan perasaan
melankoli karena sudah beranjak ke arah yang lebih serius dalam cerita. Untuk The Half-Blood Prince & The Deathly
Hallows
sendiri, aku sudah menyiapkan diri akan betapa stressful­-nya menyelesaikan dua buku bersangkutan.
Anehnya, aku tidak yakin harus mengekspektasikan apa dari The Order of the Phoenix. Ya, lewat pengetahuan yang terbatas aku
memang sadar bahwa ada Umbridge yang merupakan mimpi buruk bagi semua orang kecuali Mr. Filch mungin. Aku juga sadar dengan fakta bahwa kematian akan menjemput salah satu
orang terdekat Harry. Tapi, aku tetap tidak bisa memperkirakan emosi macam apa
yang akan dipicu novel ini. Takjub ala The
Prisoner of Azkaban?
Terpana sekaligus takut ala The Goblet of Fire? I truly don’t know.
Setelah ditinggal dengan sense of doom & lost tapi
tetap berusaha positif dalam bab terakhir The
Goblet of Fire
, Harry menghabiskan bagian awal The Order of the Phoenix dengan rasa frustasi yang teramat sangat. Sebagai
pembaca, aku seolah “berbagi” emosi dengan Harry yang diliputi rasa marah,
bingung, frustasi, dan tidak berdaya di sepanjang cerita. Akhir-akhir ini, tidak
banyak novel yang bisa mengaduk emosiku sedemikian rupa seperti The Order of the Phoenix. Rasa frustasi
yang aku rasakan juga menjelaskan kenapa aku sempat vakum beberapa minggu dari  membaca novel 800-an halaman ini karena tidak sanggup meng-handle stress yang muncul. Yep, the novel is greatly affecting me like
that
Daftar sub-plot dan event
dengan potensi stress-inducing seolah
tidak ada habisnya dalam The Order of the
Phoenix;
Serangan misterius Dementor,
the unnecessary hearing, usaha Umbridge menguasai Hogwarts¸ cold shoulder yang harus diterima Harry
dari orang-orang di sekelilingnya, perpecahan Keluarga Weasley, nightmarish occlumency lessons, flashback ingatan
Snape ke era Marauder yang jauh dari kata menyenangkan, pertemuan bittersweet dengan
Neville di St. Mungo, fakta-fakta yang belakangan muncul tentang Kreacher si house elves… Belum lagi bagian teenage angst dalam cerita yang mulai
memanas;

“Well, you see,’ said Hermione, with the patient air of someone explaining that one plus one equals two
to an over-emotional toddler
, you shouldn’t have told her that you wanted
to meet me halfway through your date.’*

*Rowling knack for hilarious description never fails to
amazed me . Yes, the teenage angst is annoying at times but her golden
description never fail to brighten the day.*
The conclusion of
this rant is this
; The Order of The Phoenix is a stress trap in a form of a
thick novel.
I advise to prepare yourself thoroughly before reading it
.
Tidak adil
rasanya kalau aku tidak menggaris-bawahi juga bagian yang lebih tenang dalam The Order of The Phoenix. Dari tumpukan
momen melelahkan, ada beberapa momen lain yang stand out karena rasa damai yang dibawanya. Setelah melewati bagian
yang membuat frustasi, aku sempat terkejut dengan betapa ringan dan cepatnya
perjalanan untuk menamatkan novel paling tebal dalam seri Harry Potter ini. Berikut
adalah beberapa bagian menyenangkan yang paling memorable bagiku dalam The
Order of The Phoenix
;
·      
Bagian ketika kita dikenalkan pada Luna
Lovegood. Kemunculan Luna adalah salah satu highlight
dari The Order of the Phoenix.
Karakter Luna yang tenang adalah oase di tengah karakter-karakter hot-tempered dan mudah panik yang membanjiri Harry Potter. Luna dengan pembawaan
eksentriknya juga tidak segan menyuarakan fakta dan tidak mempermanis
kata-kata. She is truly a delight.
·      
Bagian
ketika Harry & Hermione melakukan perjalanan sebagai duo.
Petualangan
duo ini dari waktu ke waktu adalah salah satu highlight favoritku dalam keseluruhan seri Harry Potter. Aku
mengendus ada pola dalam kemunculan Harry & Hermione. Mengingat bagaimana
duo Harry&Hermione muncul di buku pertama (dalam usaha mereka untuk
mentransfer Sang Naga, Norbert) & buku ketiga (dalam petualangan time-turner yang asyik ketika dinikmati
tanpa terlalu dikupas mekanismenya), I
expect they will appear again on book 7, but most likely the mood will be somber
on that one
.
·      
Bagian ketika novel fokus pada detail terkait
kehidupan akademik di Hogwarts (lihat Bab 31 bertajuk O.W.L.S dalam novel ini).
Hal yang berkaitan dengan tetek bengek akademik memang strangely soothing dalam novel dengan level stress tinggi ini. As weird as it sounds, aku memang sangat
menikmati narasi tentang karakter fiksi yang melalui rintangan akademik (tapi
tidak terlalu suka melalui tantangan akademik itu sendiri *ahem*)
>    Harry’s teaching moments at DA is a great comfort too.

Rangkaian
keputusan tidak bijak memang dibuat dalam The Order of the Phoenix. Keputusan-keputusan ini pun pada akhirnya menghasilkan
konsekuensi yang tidak kalah memprihatinkan. Penutup The Goblet of Fire boleh jadi meninggalkan perasaan sense of doom. Akan tetapi, perasaan ini
sedikit terobati dengan momen ketika Harry menyerahkan hadiah Triwizard Tournament kepada Fred & George. Menamatkan The Order of the Phoenix sendiri murni
meninggalkan perasaan bittersweet atas
berbagai hal yang sudah terlanjur pergi dan tidak akan kembali lagi.
The Enevitable Novel vs. Film Part
Sebagai sumber paparan pertamaku terhadap dunia Harry
Potter, versi film adaptasi The Order of
the Phoenix
tidak terlalu meninggalkan kesan khusus bagiku sampai ketika menyaksikan
filmnya lagi beberapa minggu lalu. Yang pertama kali muncul di kepala adalah
bagaimana aku begitu menyukai sinematografi film ini. Banyak bagian dalam novel
yang hilang dan dimodifikasi dalam versi film tentu saja. Namun, tidak seperti
film adaptasi The Goblet of Fire yang
aku rasa bisa menjadi sesuatu yang lebih, aku cukup legowo dengan film
adaptasi The Order of the Phoenix.
Versi film The
Order of the Phoenix
memang lebih fokus pada plot point besar dan meninggalkan berbagai sub-plot yang kaya dari novel sumbernya. Tetap saja, aku
dengan ringan masih dapat mengatakan bagaimana puasnya aku dengan dua medium
berbeda yang berusaha mengisahkan The
Order of the Phoenix
ini. Novel memang jauh lebih kaya dalam hal konteks, versi
film di sisi lain benar-benar memanjakan mataku and I’m totally here for it. *The
scene of Sirius death is quite memorable by the way
*
Yep, I’m quite content with everything until now.

Rating
4,5/5

Daftar lengkap dari ulasan untuk seri novel Harry Potter dalam Far’s Books Space dapat dilihat dalam kiriman ini.  


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *