I wanted only to try to live in accord with the promptings which came from my true self. Why was that so very difficult?
Pertama kali dipublikasikan pada: 1919
Blurb
Emil Sinclair is a young boy raised in a bourgeois home, amidst what is described as a Scheinwelt, a play on words that means “world of light” as well as “world of illusion”. Emil’s entire existence can be summarized as a struggle between two worlds: the show world of illusion (related to the Hindu concept of maya) and the real world, the world of spiritual truth. In the course of the novel, accompanied and prompted by his mysterious classmate ‘Max Demian’, he detaches from and revolts against the superficial ideals of the world of appearances and eventually awakens into a realization of self.
Not gonna lie but this book is actually quite heavy for my taste
Dengan bekal rasa penasaran dan informasi minim yang aku dapatkan dari blurb buku, aku mulai membaca Demian. Meskipun terbilang tipis (sekitar 176 halaman), di pertengahan novel aku mulai merasakan bahwa untuk ukuran kisah coming-of-age buku ini terbilang lumayan berat. Belum lagi dari cara penulis menarasikan bukunya, tiap kalimat terasa begitu mengena, dalam, dan disusun dengan hati-hati. Buku yang “berat” dan lumayan personal ternyata bukan bacaan mudah ya.
Lewat Demian jugalah aku menemukan istilah baru terkait genre buku yaitu: Bildungsroman.
In literary criticism, a Bildungsroman (German pronunciation: [ˈbɪldʊŋs.ʁoˌmaːn]; Bildung, meaning “education,” and Roman, meaning “novel”; English: novel of formation, education, culture; coming-of-age story)[a][2] is a literary genre that focuses on the psychological and moral growth of the protagonist from youth to adulthood (coming of age),[3] in which character change is extremely important. – Wikipedia
Pada awalnya aku sempat mengira bahwa Demian-lah Bildungsroman pertama yang pernah aku baca. Ingatanku tidak sepenuhnya tepat karena beberapa buku yang sebelumnya pernah aku baca ternyata juga bisa dikategorikan dalam genre ini, di antaranya:
- Candide karya Voltaite (sepertinya satire tingkat tinggi dalam kisah di novel ini membuatku tidak sadar bahwa ini juga dapat dikategorikan Bildungsroman—
Um kurang lebih) - Rangkaian seri Harry Potter karya J.K. Rowling (yep definitely a coming-of-age story)
- Looking for Alaska dan Paper Town karya John Green (tema sebagian besar novel John Green memang tidak jauh-jauh dari perkara ini bukan?)
- Dan masih banyak buku lain dalam daftar to-be-read ku yang bisa dimasukkan dalam kategori ini.
Perjalanan pencarian (dan penerimaan) jati diri seorang Emil Sinclair dipicu oleh kemunculan Max Demian dalam kehidupannya. Alih-alih menjadi tokoh yang (pada awalnya) menyakini kehidupan “lurus” dan kemudian “membangkang” dan keluar dari zona nyaman hidupnya. Tokoh Sinclair dalam Demian dari awal sudah menyadari bahwa dirinya tidak pernah cocok di lingkungan yang “penuh cahaya”. Sinclair sudah merasa bahwa dia lebih cocok tempat yang “lebih gelap”.
“Nonetheless, I felt wretched. I lived in an orgy of self-destruction and, while my friends regarded me as a leader and as a damned sharp and funny fellow, deep down inside me my soul grieved.” – Page 64.
Kehadiran Demian dalam hidupnya membuat Sinclair mulai menyakini dan menerima perasaannya ini. Setelah berkelana ke beberapa tempat di internet, aku lumayan setuju dengan Wikipedia bahwa tema besar dari Demian adalah tentang penerimaan terhadap dualitas (embracing duality) dan kesadaran spiritual (spiritual enlightenment).
Setelah membaca bagian akhir novel yang membahas tentang latar belakang penulisan Demian, sedikit banyaknya aku mulai mengerti kenapa novel ini terasa personal dan lumayan berat. Demian ternyata ditulis di salah satu masa-masa tersulit dalam kehidupan Hermann Hesse. Tidak heran rasanya kalau pembaca dapat merasakan curahan hati penulis dalam karya ini.
“If you need something desperately and find it, this is not an accident; your own craving and compulsion leads you to it.” – Page 84.
Hermann Hesse ternyata juga menulis Demian ketika telah mencoba metode psychoanalysis.
Such themes appear throughout Demian as semi-autobiographical reflections upon Hesse’s own exploration of Jungian philosophy. – Wikipedia
Mungkin ini adalah salah satu faktor kenapa Demian terasa lumayan berat untuk ukuran novel.
Tidak hanya itu saja, kita juga dapat menemukan beberapa simbolisme di sepanjang kisah dalam Demian. Aku sendiri sejujurnya belum mengerti semua simbolisme-simbolisme itu sepenuhnya.
Fakta bahwa Hermann Hesse seolah-seolah membuat semi-autobiografi lewat karya fiksinya sendiri membuatku teringat pada buku Kurt Vonnegut yang aku baca beberapa bulan lalu.
Kalau kau adalah pecinta buku-buku/film bertema coming-of-age dan menikmati karya-karya klasik, sepertinya Demian adalah buku yang tepat untukmu.
Rating
3,5/5