[20/07/18] Tentang The Subtle Art of Not Giving A F*ck Karya Mark Manson

“Who you are is defined by what you’re willing to struggle for.”

Informasi Buku

Judul: The Subtle Art of Not Giving A F*ck: Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat 
Penulis: Mark Manson 
Penerjemah: F. Wicakso 
Penerbit: Grasindo 
ISBN: 9786024526986 
Cetakan: Ketiga (April 2018) 
Tahun publikasi: 2018 (Pertama kali dipublikasikan 2016) 
Jumlah halaman: 256 halaman 
Buku: milik pribadi 
Temukan buku ini di Goodreads 
Blurb
Selama beberapa tahun
belakangan, Mark Manson—melalui blognya yang sangat populer—telah
membantu mengoreksi harapan-harapan delusional kita, baik mengenai diri
kita sendiri maupun dunia. Ia kini menuangkan buah pikirnya yang keren
itu di dalam buku hebat ini.

“Dalam hidup ini, kita hanya punya
kepedulian dalam jumlah yang terbatas. Makanya, Anda harus bijaksana
dalam menentukan kepedulian Anda.” Manson menciptakan momen perbincangan
yang serius dan mendalam, dibungkus dengan cerita-cerita yang menghibur
dan “kekinian”, serta humor yang cadas. Buku ini merupakan tamparan di
wajah yang menyegarkan untuk kita semua, supaya kita bisa mulai
menjalani kehidupan yang lebih memuaskan, dan apa adanya.
Menurut Farah Tentang Buku Ini
Bahasa santai dan bebas yang digunakan Mark Manson dalam penulisan buku ini bisa jadi merupakan salah satu alasan kenapa The Subtle Art of Not Giving A F*ck digandrungi banyak orang. Alih-alih menggurui, buku ini lebih terasa seperti mengolok-olok dan menggelitik pemikiran pembaca. Membaca lembar demi lembar buku ini seperti mendengar omelan teman baik yang menyebalkan tapi memiliki tujuan baik untuk menyadarkan kita. Teman baik tidak akan sungkan untuk menegur ketika kita salah, bukan? Kalau kau bosan dengan buku pengembangan diri yang pada intinya hanya menyemangati pembaca untuk menjadi lebih baik, lebih positif, dan lebih-lebih lainnya, buku ini adalah buku untukmu.

Satu bagian dalam The Subtle Art of Not Giving A F*ck yang menjelaskan tentang bagaimana setiap orang menderita, hanya kadar penderitaan setiap oranglah yang berbeda dan bagaimana penderitaan/masalah harus dihadapi bukan dihindari sedikit banyaknya mengingatkanku pada buku Man’s Search For Meaning karya Viktor E. Frankl. Masalah memang pasti akan terus muncul dalam hidup kita. Akan tetapi, masing-masing kita memiliki tanggung jawab dan kebebasan sendiri dalam memutuskan bagaimana kita akan menanggapi masalah/penderitaan tersebut. Pesan tentang bagaimana penderitaan sebenarnya diperlukan dalam hidup dan tidak melulu harus dibenci kemunculannya juga dalam bisa ditemukan dalam buku ini.

Di akhir bab yang bertajuk Anda Tidak Istimewa, Manson menggambarkan bagaimana “mengistimewakan” diri terkadang tidak selalu berdampak bagus. Manson menjelaskan bahwa untuk mencapai sebuah kesehatan emosional, setiap orang harus belajar menerima kebenaran hidup yang hambar dan biasa tentang diri mereka masing-masing. Dengan menghilangkan impian muluk-muluk yang berasal dari ego karena  menganggap  diri sendiri adalah orang istimewa, barulah kita dapat menuntaskan apa yang benar-benar kita inginkan dan bukan malah terperangkap dalam kecemasan dan tekanan ketika menjadi orang istimewa. Ketika ini diterapkan, kita akhirnya dapat mengapresiasi hal kecil dan sederhana di sekitar kita. Bagian tentang mengapresiasi hal kecil ini mengingatkanku pada kesan yang aku dapat pasca membaca The Little Prince karya Antoine de Saint-Exupéry.

Secara pribadi, membaca buku ini memang membuatku merasa lebih baik. Pesan dalam buku ini tentang bagaimana less is more sedikit banyaknya bisa membantu menenangkan pikiranku yang sedang ruwet ini. Percaya atau tidak, saat ini aku sedang dilanda dilema yang dialami Shikamaru di awal kisah Shikamaru Hiden. Akhir-akhir ini, kita seringkali tergoda dan dipacu untuk melakukan lebih dan lebih lagi hampir dalam semua hal, sampai akhirnya malah stress dan terbebani sendiri. This book put me in place and help me see things more clearly. Karena memang benar, kita tidak harus peduli akan semua hal. Kita hanya perlu fokus pada hal-hal yang memang bermakna untuk kita. Selain itu, alih-alih memaksakan diri untuk selalu positif sepanjang waktu, alangkah lebih baik kalau kita belajar menerima dan menangani emosi negatif.

Sama seperti Frankl yang menghubungkan pengalaman pribadinya di kamp konsentrasi NAZI dengan ilmu logoterapi yang digagasnya, dalam The Subtle Art of Not Giving A F*ck Mark Manson juga menggunakan contoh pengalaman pribadinya (dan pengalaman orang lain) untuk menjelaskan tentang poin yang digagasnya dalam menjadi individu yang bisa bersikap bodo amat pada hal-hal yang tidak terlalu penting. Seperti yang diungkapkan dalam artikel wikipedia ini:



The book is a reaction to the self-help industry and what Manson saw
as a culture of mindless positivity that isn’t practical or helpful for
most people.
Manson uses many of his own personal experiences to illustrate how
life’s struggles often give it more meaning, which, he argues, is a
better approach than constantly trying to be happy. Manson’s approach and writing style have been categorized by some
as contrarian to the general self-help industry, using blunt honesty
and profanity to illustrate his ideas.

Beberapa masalah yang aku temukan dalam buku ini terletak pada penulisannya. Masih ada beberapa kesalahan pengetikan dan tanda baca yang aku temukan. Selain itu, meskipun secara keseluruhan terjemahannya sudah bagus dan mudah dimengerti, aku masih bingung dan lost in translation di beberapa bagian menjelang akhir dari buku. Semoga ini dapat menjadi saran untuk perbaikan di masa yang akan datang ya.

Aku rasa penggemar buku pengembangan diri di luar sana harus membaca buku ini.

Penasaran dengan blog ternama penulis buku ini? Here you go -> https://markmanson.net/

Rating
4/5 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *