But let me tell you, what came after death was worse than falling.
Informasi Buku
9781947856752
publikasi: 2019 (Juni)
halaman: 238 halaman
Inggris
umur: adult
buku ini di Goodreads
Blurb
When Jordanian student
Siwar Salaiha is murdered on her birthday in College Park, Maryland, her
consciousness survives, finding refuge in the body of a Seattle baby
boy. Stuck in this speech delayed three-year old body, Siwar tries but
fails to communicate with Wyatt’s parents, instead she focuses on
solving the mystery behind her murder. Eventually, her consciousness
goes into a dormant state after Wyatt undergoes a major medical
procedure.Fast-forward twenty-two years. Wyatt is a
well-adjusted young man with an affinity towards the Middle East and a
fear of heights. While working on his graduate degree in Middle Eastern
studies, Wyatt learns about Siwar’s death, which occurred twenty-five
years ago. For reasons he can’t explain, he grows obsessed with Siwar
and spends months investigating her death, which police at the time
erroneously ruled as suicide. His investigation forces him to open a
door he has kept shut all his life, a spiritual connection to an unknown
entity that he frequently refused to acknowledge. His leads take him to
Amman, Jordan where after talking to her friends and family members and
through his special connection with the deceased, he discovers a clue
that unravels the mystery of her death. Will Siwar get justice after
all?
Menurut Farah Tentang Buku Ini
*And… I don’t think they will release this book after what happened either*
***
Pernahkah kau bertanya-tanya tentang apa yang akan terjadi
setelah kematian?
hal terakhir yang ada di benak Siwar. Siwar semestinya berbahagia malam itu.
Impian dan harapannya sedikit demi sedikit mulai terwujud. Keinginannya untuk keluar
dari Jordania, tempat dimana dia merasa terkekang, sudah tercapai. Impiannya untuk
menjadi seorang penulis mulai menjadi nyata setelah dia berhasil menjadi
mahasiswi creative writing di Amerika
Serikat. Siwar juga tidak lagi ditekan terus-menerus oleh orang tua, keluarga,
serta lingkungannya untuk menjadi seseorang yang mereka mau. Segala kebebasan
ini sayangnya tidak kunjung membawa kepuasan dalam hati Siwar.
merasa fitting dan belong dimana pun dia berada. Ketika
kematian menjemput malam itu, jiwa Siwar malah terperangkap dalam tubuh Wyatt, seorang
bayi laki-laki yang lahir tepat ketika dia meregang nyawa. Dalam rentang waktu 2
dekade berikutnya, kita akan melihat perjuangan Siwar untuk menuntut keadilan
atas kematiannya malam itu. Apakah keadilan bisa dicapai dengan kondisi Siwar
yang terperangkap dalam tubuh Wyatt ini?
futuristik ala kisah science fiction
dalam novelnya. Setelah dipikir-pikir lagi, kisah Siwar terlalu realistis dan
kontemporer untuk dikelompokkan sebagai science
fiction. Di lain sisi, fakta bahwa Siwar “hidup” dan ada dalam diri Wyatt
membuat novel ini terasa memiliki unsur magical
realism tanpa benar-benar menjadi buku magical
realism. Novel ini membuatku sadar bahwa ada kelompok besar untuk buku
dengan karakterikstik “ajaib” semacam ini.
makna pasti dari istilah ini. Menurut Wikipedia, speculative fiction dapat didefinisikan
sebagai genre yang menjadi “payung” untuk kisah fiksi yang memiliki elemen
cerita yang tidak ada dalam dunia nyata seperti elemen supernatural, futuristik,
atau imaginatif. Dari definisi ini, dapat kita simpulkan bahwa science fiction atau magical realism berada di bawah payung genre
ini. They Called Me Wyatt sendiri memiliki
elemen magis dan futuristik dalam ceritanya tanpa benar-benar bisa digolongkan
dalam satu genre spesifik. Oleh karena itu, novel ini akhirnya dikelompokkan
dalam speculative fiction.
Good Things About This Novel
fiction untuk mengupas isu tentang identitas dalam cerita Siwar dan Wyatt
ini adalah ide menarik dan segar. Aku benar-benar tidak sabar ingin mengetahui apa
yang akan terjadi selanjutnya dalam novel ini. Gaya penulisan Natasha Tynes
yang begitu mengalir juga membuat They Called Me Wyatt menjadi bacaan page-turner. Aku bahkan menyelesaikan 50%
novel ini hanya dalam sekali duduk saja.
setiap orang boleh dibilang pernah melalui dilema yang dirasakan Siwar ketika
tumbuh besar. Pembaca yang tumbuh di lingkungan masyarakat yang rigid dan kaku
bisa sedikit banyaknya relate dan
paham dengan kecenderungan Siwar untuk membangkang. Di paruh awal novel,
pembaca akan dibawa flashback dan
mengikuti narasi Siwar tentang perjalanannya menemukan diri dan menerima identitas.
Aku sangat relate dengan bagian
ketika Siwar mengatakan bahwa dia tidak pernah benar-benar merasa fitting dan belong dimana saja. Walaupun Siwar yakin bahwa Jordania adalah
tempat dia kembali (place where she’s
belong), gadis ini tidak pernah benar-benar cocok (fitting) di sana. Ini
bisa kita lihat dari deskripsi Siwar tentang perilakunya yang sering kali “melawan”
norma. Di Amerika Serikat sendiri, Siwar akhirnya merasa cocok (fitting) dengan lingkungan sekitarnya.
Akan tetapi, statusnya sebagai imigran pendatang yang notabene-nya adalah orang
asing membuat Amerika Serikat tidak pernah benar-benar menjadi tempat dia belong. Pergolakan batin Siwar ini begitu
menarik ketika dibaca. Saking menariknya, aku hampir dibuat lupa bahwa novel
ini seharusnya juga merupakan novel murder
mystery (bukan novel self-discovery atau
semacamnya).
Not-So-Good Things About This Novel
Wyatt terbilang lambat. Setelah menghabiskan paruh awal buku dengan cerita
dari sudut pandang Siwar, pembaca akhirnya membaca narasi dari sudut pandang
Wyatt, si anak laki-laki tempat jiwa Siwar terperangkap. Di paragraf awal aku
memang sempat menjelaskan bagaimana relatable-nya
Siwar sebagai sebuah karakter. Akan tetapi, seiring dengan berakhirnya novel
ini dan setelah membaca sudut pandang Wyatt, entah kenapa Siwar berubah menjadi
karakter ambigu yang dipertanyakan secara moral. Dia tidak terlalu likeable lagi (aku bahwa sempat menganggap dia annoying di beberapa bagian).
tubuh Wyatt benar-benar membuatku geleng-geleng kepala dan miris sendiri. Di
satu sisi, aku memang kasihan dengan kondisinya yang terperangkap dalam tubuh
orang lain. Di sisi lain, aku juga merasa kasihan pada Wyatt yang seolah-olah
tidak pernah “benar-benar” punya kuasa atas tubuh dan keputusannya sendiri. Meskipun
terusik secara moral, aku masih bisa mengapresiasi upaya Natasha Tynes dalam
mengupas tema tentang identitas diri dengan cara ini. Akan tetapi, masih ada beberapa alasan
lain yang membuat They Called Me Wyatt
berubah dari bacaan 4 bintang menjadi 2,5-3 bintang untukku.
lambat benar-benar mempengaruhi pengalamanku membaca bagian penutup novel.
Setelah terasa begitu mengalir di paruh awal, keputusan penulis untuk mulai memecahkan
misteri kematian Siwar hanya di paruh akhir novel malah membuat They Called Me Wyatt terasa ditutup
dengan terburu-buru. Pengalaman membacaku juga menjadi tidak terlalu enjoyable lagi karena tiba-tiba ada
begitu banyak hal yang berusaha penulis masukkan ke dalam beberapa halaman terakhir
novel. Pemecahan misteri yang terburu-buru juga membuat twist yang harusnya mengejutkan pembaca malah menjadi biasa saja.
Kalau kau adalah seorang penggemar berat novel murder mystery, mungkin kau akan kecewa dengan bagaimana bagian murder mystery di-handle dalam novel 238 halaman ini.
hal tidak penting tanpa alasan yang jelas. Aku sebal sendiri setelah membaca
bagian ini karena karakter yang bersangkutan berubah menjadi annoying
dalam benakku.
In Conclusion
(apalagi kalau dibandingkan dengan bagian awal novel yang sungguh menarik), They Called Me Wyatt tetap menjadi
bacaan yang fresh untuk mengawali
bulan April ini. Lewat perubahan terhadap pacing
cerita, aku yakin They Called Me
Wyatt dapat menjadi bacaan yang lebih enjoyable
lagi.
cara dan gaya penceritaan yang anti-mainstream,
They Called Me Wyatt boleh jadi
merupakan bacaan yang cocok untukmu.
Artikel Lain Yang Ada Dalam Tulisan Ini
Rating
2,5/5 (dibulatkan menjadi 3 dalam ulasanku di Instagram, Goodreads, & Netgalley) No-Rating