Tentang Cinta Tak Ada Mati Karya Eka Kurniawan

https://www.instagram.com/p/BlHyATeHJ_w/?taken-by=farbooksventure
“Ini saja toelis sekedar peringetan bagi siapa sadja jang soedi menengok sedjenak, pada apa2 yang dialemkan oleh saja. Barangkali ada sala-satoenja jang bergoena boeat dipoengoet oentoengnja.” – Pengakoean Seorang Pemadat Indis

Informasi Buku

Judul: Cinta Tak Ada Mati
Penulis: Eka Kurniawan
Ilustrasi sampul: Eko Nugroho
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 9786020386355
Cetakan: Pertama (Mei 2018)
Tahun publikasi: 2018 (pertama kali dipublikasikan pada 2015)
Jumlah halaman: 154 halaman
Buku: milik pribadi
Temukan buku ini di Goodreads

Blurb

Menurut Seno Gumira
Ajidarma, kita pantas meletakkan harapan atas masa depan sastra
Indonesia kepada para penulis muda seperti Eka Kurniawan. Sebuah
pernyataan perlu diuji dan penuh tanggung jawab, yang tentu saja tidak
sekadar diucapkan untuk kepentingan publikasi semata. Dan Anda bisa jadi
setuju dengan pernyataan tersebut setelah Anda membaca Cinta Tak Ada
mati dan Cerita-cerita lain, karya Eka Kurniawan.

Setiap cerita
dalam kumpulan ini ditulis Eka dengan semangat pencanggihan yang tinggi,
yang pada masa lalu merupakan ruang kosong dalam sastra Indonesia.
Sekali lagi, publikasi ini tidak akan berisi sinopsis atau ringkasan
karena akan menghilangkan kejutan dan membuat cerita-cerita Eka menjadi
tidak asyik lagi. Membaca Eka Kurniawan dengan sempurna adalah dengan
membeli bukunya dan mengalami sendiri perjalanan yang penuh teror
estetik dari cerita-cerita dalam kumpulan ini.

Menurut Farah Tentang Buku Ini
Ketika pertengahan tahun sudah menyapa dan ada target bacaan yang mesti dicapai di tengah kesibukan gila-gilaan, buku kumpulan cerpen (kumcer) memang bisa menjadi alternatif bacaan. Kebiasaan untuk membaca buku kumcer memang baru saja aku mulai tahun 2017. Aku baru menyadari bahwa tahun ini aku tidak membaca buku kumcer sebanyak tahun lalu. Cinta Tak Ada Mati merupakan buku kumcer kedua yang aku baca tahun ini setelah membaca buku kumcer Kompas Lampor pada bulan Januari.
Setelah sebelumnya diterbitkan pertama kali pada tahun 2005, buku ini akhirnya kembali dicetak ulang tahun ini. Aku sendiri memang tidak lagi menemukan edisi pertama dari buku kumcer ini dimana-dimana. Meskipun kedua edisinya sama-sama memiliki 13 cerpen, ada 3 cerpen di edisi pertama yang tidak lagi kita ditemukan di edisi terbitan terbaru tahun 2018. Cerpen bertajuk Jumat Ini Tak Ada Khotbah, Pendekar Mabuk, dan Para Musuh digantikan oleh cerpen Persekot, Jimat Sero, dan Tak Ada yang Gila di Kota Ini.
Sudah membaca daftar cerpen dari buku kumcer ini dan beberapa judul seolah familiar? Cerpen Penjaga Malam dan Jimat Sero memang sempat dimuat di buku kumcer Eka Kurniawan yang lain yaitu Kumpulan Budak-Budak Setan. Berikut adalah ulasan singkatku dari masing-masing cerpen dalam Cinta Tak Ada Mati:
Kutukan Dapur
Cerpen pembuka ini menarik. Dituturkan dari sudut pandang orang ketiga, pembaca akan dibawa flashback ke dalam sebuah hikayat tentang bagaimana seseorang dapat memulai perlawanan cukup dengan bekal bumbu dapur dan makanan saja. Sama seperti Maharani, tokoh utama cerita, pembaca juga akan dibuat terkagum-kagum oleh kelihaian juru masak handal dalam hikayat ini. Ketika cerita ini ditutup dengan twist khas Eka Kurniawan, cerpen Kutukan Dapur pun menjadi salah satu cerpen favoritku dalam buku kumcer ini. Cerpen ini membuat pembaca tidak sabar untuk membaca cerpen lain.
“Maharani hanya mengenal sedikit resep dan sedikit bumbu. Kebanyakan dihapal dari majalah. Kini terpesona mengetahui seorang perempuan bisa menjadi pahlawan dengan menguasai bumbu masak.”

Lesung Pipit
Gadis tokoh utama dalam cerpen ini, Si Lesung Pipit, dapat dideskripsikan sebagai sosok strong & independent woman. Meskipun takdir malang sudah merundungnya, Si Lesung Pipit menolak untuk pasrah pada keadaan dan berusaha melakukan segala hal untuk merebut haknya dalam memperoleh kebebasan kembali. Tindakan yang akhirnya dipilih Si Lesung Pipit memang terbilang ekstrem. Akan tetapi, aku sangat menghargai keputusan gadis ini yang berjuang demi kebahagiaanya sendiri.

Maka sebelum lenyap ditelan pintu, ia berjanji kepada perempuan dan dua anak penuh ingus itu,”Segera akan kukembalikan.” Walau tanpa suara.
Cinta Tak Ada Mati 
Sebagai cerpen terpanjang dalam buku ini, keputusan untuk menjadikan Cinta Tak Ada Mati sebagai judul antologi ini adalah keputusan yang tepat. Tidak pernah rasanya aku menemukan cerita yang judul dan isi ceritanya secocok ini. Mengisahkan tentang cinta seorang laki-laki yang tidak ada habis pada seorang wanita, kamu akan terkaget-kaget ketika membaca sejauh apa laki-laki ini berbuat karena rasa cinta tidak terbalasnya itu. Cerpen ini termasuk dalam jajaran cerpen favoritku untuk buku ini.


“Lupakan perempuan itu,” kata sang psikolog, “dan mulailah hidup baru.”
Persekot
Tokoh Ia dalam cerpen ini adalah korban ketidakadilan yang menimpa orang-orang yang lebih lemah. Tidak mengherankan memang kalau cerpen ini menjelma menjadi sebuah kisah balas dendam. Setelah membaca cerpen Cinta Tak Ada Mati yang lumayan panjang dan beralur lambat, cerpen Persekot yang beralur cepat akan selesai terbaca tanpa kita sadari. 
“Sering ia melakukan sesuatu, atau mengatakan sesuatu tanpa memikirkannya dulu, meskipun kemudian ia akan berpegang teguh kepada hal itu. Dua hal berikut ini kemudian membawanya ke dalam bui.”
Surau
Bercerita tentang  gejolak batin yang dialami tokoh Aku dan tentang memudarnya keimanan. Surau adalah bacaan yang menggelitik.

“Namun perasaan ganjil itu tak juga hendak pergi. Rasa malu yang tak hengkang bersama kepulangan Ma Soma. Serasa masuk toko tanpa maksud belanja, serasa tersesat di perpustakaan agung tanpa hendak membaca.”
Mata Gelap
Aku rasa cerpen ini dapat dikategorikan sebagai allegori. Terlepas dari semua hal yang dilakukan Jin Berkepala Tujuh untuk menghilangkan pengaruh Si Mata Gelap, dengan berbagai cara si Mata Gelap akan tetap ada. Cerpen ini menyampaikan pesan tentang bagaimana manusia dapat hidup abadi lewat karya, kesan, atau peninggalan berharga yang ditinggalkannya di dunia.

“Ia masih hidup,” kata perempuan itu penuh keyakinan dan menambahkan, “Ia hanya kehilangan tubuhnya.”
Ajal Sang Bayangan
Cerita dengan latar dunia para petarung ini membuatku bernostalgia ke masa lalu ketika aku menyaksikan film pendekar/silat-silatan di TV. Dalam cerpen ini, tokoh utama cerita ini bertarung melawan bayangannya sendiri. (Pardon my random thought. Tapi, cerpen ini entah kenapa mengingatkanku pada episode di Naruto Shippuden Season 1 ketika Tim Guy melawan bayangan mereka sendiri ketika menyelamatkan Gaara.)

“Lihatlah, Sayangku, itu bukan bayangan. Pendekar ini hendak beradu raga dengan dirinya sendiri.”
Penjaga Malam
Dari judulnya saja kita pasti sudah bisa menduga ya kalau ini adalah cerita horror. Cerita ini juga dapat ditemukan dalam buku kumcer Kumpulan Budak-Budak Setan.


“Aku tak bakal balik malam ini, kataku bergumam. Dengan berurai air mata aku terkenang kepada istriku.”
Caronang
Satu lagi cerita dengan tema menarik. Tokoh utama dalam cerita ini tidak menyangka bahwa keputusannya untuk membawa pulang binatang mitos, Caronang, malah akan membawa petaka pada keluarga kecilnya. Lewat cerita ini kita bisa menyimpulkan bahwa mengganggu apa yang seharusnya tidak diganggu tidak pernah berakhir baik. 
“Di tempat asalnya ia disebut caronang, cirinya yang paling spesifik adalah bahwa ia berjalan dengan dua kaki.”
Bau Busuk
Cerpen ini satir. Tapi, karena sedang tidak fokus aku sebenarnya bingung ini tentang apa. Bisa saja cerpen ini menyindir tentang bagaimana terkadang orang-orang menjadi terbiasa dengan hal-hal tidak baik hanya karena hal tersebut sering kali terjadi. Hal menarik dari cerpen ini adalah latar tempat cerpennya yang sama dengan latar tempat di novel debut Eka Kurniawan, Cantik Itu Luka.
“…orang-orang di Halimunda tak peduli berapa mayat pun akan kalian bunuh dan sehebat apa pun baunya karena sejarah telah membuat kami tahan terhadap horor macam apa pun…”
Pengakoean Seorang Pemadat Indis
Menuturkan cerita tentang pengalaman sang narator yang hidupnya mulai berubah drastis pasca bersinggungan dengan candu/opium, cerpen ini menjadi salah satu cerpen favoritku karena ceritanya yang dituturkan dalam Bahasa Indonesia ejaan lama. Aku bisa dibilang terbata-bata membaca cerpen yang satu ini. Di akhir cerpen aku merasakan campuran geli dan miris. Geli karena tidak terbiasa dengan bahasa yang digunakan. Miris karena cerita ini sebenarnya lumayan menyedihkan.
“Tjoekoeplah saja mendengar bahoea ia senang, maka bahagia  poela saja. Tentoe tida selaloe ia senang seroepa itoe, laen waktoe keliatan oleh saja ia begitoe tjemas dan sedihnja.”
Jimat Sero
Satu lagi cerpen yang juga bisa ditemukan dalam buku Kumpulan Budak-Budak Setan. Pelajaran berharga dari cerpen ini: yang namanya pakai jimat pastilah aneh-aneh syaratnya. Jadi nggak usah ya jangan coba-coba. Berat… Kamu nggak akan kuat, aku aja nggak mau.

“Aku tak menjawab. Aku tak tahu apakah aku tertidur atau tidak. Mungkin di antara itu.”
Tak Ada yang Gila di Kota Ini
Kalau ditanya tentang cerpen apa yang membuatku paling bingung dalam buku kumcer ini, niscaya  aku akan menjawab pertanyaan itu dengan judul cerpen ini. Apa sebenarnya  yang berusaha disampaikan cerpen ini? Atau ini aku saja yang gagal terhubung karena ulasannya udah kepanjangan?!!?? Well, bagi pembaca yang mengerti jangan ragu untuk mengungkapkan pendapatnya di kolom komentar ya 😀
Jadi, apa saja 3 cerpen favorit Farah di buku kumcer ini?
1. Cinta Tak Ada Mati
2. Kutukan Dapur
3. Pengakoean Seorarang Pemadat Indis
Honorable mention: Mata Gelap 
Rating
4/5

Terhibur/terbantu dengan tulisan ini? Dukung Farah melalui Karyakarsa

Farah melacak bacaannya di situs buku alternatif  The Storygraph | farbooksventure di The StoryGraph

Ingin tanya-tanya & tetap anonim? Kirim saja pertanyaanmu lewat Curious Cat

0 thoughts on “Tentang Cinta Tak Ada Mati Karya Eka Kurniawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *