Tentang Honey Girl Karya Morgan Rogers

Review sebuah novel kontemporer berkesan yang aku baca di bulan Maret 2021!

Informasi Buku

Judul: Honey Girl

Penulis: Morgan Rogers (intip situs resmi penulis di sini)

Format Buku: Audio

Narator: York Whitaker

Durasi: 10 jam, 11 menit

Bahasa: Inggris

Penerbit: Harlequin Audio 

ISBN: 9781488210754

Artis Sampul: Poppy Madga

Design Sampul: Gigi Lau 

Tahun publikasi: 2021

Baca juga review lain di The StoryGraph

Blurb Buku

A refreshingly timely and relatable debut novel about a young woman whose life plans fall apart when she meets her wife.


With her newly completed PhD in astronomy in hand, twenty-eight-year-old Grace Porter goes on a girls’ trip to Vegas to celebrate. She’s a straight A, work-through-the-summer certified high achiever. She is not the kind of person who goes to Vegas and gets drunkenly married to a woman whose name she doesn’t know…until she does exactly that. This one moment of departure from her stern ex-military father’s plans for her life has Grace wondering why she doesn’t feel more fulfilled from completing her degree. Staggering under the weight of her parent’s expectations, a struggling job market and feelings of burnout, Grace flees her home in Portland for a summer in New York with the wife she barely knows. In New York, she’s able to ignore all the constant questions about her future plans and falls hard for her creative and beautiful wife, Yuki Yamamoto. But when reality comes crashing in, Grace must face what she’s been running from all along—the fears that make us human, the family scars that need to heal and the longing for connection, especially when navigating the messiness of adulthood.

Pilihan Akses Buku

Aku mendengar edisi audiobook Honey Girl melalui Scribd.

Edisi paperback bisa ditemukan di Periplus.

Edisi e-book juga tersedia di Google Play Book.

Penasaran ingin mencoba Scribd? Kamu bisa menggunakan link referal ini untuk coba-coba.

Menurut Farah Tentang Buku Ini

Membaca blurb Honey Girl akan memberi kesan bahwa novel kontemporer ini adalah kisah romantis. Asumsi yang tidak sepenuhnya salah tentu saja. Romansa antara Grace Porter & Yuki Yamamoto memang merupakan salah satu komponen dalam novel. Akan tetapi, cerita romance mereka bukanlah fokus utama. Honey Girl, pada intinya, adalah kisah coming-of-age seorang perempuan black & queer di penghujung usia 20-an. Buku ini juga bercerita tentang ketidakpastian yang datang setelah kamu menyelesaikan pendidikan akademik yang hampir dekade durasinya.


Menasbihkan genre spesifik untuk Honey Girl memang sulit. Fakta ini juga diamini oleh review buku Honey Girl dari The Seattle Times & wawancara Bitch Media dengan Morgan Rogers sendiri:

When I pitched the book to my agent and we were talking about submitting it to editors, I said it’s not a romance novel. It doesn’t really fit the beats and tropes in the romance genre. It’s first and foremost a coming-of-age [novel], even though those usually skew much younger in age. I’m younger than Grace. I’m 28, but it feels like a time where you can have this rebirth, grow, learn, and figure out who you want to be and where you want to go from here.”


Fleksibilitas dalam hal genre membuat Honey Girl bisa menyinggung banyak topik yang relevan buatku sebagai pembaca. Topik seperti burn out, feeling lost in life, suka-duka pertemanan (friendship), kesehatan mental, sampai hubungan kompleks dengan orang tua membangun cerita coming-of-age seorang Grace Porter. Melihat panjangnya bagian pembuka review Honey Girl ini, jangan heran kalau bagian selanjutnya akan lebih panjang lagi.


Semoga kamu menikmati tulisan panjang tentang (banyak) hal yang aku sukai dari novel Honey Girl:


Hal Yang Disukai

Hal pertama yang membuatku tertarik pada novel Honey Girl (selain sampul cantik) adalah trope “Marriage In Vegas” yang langsung muncul di blurb buku. Sudah bukan rahasia lagi bahwa aku adalah pembaca rutin fanfiction (FF). Trope satu ini adalah staple dari puluhan (bahkan ratusan) FF yang sudah aku baca selama hampir satu dekade terakhir. Meskipun awalnya hanya berspekulasi, Morgan Rogers sudah mengkonfirmasi dalam beberapa wawancara bahwa dia memang terinspirasi dari FF:

“I got my start in writing [through] reading fanfiction, so I’m very familiar with the [genre’s] tropes. I have my favorite tropes that I like to read and look for. So I kept throwing out all these ideas of things I wanted to write and I had all these works in progress. And I was like, why don’t I just write what I want to read? I love the married-in-Vegas trope. I love the idea of two people who don’t know each other having to make things work and figure out how they fit or if they fit.” – dalam wawancara dengan Evette Dione dari Bitch Media.


>>>


Kalau bicara topik, aku sangat menikmati eksplorasi hubungan orang tua/anak dan queer friendship dalam cerita. Dua hubungan ini bisa dibilang merupakan fokus utama dalam perjalanan Grace Porter sebagai karakter (bahkan lebih dari hubungan romantis Grace dengan Yuki).


Aku suka bagaimana Grace belajar melihat orang tuanya dari sudut pandang berbeda. Bahwa di akhir hari orang tua adalah manusia tidak sempurna. Meskipun berusaha sebaik-baiknya, terkadang tindakan mereka akan berefek negatif pada anak, walau mereka tidak berniat memunculkan efek itu. Aku juga suka bagaimana teman-teman queer Grace menjadi support system untuk dia ketika keluarga dekat Grace tidak bisa menawarkan dukungan ini. Hubungan pertemanan mereka juga dipotret dengan realistis. It’s not a perfect friendship at all. Aku sangat mengapresiasi nuance yang Morgan Rogers tawarkan.

Dalam hubungan apapun, akan ada titik ketika konflik muncul & kita berpotensi melukai perasaan satu sama lain. That’s the deal with human relations. Hal yang penting adalah bagaimana kita bekerja sama untuk memecahkan konflik ini. Aku pikir ini adalah hal penting untuk diingat karena meskipun berharap kita tidak melukai perasaan siapa-siapa apalagi orang terdekat, konflik adalah bagian tak terpisahkan dalam hubungan sehat.

>>>

Topik penting lain yang menjadi highlight cerita buatku adalah topik tentang kesehatan mental. Tidak hanya menyinggung burnout, cerita Grace juga menunjukkan usaha dia untuk menjadi lebih sehat & mindful dari segi mental dengan menemukan terapis yang bisa membantu. Kondisi mental seseorang akan mempengaruhi bagaimana dia membangun hubungan berarti dengan orang lain, bukan? Self-awareness in regards to your limitations/boundaries is good.
“The tension between having deeply meaningful relationships and still experiencing loneliness — which for Porter and her friends is tied to depression and other mental illness — is a common experience, but one rarely rendered wholly in fiction. Rogers stays with her characters through this tension, and during their more challenging moments.”  (The Seattle Times, Sarah Neilson).

Membaca berbagai tantangan yang dialami Grace & kawan-kawannya sebagai individu di usia 20-an sangat menenangkan. Aku merasa tidak sendiri.


>>>


Kalau bicara gaya penulisan & produksi audiobook sendiri, they are simply great. Cerita Grace ditulis dengan gaya bahasa yang begitu raw & tender. York Whitaker sebagai narator audiobook juga berhasil menghidupkan cerita perjalanan Grace menjadi sesuatu yang begitu enak didengar. Aku semakin kagum ketika sadar bahwa novel ini merupakan buku debut dari Morgan Rogers. Aku tidak sabar untuk membaca karya Rogers selanjutnya. 

Kenyataan bahwa dua booktuber yang sering aku tonton juga merekomendasikan novel ini adalah pertanda bagus.

Hal Yang Tidak Terlalu Disukai

Seperti yang sudah kamu lihat, aku adalah pengulas bias karena aku benar-benar menyukai buku ini. Bagian “Hal Yang Disukai” di atas (yang hampir 600 kata) adalah buktinya.

Kalau ditanya kritik, berikut beberapa hal yang aku harap bisa dipoles dari novel ini:
  • Meskipun tahu bahwa romance adalah salah satu bagian dari cerita & bukan merupakan fokus, aku sebenarnya masih berharap hubungan Grace & Yuki akan dikembangkan lebih lanjut. Honey Girl sendiri dipasarkan sebagai buku romance. Sayangnya ,romance bukanlah genre yang akan aku asosiasikan dengan cerita ini. Label adult contemporary sepertinya akan lebih cocok.
  • Selain itu, story arc dari salah satu karakter sampingan yang merupakan teman baik Grace menurutku tidak ditutup dengan memuaskan. Penutup arc dia terkesan buru-buru. Sebagai pembaca, aku merasa tidak mendapat closure di arc spesifik ini.
Booktuber WithCindy juga sudah mengulas buku ini & aku setuju dengan kritik dia tentang gaya penulisan Honey Girl yang bepotensi tidak cocok untuk beberapa pembaca. Kamu bisa membaca ulasan lengkap dari Cindy di sini.

Aku Akan Merekomandasikan Honey Girl Untuk…

Pembaca yang tertarik dengan kisah coming-of-age & self-growth seorang perempuan black & queer (dengan PhD) di penghujung usia 20-an. Kalau berharap untuk membaca kisah romantis yang fluffy & wholesome, Honey Girl sepertinya bukanlah buku yang tepat untukmu.


Jangan lupa untuk memeriksa content warning dulu kalau kamu memutuskan untuk membaca buku ini:

Content warnings (dikutip langsung dari situs resmi penulis): discussion and depictions of mental illness, self-harm (scratching skin, nails digging into skin as anxiety coping mechanism), past suicide attempt by side character, depictions of anti-Blackness and homophobia in the academic and corporate settings, casual alcohol consumption, minor drug use (marijuana), discussions of racism experienced by all characters of color, past limb amputation due to war injury (side character), past parent death (side character).


Rating

4,5/5

Bacaan Lanjutan


Terhibur/terbantu dengan tulisan ini? Dukung Farah melalui Karyakarsa

Farah melacak bacaannya di situs buku alternatif  The Storygraph | @farbooksventure

Ingin tanya-tanya & tetap anonim? Kirim saja pertanyaanmu lewat Curious Cat

[10/12/20] Tentang From Here to Eternity Karya Caitlin Doughty

“All that surrounds us comes from death, every part of every city, and every part of every person.”

Informasi Buku

Judul: From Here to Eternity: Traveling The World to Find the Good Death
Penulis: Caitlin Doughty
Penerbit: Weidenfeld & Nicolson (W&N)
Illustrator: Landis Blair
ISBN: 9781474606530
Tahun publikasi: 2019 (pertama kali dipublikasikan tahun 2017)
Jumlah halaman: 272 halaman
Buku: paperback milik pribadi
Bahasa: Inggris
Kategori Umur: Adult
Trigger Warning: Death (animal death / child death), Grief
Baca detail buku ini di The Storygraph

Blurb Buku

The best-selling author of Smoke Gets in Your Eyes expands our sense of what it means to treat the dead with “dignity.”


Fascinated by our pervasive terror of dead bodies, mortician Caitlin Doughty set out to discover how other cultures care for their dead. In rural Indonesia, she observes a man clean and dress his grandfather’s mummified body. Grandpa’s mummy has lived in the family home for two years, where the family has maintained a warm and respectful relationship. She meets Bolivian natitas (cigarette-smoking, wish-granting human skulls), and introduces us to a Japanese kotsuage, in which relatives use chopsticks to pluck their loved-ones’ bones from cremation ashes.

With curiosity and morbid humor, Doughty encounters vividly decomposed bodies and participates in compelling, powerful death practices almost entirely unknown in America. Featuring Gorey-esque illustrations by artist Landis Blair, From Here to Eternity introduces death-care innovators researching green burial and body composting, explores new spaces for mourning—including a glowing-Buddha columbarium in Japan and America’s only open-air pyre—and reveals unexpected new possibilities for our own death rituals.

Pilihan Akses Buku

Aku membeli edisi paperback From Here to Eternity di Big Bad Wolf (BBW) Tokopedia. Buku ini juga ada di katalog Toko Buku Online Periplus & Opentrolley Indonesia. Buku elektronik sendiri bisa ditemukan di Google Play Book. Aku mendengar edisi audiobook From Here to Eternity di Scribd.

Scribd Tips 1: Kalau ingin mencoba Scribd, kamu bisa sign up melalui link referral ini. Kamu bisa free trial Scribd selama 60 hari. Aku sendiri mendapat jatah langganan selama 30 hari. Simbiosis mutualisme, am I right? 
Scribd Tips 2: Kamu juga bisa patungan langganan dengan 4 orang lain (satu akun Scribd bisa dibuka di lima gawai berbeda). Kalau aktif di Twitter, mampir saja ke Literary Base. Sesama pembaca rutin mencari teman patungan di sana.

Menurut Farah Tentang Buku Ini

Hal Yang Dibahas

Dalam From Here to Eternity, Caitlin Doughty mengeksplorasi berbagai ritual yang dilakukan masyarakat dari delapan tempat berbeda untuk menanggapi kematian anggota komunitas mereka. Beberapa kelompok memilih kremasi. Kelompok lain rutin berinteraksi dengan mereka yang sudah berpulang dengan cara yang boleh jadi tidak terbayangkan oleh masyarakat Barat (baca Amerika Serikat, selanjutnya disebut AS).

Dalam buku 272 halaman ini, Doughty mengkritik bagaimana komersialisasi industri pemakaman di AS selama beberapa dekade terakhir berimbas negatif pada persepsi masyarakat AS tentang kematian. Komersialisasi ini secara tidak langsung membangun “dinding” antara yang berpulang dan yang ditinggalkan. “Dinding” ini terbentuk seiring dengan kecenderungan penyelenggaraan jenazah di AS yang dilakukan sepenuhnya oleh staf funeral home tanpa melibatkan keluarga jenazah. Keluarga sering kali tidak memiliki ruang atau kesempatan untuk terlibat langsung dalam ritual kematian orang terdekatnya.

Doughty percaya bahwa partisipasi langsung keluarga jenazah dalam ritual kematian adalah langkah krusial dalam proses berduka yang mereka lalui. Iklim industri pemakaman saat ini sayangnya tidak mendukung keterlibatan seperti ini. Jarak yang terbentuk antara jenazah dan keluarga yang ditinggalkan inilah yang membentuk “dinding” tadi.

Alih-alih menerima kematian sebagai realita kehidupan, “dinding” ini membuat sebagian besar orang menolak untuk bahkan membicarakannya. Bagaimana kita bisa berduka sepenuhnya agar bisa pulih di kemudian hari, kalau kita masih menolak untuk hidup berdampingan dengan kenyataan ini?

Melalui eksplorasinya ke berbagai komunitas yang hidup bersisian dengan kematian, Doughty berharap akan ada lebih banyak orang AS yang terbuka untuk membicarakan kenyataan hidup ini. Dia juga berharap agar orang-orang lebih terbuka dan tidak langsung menghakimi ketika berhadapan dengan ritual kematian yang berbeda dari tradisi mereka sendiri.

Hal Yang Disukai

Jauh sebelum menyebarkan pesan tentang death-positivity melalui buku nonfiksi, Caitlin Doughty sudah melakukan ini dalam berbagai video di kanal Youtube-nya; Ask A Mortician. Keluwesan & humor Doughty dalam video-video ini ikut terbawa ke dalam gaya penulisan di From Here to Eternity. Tidak peduli dalam bentuk video atau tulisan, Doughty selalu mengedukasi audiensnya tentang kematian/industri pemakaman secara terbuka tanpa kehilangan gaya humor penuh hormatnya. Doughty mampu mengemas beragam topik & pertanyaan sulit yang muncul tentang kematian menjadi narasi informatif yang tetap menarik & membuat tenang ketika kita coba resapi.

Dari delapan tempat yang Doughty tulis dalam buku ini, tiga tulisan tentang tiga tempat begitu memorable bagiku;
  • Indonesia: South Sulawesi
Tulisan Doughty tentang Tana Toraja benar-benar menunjukkan kelihaiannya dalam membuat tulisan kaya humor tanpa mengesamping rasa hormat. Peak humor yang aku bicarakan: ketika turis lokal dari Jakarta secara random mengajak Doughty untuk selfie. Mengutip langsung dari buku:

“Strange as this felt in the moment, I could see why the discovery of a six-foot-tall white girl in a pol-ka-dot dress in the corner of a cave filled with skulls would be an Instagrammable moment. They took several pictures with me in different poses before moving on.”

Aku mengapresiasi pendekatan Doughty yang tidak menghakimi dan terbuka dalam tulisannya.

  • Mexico: Michoacan
Ini boleh jadi merupakan tulisan paling heartbreaking dalam buku ini. Doughty menulis tentang Dia de Muertos & bagaimana hari libur ini sangat berarti untuk seorang teman yang tengah berduka. Aku suka bagaimana bagian ini menggarisbawahi pentingnya menghadapi kematian secara terbuka ketika sedang berduka agar kita bisa melanjutkan hidup di kemudian hari.

  • California: Joshua Tree
Aku mengenal tradisi sky burial dan Tower of Silence untuk pertama kalinya dalam tulisan penutup buku ini. Aku rasa aku tidak akan melupakan apa yang sudah aku baca ini dalam waktu dekat. Sedikit banyaknya aku bisa mengerti kenapa Doughty merasa tradisi sky burial akan memberi ketenangan untuknya secara pribadi setelah kematian. Diskusi tentang bagaimana tradisi ini mulai ditinggalkan karena berbagai faktor juga sungguh menarik untuk dibaca.

Hal Yang Tidak Terlalu Disukai

Secara keseluruhan aku tidak memiliki kritik untuk From Here to Eternity sebagai sebuah buku. Tapi, aku memiliki kritik untuk edisi audiobook buku ini.

Ketika mendengar audiobook & membaca edisi paperback secara bersamaan, aku mengamati ada beberapa bagian yang tidak dibacakan dalam edisi audiobook. Bagian yang tidak dibacakan biasanya adalah detail statistik (contoh: paragraf dua dari bawah di halaman 29 edisi paperback). Meskipun tidak banyak, aku harap edisi audiobook bisa diperbaharui sehingga bagian yang hilang bisa ditambahkan karena detail yang ditinggalkan sangat menarik untuk diketahui.

Aku juga lebih menyukai edisi paperback karena kita bisa mengapresiasi beragam ilustrasi ciamik yang melengkapi From Here to Eternity di sepanjang buku:

First things first, it’s a nice book to look at. The illustrations provided are great too! pic.twitter.com/H78ARf0dhg

— Farah (@farbooksventure) November 14, 2020

Minus lain untuk edisi audiobook adalah fakta bahwa author acknowledgement dan daftar pustaka tidak tersedia untuk dibaca. Aku harap provider audiobook juga menawarkan dua hal ini dalam produknya di masa depan.

Aku Akan Merekomendasikan Buku Ini Untuk…

Seseorang yang mencari bacaan non fiksi unik, bisa dibaca cepat/sekali duduk, dan disampaikan dalam bahasa Inggris mudah dimengerti. Kalau kamu adalah tipe orang dengan selera humor morbid, buku-buku & video Caitlin Doughty sepertinya dibuat untukmu.

Aku mengenal Ask A Mortician sendiri lewat video tentang Lake Superior ini:



Aku sudah menjadi subscriber setia Doughty sejak saat itu.

Rating

5/5 

Tontonan Lanjutan


Farah melacak bacaannya di The Storygraph.

Tentang Less Karya Andrew Sean Greer

“How does Less get the world so wrong? Over and over again? Where is the exit from moments like this? Where is the donkey door out?”

Informasi Buku

Judul: Less
Penulis: Andrew Sean Greer
Penerbit: Back Bay Books
ISBN: 9780316316132
Bulan/tahun publikasi: Mei 2018 (pertama kali dipublikasikan pada Juli 2017)
Jumlah halaman: 263 halaman
Cetakan: reprint edition
Buku: paperback milik pribadi (dibeli di Periplus Online Bookstore)
Bahasa: Inggris
Kategori umur: adult
Temukan buku ini di Goodreads

Blurb


Who says you can’t run away from your problems? You are a failed novelist about to turn fifty. A wedding invitation arrives in the mail: your boyfriend of the past nine years is engaged to someone else. You can’t say yes–it would be too awkward–and you can’t say no–it would look like defeat. On your desk are a series of invitations to half-baked literary events around the world.

QUESTION: How do you arrange to skip town?
ANSWER: You accept them all.

What would possibly go wrong? Arthur Less will almost fall in love in Paris, almost fall to his death in Berlin, barely escape to a Moroccan ski chalet from a Saharan sandstorm, accidentally book himself as the (only) writer-in-residence at a Christian Retreat Center in Southern India, and encounter, on a desert island in the Arabian Sea, the last person on Earth he wants to face. Somewhere in there: he will turn fifty. Through it all, there is his first love. And there is his last.

Because, despite all these mishaps, missteps, misunderstandings and mistakes, Less is, above all, a love story.



Menurut Farah Tentang Buku Ini

Semua dimulai dari sampul Less. Aku rasa aku sedang dalam mood untuk membeli buku secara “buta” waktu itu. Aku tidak mencari tahu apa-apa tentang buku ini. Tidak genre. Tidak sinopsis cerita. Apalagi ulasan buku. Aku bahkan belum tahu buku inilah yang diganjar penghargaan Pulitzer untuk Fiksi pada 2018. Aku hanya melihat sampulnya, jatuh hati, dan tanpa ragu langsung beli. Keputusan yang cukup berani mengingat bagaimana harga Less masih terbilang tinggi waktu itu (lucunya, saat menulis ini Less sedang diskon di toko buku langgananku 👀). Kalau kurang beruntung dan tidak suka dengan apa yang novel ini tawarkan tentu aku hanya bisa gigit jari.

Jujur saja aku sempat khawatir inilah yang akan terjadi ketika membaca seperempat awal novel ini. Less menuturkan kisah Arthur Less, seorang penulis pria paruh baya di tengah masa sulit dalam ranah personal/profesional yang melakukan perjalanan 80 hari ke berbagai tempat di dunia. Sekilas premis ini terdengar familiar dan biasa saja. Nothing new really. Ini adalah premis yang entah bagaimana aku asumsikan merupakan resep menuju critical acclaim; tulisan serius (yang di dalam-dalamkan padahal trivial) tentang seorang pria yang mencari jati diri/makna hidup lewat kunjungannya ke berbagai tempat baru/tidak biasa. Ketika mendengar istilah literary fiction, jenis tulisan yang aku bayangkan adalah tulisan introspektif & suram. Biasanya bukan bacaan menyenangkan yang mengundang senyum. Aku bersyukur karena Less tidak mengikuti jalur ini.

Setelah membaca beragam wawancara Andrew Sean Greer terkait novel Less di internet, tidak mengherankan mungkin kalau pada awalnya memang jalur inilah yang ingin ditempuh Greer;
 
ASG’s decided to make it comedy! (Adrienne Westenfeld – Esquire)

   







An important realization (Elizabeth Flock – PBS)

Saking meta-nya, Geer bahkan membuat penulis protagonis cerita kita, Arthur Less, menulis novel semacam ini untuk buku keduanya (yang gagal). Sebelum akhirnya disadarkan tokoh lain bahwa buku jenis ini terlampau pretentious dan tidak akan menyenangkan untuk dibaca. Ulasan dari The Guardian ini bahkan di buka dengan momen meta yang aku bicarakan di atas;

Saking meta-nya aku pun pusing sendiri (Patrick Gale – The Guardian)


Ketika menamatkan novel ini untuk pertama kali, aku kesulitan untuk menjelaskan alasan dibalik kecintaanku padanya. Fakta bahwa Less “menyimpang” dari jalur yang biasanya diambil penulis literary fiction pemenang perhargaan bisa jadi adalah salah satu alasannya. Kesadaran bahwa buku ini mengambil premis lama yang dibungkus dalam bentuk baru yang lebih menyenangkan datang setelah aku membaca novel fiksi romantis lain (yang protagonisnya juga adalah penulis di tengah kesulitan personal dan finansial).

You never told me what you write, Everett. I’m sure it’s something really groundbreaking and important. Totally new and fresh. Like a story about a disillusioned white guy, wandering the world, misunderstood and coldly horny.”

Kutipan tersebut diucapkan oleh January Andrews, salah satu protagonis dalam novel Beach Read karya Emily Henry yang baru rilis pertengahan Mei 2020. Ketika membaca ini, aku entah mengapa merasa ter-called out karena sangat familiar dengan genre bacaan semacam ini.  Beberapa minggu lalu, aku juga mengenal sepupu lebih sinister dari “genre” ini, terima kasih pada cuitan seseorang di Twitter;
Porny gay novel/memoir about an American who goes to a foreign country and screws around with a native then ditches him to go back to the US: a genre

— Anton Hur (@AntonHur) May 13, 2020

Novel yang langsung muncul di kepala karena cuitan ini adalah novel What Belongs to You-nya Garth Greenwell. Aku gagal paham dengan apa yang sebenarnya ingin novel ini kisahkan. There’s no point in this story I feel. Gaya penulisannya juga membuat sakit kepala alih-alih indah. Secara superfisial, novel ini berbagi kesamaan dengan Less; mengisahkan tentang perjalanan seorang pria kulit putih yang melarikan diri dari kenyataan dengan melakukan perjalanan ke negeri asing.


Less berhasil menurutku karena ditulis dengan self-aware. Alih-alih membuat Less menjadi the-next-deep-and-oh-so-serious-fiction, penulis memutuskan untuk bersenang-senang dan memasukan humor & kebahagiaan sebanyak yang dia bisa dalam cerita. Protagonis kita mengalami kesulitan bertubi-tubi sepanjang cerita, sampai akhirnya dia belajar dari kesalahan serta ketidaktahuannya untuk akhirnya mencicipi kebahagiaan di akhir. The author truly making fun of his protagonist in this one, it’s fun to read until the end. Dalam wawancaranya dengan Esquire, Geer membeberkan ini;

Pada akhirnya, yang membuatku begitu menikmati Less adalah kisah romantis & outlook positif yang kadang diikuti momen bittersweet dalam ceritanya. Aku tidak menyangka kisah romantis bisa begitu memuaskan & se-nyastra kisah yang satu ini. Arthur Less bukanlah seorang saint tanpa dosa (meskipun ada sesuatu yang “naif” tentang karakternya). Di masa lalu dia melakukan banyak tindakan questionable. Hanya saja, setelah melihat bagaimana Arthur sampai pada kesadaran diri baru di akhir perjalanannya, sebagai pembaca aku ikut bersorak untuknya. 
This is exactly me at the end of Less (Adrienne Westenfeld – Esquire)
Less boleh saja menjadi bacaan berhasil untukku. Namun ternyata beberapa pembaca di Goodreads malah merasakan sebaliknya.
Kalau kamu ingin membaca literary fiction pemenang Pulitzer, tapi tidak mood dengan bacaan serius & suram… Aku harap kamu memberi buku ini kesempatan.

Rating

4,5/5

Tulisan Lain Dalam Kiriman Ini/Bacaan Lanjutan

1. Urban Dictionary – Definisi Meta

Terhibur/terbantu dengan tulisan ini? Dukung Farah melalui Karyakarsa

Farah melacak bacaannya di situs buku alternatif  The Storygraph | @farbooksventure

Ingin tanya-tanya & tetap anonim? Kirim saja pertanyaanmu lewat Curious Cat

[16/05/20] Tentang Mythology: An Illustrated Journey Into Our Imagined World Karya Christopher Dell


“The desire to tell stories is a fundamental part of the human condition. When it’s coupled with an innate need to make sense of our surroundings and to understand the origins of things, the result is mythology.”

Informasi Buku

Judul: Mythology: An Illustrated Journey Into Our Imagined World
Penulis: Christopher Dell
Penerbit: Thames Hudson
ISBN: 9780500291511
Bulan/tahun publikasi: Januari 2016 (pertama kali dipublikasikan September 2012)
Jumlah halaman: 352 halaman
Buku: paperback milik sendiri (dibeli di Toko Buku Daring Periplus)
Bahasa: Inggris
Temukan buku ini di Goodreads

Blurb

 Every culture has its own myths, and this lively and accessible compendium gathers some of humankind’s most enduring stories in one place. Here, from every corner of the globe, are tales of the world’s creation, undying love, the Sun and the Moon, gods of the weather, tricksters, terrible monsters, the afterlife and the underworld, and more. Looking at the overarching themes of the world’s mythologies, Christopher Dell shows how many myths share common patterns and traces how the human imagination, in all its diversity, has expressed itself through the ages.

From the ancient Norse characters to Homer’s epics to Gilgamesh, from the Hindu deities to the Old Testament and King Arthur, this is the perfect introduction to mythology. Brought to life through hundreds of colorful, beautiful, and sometimes bizarre illustrations, this book will appeal to anyone interested in the tales we tell to make sense of the world around us.


Menurut Farah Tentang Buku Ini

Ketertarikanku terhadap mitologi berkembang secara perlahan selama beberapa tahun terakhir. Sebagai seorang newbie, aku menyadari bahwa alih-alih langsung terjun ke satu mitologi spesifik, aku lebih menikmati overview (selayang pandang) terhadap beragam mitologi yang ada di dunia. Untuk kemudian mengamati benang merah yang ada dalam mitologi-mitologi bersangkutan. Kesadaran ini datang setelah aku menyaksikan rangkaian video Crash CourseWorld Mythology’ di Youtube:
 
Tangkapan layar dari playlist ‘World Mythology’ di kanal Youtube Crash Course
Rangkaian video inilah yang akhirnya membuatku tergerak untuk mencari buku nonfiksi yang mengangkat mitologi sebagai pembahasan. Pencarian ini ternyata cukup sulit karena ada begitu banyak pilihan di luar sana. Sebagian besar buku juga cenderung fokus pada mitologi dari peradaban tertentu. Aku yang masih belum tahu ingin fokus pada mitologi apa ingin mencari buku yang bisa menawarkan “perkenalan” terhadap beragam mitologi di dunia agar bisa mengambil keputusan kemudian. Gayung bersambut ketika aku menemukan buku Mythology: An Illustrated Journey Into Our Imagined World di situs toko buku langganan.

Sampul biru & cantik buku inilah yang pertama kali menangkap mataku. Setelah menelusuri ulasan bukunya di Goodreads, aku makin yakin bahwa ini adalah pilihan tepat sebagai bacaan pembuka. Aku dibuat terkejut campur senang ketika menyadari bahwa buku ini tidak hanya menyirami otak tapi juga memanjakan mata. Keindahan memang tidak berakhir di sampul buku ini saja. Dilengkapi dengan kurang lebih 400 ilustrasi, perjalanan menelusuri benang merah mitologi antar peradaban menjadi lebih berwarna dan semarak dalam buku 352 halaman ini. Mythology: An Illustrated Journey Into Our Imagined World memadukan narasi singkat & informatif dengan beragam ilustrasi cantik untuk mengenalkan beragam topik yang bisa dijadikan bahan diskusi dalam mitologi kepada pembacanya.
Aku sempat membagikan beberapa gambar dari ilustrasi favorit yang aku temukan dalam buku ini di utas bacaku di Twitter;
Some more pictures that caught my eyes in this round of reading; pic.twitter.com/BAs6AWhOPn

— Farah (@farbooksventure) May 8, 2020

Dibagi menjadi 8 bab besar, pembaca akan disuguhi pembahasan tentang ranah supernatural dalam beragam mitos, senyawa/bahan simbolis, penciptaan bumi/manusia, makhluk yang hanya ada dalam mitos, serta para pahlawan serta kisah perjalanan epik mereka. Pada bagian penutup  juga dicantumkan overview dari beberapa peradaban yang mitologinya sudah disinggung dalam pembahasan di halaman awal. Indeks & daftar bacaan lanjutan juga tersedia bagi pembaca yang ingin mencari sumber bacaan spesifik.

Membaca Mythology: An Illustrated Journey Into Our Imagined World adalah pengalaman yang menyenangkan. Aku tidak pernah berhenti terkagum-kagum ketika membaca bagaimana kreatifnya manusia dari zaman ke zaman dalam membuat cerita untuk memahami fenomena di lingkungan sekitarnya. Kekaguman ini terasa begitu kuat ketika aku mengenal mitos yang dibuat penduduk Yunani kuno untuk menjelaskan fenomena pergantian musim; The Abduction of Persephone untuk kali pertama. Kekaguman ini semakin bertambah ketika buku ini menggarisbawahi bagaimana terlepas dari kondisi peradaban / sosio-demografik berbeda, berbagai peradaban tetap berbagi kesamaan dalam beragam cerita-cerita mitosnya.

Aku hanya memiliki keluhan minor. Dari segi fisik, buku ini terbilang besar dan berat. Jadi, buku ini memang bukan buku yang tepat untuk diboyong kemana-mana. Pembaca juga harus hati-hati ketika membuka buku ini karena binding bukunya rentan lepas. Dari segi isi, beberapa pengulas di Goodreads menyayangkan dangkalnya informasi yang ditawarkan buku ini. Aku bisa bersimpati dengan poin itu tentu saja. Akan tetapi, karena memang sudah memiliki ekspektasi bahwa buku ini adalah Mythology 101, keluhan ini tidak terlalu mengusikku. Kritik lain yang bisa aku amini adalah bagaimana western-centric-nya topik dalam buku ini. Aku harap aku bisa menemukan buku semacam ini yang lebih memusatkan pembahasan pada mitologi di daerah Asia atau Afrika.


Akhir kata, aku akan merekomendasikan buku ini untuk pendatang baru dalam dunia mitologi. Kalau kau mencari bacaan pengantar yang memberi uraian singkat tentang beragam mitologi yang ada di dunia & tidak keberatan mendapat bonus ilustrasi yang memanjakan mata, buku ini dapat menjadi pilihan bacaanmu.

Aku juga merekomendasikan membaca Mythology: An Illustrated Journey Into Our Imagined World sembari menyaksikan playlist Crash Course World Mythology. Berdasarkan pengalaman pribadiku, dua medium ini saling melengkapi satu sama lain & memperkaya pengalaman membaca kita.

Rating

5/5

Farah di tempat lain: Goodreads | Instagram | Twitter 

[27/07/19] Tentang Harry Potter and the Prisoner of Azkaban Karya J.K. Rowling

“I solemnly swear that I am up to no good.”

Informasi Buku

Judul: Harry Potter and the Prisoner of Azkaban
Penulis: J.K. Rowling

Penerbit: Bloomsbury Publishing
ISBN: 9781408894644
Bulan/tahun publikasi: September 2018 (pertama kali dipublikasikan Juli 1999 dalam Bahasa Inggris)
Jumlah halaman: 480 halaman

Buku: paperback milik pribadi
Bahasa: Inggris
Kategori umur: young adult
Temukan buku ini di Goodreads


Blurb

The Dark Lord will rise again with his servants aid, greater and more terrible than ever before‘ Sybill Trelawney

Harry
Potter is lucky to reach the age of thirteen, since he has survived the
murderous attacks of the feared Dark Lord on more than one occasion.
But his hopes for a quiet school term concentrating on Quidditch are
dashed when a maniacal mass-murderer escapes from Azkaban, pursued by
the soul-sucking Dementors who guard the prison. It’s assumed that
Hogwarts is the safest place for Harry to be. But is it a coincidence
that he can feel eyes watching him in the dark, and should he be taking
Professor Trelawney’s ghoulish predictions seriously?

These adult editions have been stylishly redesigned to showcase Andrew Davidson’s beautiful woodcut cover artwork. – Bloomsbury.com



Menurut Farah Tentang Buku Ini

Entri pembuka dalam rangkaian kiriman untuk Harry Potter 5-Days Review Marathon ini akan membicarakan novel
terfavoritku dari keseluruhan seri Harry
Potter,
novel ke-3; The Prisoner of  Azkaban.

There will be some
spoilers ahead, so proceed with caution
😉



Ketika mulai
membaca teks yang lebih panjang di usia awal belasan tahun, aku begitu menyukai
cerita-cerita dengan tema petualangan. Kala itu, aku selalu duduk manis di
depan jendela dari tengah hari sampai menjelang sore sembari membaca beberapa
buku Lima Sekawan sekaligus. Cerita
petualangan yang aku dicintai dulu memang tidak malu-malu dalam memberi tantangan
pelik dan (kalau dipikir-pikir) mengerikan pada karakter-karakternya. Di
sisi lain, cerita-cerita ini juga tidak lupa menyelipkan harapan dan rasa takjub
lewat konklusi cerita nan rapi dan solusi konflik yang muncul di saat yang
tepat. It’s sugar, spice, and everything
nice in those story.
Rasa takjub dan penuh harap adalah dua hal yang
membuatku jatuh hati pada cerita petualangan, dua hal ini jugalah yang begitu
jarang aku temui dalam bacaanku akhir-akhir ini.




Menyelesaikan The Prisoner of the Azkaban membawaku
bernostalgia pada masa ketika aku selesai membaca cerita tanpa dibarengi
perasaan miris atau bittersweet. Beragam
bacaanku belakangan ini memang didominasi oleh kisah dengan akhir manis. Akan
tetapi, penutup manis ini tetap saja diikuti dengan asamnya realita yang
ditawarkan cerita. Membaca The Prisoner
of Azkaban
membuatku sadar betapa aku merindukan cerita yang membuatmu
merasa puas dan optimis. Membaca The
Prisoner of the Azkaban
membuatku sadar akan kerinduanku pada kepuasan yang
mudah mampir di masa lalu. Membaca The
Prisoner of Azkaban
membuatku tersenyum lebar & sejenak merasa
bahwa everything is possibleand that’s
why I really fond of this book
.  
Petualangan
Harry dalam buku ke-3 memang dibayangi prospek mengerikan dengan segala drama
dan twist yang dibawanya. Akan
tetapi, petualangan The Golden Trio yang
dalam logika berisiko tinggi ini tetap tidak lupa membuatku merasakan harapan
cerah untuk masa yang akan datang. Kalau dipikir-pikir lagi, kisah dalam The Prisoner of  Azkaban ~semestinya~
memang melelahkan.

Dalam bagian
pembuka saja Harry sudah melalui drama tidak berkesudahan; makanan malam penuh
bencana dengan Keluarga Dursley, memutuskan secara impulsif untuk melarikan
diri tanpa tujuan jelas (sebelum akhirnya diselamatkan The Knight Bus), terancam dikeluarkan dari Hogwarts karena menggunakan
sihir di bawah umur – hanya untuk menerima kenyataan kalau dia tidak di-DO
karena butuh perlindungan ekstra dari tahanan dalam pelarian yang sedang memburu
dirinya. Belum lagi fakta bahwa Dementor
diperkenalkan dalam novel ini. What a
wild way to start your term Harry!
To be fair, kemungkinan bahwa kau diburu
tahanan berbahaya dan harus hidup dalam jarak dekat dengan banyak Dementor memang tidak terlihat menjanjikan.
Akan tetapi, ada lebih banyak hal lain yang membawa harapan dalam The Prisoner of the Azkaban; Remus Lupin
(aka The Best Defence Againsts Dark Arts
Teacher Of All Time
), mantra Patronus,
duo hewan ikonik dengan jasa besar dalam cerita; Crookshank & Buckbeak, The Firebolt!, Peta Marauder, dan tentu kemunculan tidak terduga dari Godfather Harry yang Paman Vernon kita tidak pernah
tahu ada;


‘Godfather?’ spluttered Uncle Vernon. ‘You haven’t got a godfather!’



‘Yes, I have,’ said Harry brightly. ‘He was my mum and dad’s best friend. He’s a convicted murderer, but he’s broken out of wizard prison and he’s on the run. He likes to keep in touch with me, though… keep up with my news.. check I’m happy’  





(The possibly smug expression and child like glee that Harry radiates while saying quote above is just… unbelievably funny.)





Elemen-elemen positif ini mampu menutupi prospek suram dari kisah
dalam The Prisoner of Azkaban. Ketika dipadukan dengan plot petualangan epik &
twist mengejutkan dengan penempatan
yang tepat, The Prisoner of Azkaban adalah
impian yang jadi nyata dalam hal cerita petualangan ideal versiku. And I love this novel for it.




Entah kenapa aku
juga sudah bisa menduga bahwa ini adalah puncak tertinggi yang bisa dicapai
dalam kurva kebahagian kisah Harry Potter dkk. Dari pengetahuan umum yang aku
peroleh dari versi film adaptasi, aku menduga bahwa kisah ini akan mulai
bergulir ke arah yang lebih suram dan painfully
realistic
(Hell, bahkan tone keseluruhan versi film adaptasi The Prisoner of Azkaban cenderung gelap).
Buku-buku setelah ini sepertinya tidak akan menggunakan pendekatan cerita ala sugar, spice, and everything lagi. Aku
sudah menyiapkan diri untuk menyambut cerita yang (secara umum) bahagia tapi tidak
luput dari sentuhan miris & melankoli.



The Inevitable Novel vs. Film Comparison Part

Secara
keseluruhan aku cukup puas dengan versi film The Prisoner of Azkaban (Alfonso Cuaron menyutradarai film ini bagaimanapun juga!). I remember being so shock when the main twist
(dramatically) revealed itself on the film
. Pada akhirnya, novel dan film
memang memiliki daya tarik masing-masing. Hal yang begitu aku nikmati setelah
membaca novel & menyaksikan film Harry Potter adalah bagaimana novel
menawarkan konteks yang lebih kaya tentang berbagai scene yang aku lihat dalam film. Ironisnya, meskipun menangkap vibe cerah dan positif dari kisah dalam filmnya,
The Prisoner of Azkaban ala Cuaron
memang didominasi tone gelap di sepanjang cerita. Dari sudut pandang kepuasan
visual mata, pilihan tone gelap dan mute ini
memang membuatku lebih mengapresiasi filmnya. The Prisoner of Azkaban film adaptation is somehow dark but remain
hopeful until the end
for me.




Secara
keseluruhan aku mengerti dengan berbagai “penyesuaian” yang dibuat untuk versi
film. Harus aku akui, setelah membaca bagian klimaks cerita di Shrieking Shack dalam novel aku memang berharap
film bisa berbuat lebih – it truly leaves
something to be desired
. Aku juga mengamati bagaimana karakter Snape dipotret
menjadi lebih mengundang simpati dalam film daripada dalam novel. Sampai ketika
ulasan ini ditulis, aku baru membaca 9 bab awal dalam novel The Deathly Hallows. Perasaanku terhadap
karakter Snape masih sangat jauh dari level penuh simpati. Aku penasaran bagaimana
pendapatku akan berubah setelah menamatkan The
Deathly Hallows.



Pada akhirnya, di
masa depan aku akan kembali lagi ke The
Prisoner of Azkaban
yang kisahnya seolah melambangkan puncak kebahagiaan di
masa kanak-kanak. Ada begitu banyak kepuasan dan harapan (serta kompleksitas) yang
ditawarkannya & aku tidak akan pernah bosan membaca dua hal ini dalam
beragam cerita.
I don’t know you guys. Siapa tahu ketika membaca buku ini lagi di masa depan aku akhirnya mendeteksi aspek bittersweet dan melankoli dalam cerita di buku 3 ini, bukan?

Rating



5/5






Tulisan Lain Dalam Kiriman Ini
 



1. Far’s Books
Space

Harry Potter 5 Days Review Marathon
2. Far’s
Books Space –  Tentang Ke Sarang Penyelundup (Lima Sekawan #4)
 


Daftar lengkap dari ulasan untuk seri novel Harry Potter dalam Far’s Books Space dapat dilihat dalam kiriman ini.

Farah di tempat lain: Goodreads | Instagram | Twitter




[16/07/19] Tentang The Nice and Accurate Good Omens TV Companion Karya Matt Whyman

“… Yes, some of your favorite moments will probably only be in the book, but I will give you other favorite moments, and you will have some new favorite moments that didn’t exist before…”

Informasi Buku


Judul: The Nice and Accurate Good Omens TV Companion – Your Guide to Armageddon and the series based on the bestselling novel by Terry Pratchett and Neil Gaiman

Penulis: Matt Whyman

Penerbit: William Morrow


ISBN:
9780062898357

Bulan/tahun
publikasi: Mei 2019

Jumlah
halaman: 320 halaman

Cetakan: pertama di AS
Buku:
hardback milik pribadi

Bahasa:
Inggris

Temukan
buku ini di Goodreads

Blurb

The ultimate TV companion book to Good Omens, a massive new television launch on Amazon Prime Video and the BBC for 2019.
The
ultimate TV companion book to Good Omens, a massive new television
launch on Amazon Prime Video and the BBC for 2019, written and show-run
by Neil Gaiman and adapted from the internationally beloved novel by
Terry Pratchett and Neil Gaiman.

Based on the cult classic novel
by Terry Pratchett and Neil Gaiman, Good Omens is one of the most hotly
anticipated TV shows of 2019. Reinvented for television with scripts by
Neil himself, and featuring a stellar cast including David Tennant,
Michael Sheen, Jon Hamm, Jack Whitehall and Miranda Richardson, to name
but a few, this major TV show will be shown first on Amazon Prime Video
and then on the BBC later in the year.

Keep calm, because The
Nice and Accurate Good Omens TV Companion is your ultimate guide to the
upcoming apocalypse, which is scheduled to happen on a Saturday, just
after tea. The series sees an angel (Sheen) and a demon (Tennant) team
up in order to try and sabotage the end of the world…

Featuring
incredible photographs, stunning location shots, costume boards, set
designs and fascinating character profiles and in-depth interviews with
the stars and crew, this behind-the-scenes look into the making of Good
Omens is an absolute must for fans old and new – and will shatter coffee
tables around the world. – Goodreads

Menurut Farah Tentang Buku Ini

Ah, Good Omens... Kalau kau membaca kiriman sebelum ini, kau akan mengenal Good Omens sebagai serial TV adaptasi tahun 2019 yang perlahan mulai mencerahkan kembali mood-ku yang sempat suram. Beberapa orang yang membaca ini mungkin saja sudah mengenal Good Omens jauh sebelum itu. Sebagai novel kolaborasi karya Terry Prachett & Neil Gaiman, Good Omens sudah rilis di pasaran sejak tahun 1990. Yep, a novel that is older than me!
Untuk sebagian besar penggemar, Good Omens itu ibarat “cinta lama yang bersemi kembali”. Novel ini adalah bacaan berkesan dari masa kecil mereka yang membawa kenangan penuh nostalgia. Berbeda sekali denganku yang masih anak bawang karena baru mulai mencintai novel ini lewat serial TV 6 jam-nya. Karena alasan ini pula, sampai sekarang aku belum membaca novel sumber adaptasi serial TV 6 episode ini. Aku sempat membaca beberapa bab awal dari Good Omens lewat Bookmate (the novel is glorious!) sebelum akhirnya memutuskan untuk langsung membeli buku fisiknya karena ingin mendapatkan pengalaman membaca yang lebih “autentik” (baca:greget).

Cinta pertamaku di fandom Good Omens sendiri adalah serial TV adaptasinya, tidak mengherankan bukan kalau aku akhirnya membaca buku yang berhubungan dengan serial TV bersangkutan? The Nice and Accurate Good Omens TV Companion & The Quite Nice and Fairly Accurate Good Omens Script Book merupakan 2 buku tie-in yang rilis bersamaan sebagai pelengkap dari serial TV Good Omens. Meskipun sudah sering melihat berbagai buku tie-in dirilis (aku sempat ngiler dengan buku original screenplay Fantastic Beast), ini adalah pengalaman pertamaku benar-benar membaca buku pelengkap semacam ini.
Dalam ulasan ini, aku akan berbagi pengalamanku membaca buku The Nice and Accurate Good Omens TV Companion untuk pertama kalinya. Keyakinanku untuk memiliki buku bersangkutan muncul setelah membaca ulasan dari situs Thoroughly Modern Reviewer ini. Aku harap pengalaman pertamaku dengan buku TV companion tidak mengecewakan. And boy… This gigantic book really delivered.
Dalam Good Omens TV Companion, kita akan disuguhkan detail mengenai sejarah panjang adaptasi novel Good Omens yang sempat dinilai unadaptable untuk layar kaca. Tidak tanggung-tanggung, proses adaptasi novel ini memang menghabiskan waktu hampir 3 dekade lamanya. Tidak hanya itu saja, buku yang disusun mengikuti format berdasarkan episode dari serial TV-nya ini juga memuat berbagai wawancara dengan aktor, aktris, serta kru yang terlibat dalam proses produksi. Ada banyak cerita dan trivia tentang proses yang berlangsung di balik layar sebelum produksi ini layak ditonton. Tidak melulu dipenuhi tulisan, buku ini juga dilengkapi banyak gambar behind-the-scenes yang memanjakan mata.

David Tennant memerankan Demon Crowley dengan menyakinkan. (dokumentasi pribadi)
Kalau bicara dari sudut pandang seorang penggemar berat, Good Omens TV Companion memang memuaskan dahagaku yang tidak pernah habis untuk berbagai hal baru yang berkaitan dengan Good Omens. Aku rasa buku ini bahkan bisa memuaskan even the biggest fans of Good Omens karena berbagai detail dan cerita menarik terkait produksi yang dikupas di dalamnya akan sulit untuk ditemukan di sumber lain. Wawancara dengan berbagai aktor/aktris yang terlibat merupakan salah satu bagian favoritku dari buku ini. Pendekatan yang setiap aktor/aktris ini gunakan dalam memainkan karakter mereka terkadang begitu berbeda & membaca proses kreatif semacam ini cukup insightful.

Wawancara yang paling berkesan bagiku adalah wawancara bersama Jon Hamm yang memerankan Gabriel. Wawancara ini begitu memorable karena aku memiliki setimen yang sama dengan Hamm terkait dengan bagaimana kisah Good Omens dapat dijadikan sebagai analogi untuk menggambarkan kondisi yang marak kita amati terjadi akhir-akhir ini;
“We
live in a time in which everyone is so convinced that their side is
right. But the more you look at it, the more you realized that both
sides are ridiculous in their certainty and that the truth lies in the
middle.” – Jon Hamm (Gabriel)
Hamm boleh jadi mengatakan ini dalam konteks polarisasi politik di Amerika Serikat. Akan tetapi, entah kenapa kutipan di atas juga sepertinya cocok ketika diaplikasikan untuk keadaan di Indonesia tercinta ini selama beberapa bulan terakhir *menghela nafas panjang*. Salah satu hal yang membuatku jatuh hati dengan Good Omens adalah bagaimana kisah duo Aziraphale/Crowley menggambarkan betapa banyaknya hal yang abu-abu di muka bumi ini. Seperti yang tidak bosan-bosannya aku paparkan dalam ulasanku terdahulu, aku percaya bahwa ada jalan tengah yang bisa kita tapaki dalam berbagai hal. Again, tidak ada yang murni “baik” atau murni “jahat”.
Kita adalah kombinasi berbagai hal, all things in between. Sayang sekali, dari yang aku amati akhir-akhir ini sepertinya sebagian besar orang sudah kehilangan “chill” mereka masing-masing. Jadi ya, aku setuju dengan Hamm bahwa “… the truth lies in the middle.” dan aku berharap sebagian besar orang secepatnya dapat mengadopsi pendekatan ini demi kehidupan yang lebih damai.
Sebagai seorang penggemar berat, aku juga puas dengan desain fisik Good Omens TV Companion yang terbilang kokoh. Meskipun terbilang besar dari segi dimensi dan lumayan berat (1,4 kg!), aku tidak terlalu keberatan (no pun intended) karena sampul hardcover dan kertas majalah glossy yang mengisi 320 halaman dalam buku ini membuatnya lebih nyaman dan “hidup” ketika dibaca. It’s heavy yes but it’s worth it! Penggunaan kertas glossy membuat warna dari berbagai gambar yang ramai menghiasi buku ini lebih cemerlang. My eyes are truly bless
Dedikasi setiap kru bahkan sampai ke detail terkecil pun benar-benar mengagumkan. (dokumentasi pribadi)
Kalau bicara dari sudut pandang seorang pembaca first-timer buku TV Companion, Good Omens TV Companion set the bar really high for me. Aku benar-benar puas dengan buku ini. Aku memang akan berpikir dua kali sebelum membeli buku semacam ini lagi di masa depan (which is unlikely to be happen in all honesty) karena harganya yang lumayan menguras kantong. Kalau pun akhirnya memutuskan untuk membeli, aku pasti akan kembali pada Good Omens TV Companion sebagai standar pembanding. As a fan who want to know more about Good Omens production, this book really worth the money for me.
Sebagai pembaca first-timer, buku ini juga menjadi sumber informasi yang sangat kaya. Aku bisa dibilang “buta” perihal proses macam apa yang berlangsung dibalik produksi berbagai serial TV yang diadaptasi dari novel.  Good Omens TV Companion sedikit banyaknya memberi gambaran besar untuk-ku sebagai pembaca awam tentang rumitnya proses produksi serial TV. Dari hal-hal besar seperti proses pemilihan tempat untuk syuting/desain kostum sampai hal kecil dan detail seperti alasan dibalik pemilihan prop khusus untuk set tertentu. Aku tidak pernah sadar produksi TV atau film bisa serumit ini. Aku juga baru sadar betapa ambisiusnya proses meng-adaptasi Good Omens yang merupakan proyek skala besar. Ketika menyaksikan versi sudah jadinya di layar kaca, aku tidak benar-benar tahu usaha macam apa yang berlangsung dibalik layar untuk scene yang (terkesan) hanya berlangsung sebentar dan terlihat bagus tanpa terlalu mencoba.

Membaca Good Omens TV Companion juga membuatku menyadari beberapa alasan dibalik kenapa aku begitu menyukai serial TV ini. Mulai dari pendekatan Neil Gaiman yang terlibat langsung dalam produksi, mindset bahwa proyek ini dibuat untuk menghormati Terry Pratchett yang sudah berpulang, sampai dedikasi setiap kru terhadap detail terkecil sekalipun. Serial TV ini dibuat dengan penuh cinta dan penghormatan. Sebagai seorang penonton, aku bisa merasakan itu dalam setiap scene di ke-6 episodenya. Aku juga merasa berterima kasih karena dedikasi orang-orang ini menghasilkan serial TV penuh cinta yang menawarkan ketenangan untukku di tengah ruwetnya kehidupan sehari-hari.

Akhir kata, Good Omens TV Companion adalah bacaan yang cocok untuk orang-orang yang sudah menyaksikan serial TV Good Omens di luar sana dan berbahagia karenanya. Kalau kau adalah penggemar serial TV ini, buku 320 halaman ini juga bisa menambah kesenangan di hatimu.

Rating

5/5

Tulisan Lain Dalam Kiriman Ini/Bacaan Lanjutan

1. Wikipedia – Good Omens (TV Series) 
2. Far’s Books Space –  Mei-Juni 2019: The Struggle is Real
3. Wikipedia – Tie-in
Farah di tempat lain: Goodreads | Instagram | Twitter