Who says you can’t run away from your problems? You are a failed novelist about to turn fifty. A wedding invitation arrives in the mail: your boyfriend of the past nine years is engaged to someone else. You can’t say yes–it would be too awkward–and you can’t say no–it would look like defeat. On your desk are a series of invitations to half-baked literary events around the world.
QUESTION: How do you arrange to skip town? ANSWER: You accept them all.
What would possibly go wrong? Arthur Less will almost fall in love in Paris, almost fall to his death in Berlin, barely escape to a Moroccan ski chalet from a Saharan sandstorm, accidentally book himself as the (only) writer-in-residence at a Christian Retreat Center in Southern India, and encounter, on a desert island in the Arabian Sea, the last person on Earth he wants to face. Somewhere in there: he will turn fifty. Through it all, there is his first love. And there is his last.
Because, despite all these mishaps, missteps, misunderstandings and mistakes, Less is, above all, a love story.
Menurut Farah Tentang Buku Ini
Semua dimulai dari sampul Less. Aku rasa aku sedang dalam mood untuk membeli buku secara “buta” waktu itu. Aku tidak mencari tahu apa-apa tentang buku ini. Tidak genre. Tidak sinopsis cerita. Apalagi ulasan buku. Aku bahkan belum tahu buku inilah yang diganjar penghargaan Pulitzer untuk Fiksi pada 2018. Aku hanya melihat sampulnya, jatuh hati, dan tanpa ragu langsung beli. Keputusan yang cukup berani mengingat bagaimana harga Less masih terbilang tinggi waktu itu (lucunya, saat menulis ini Less sedang diskon di toko buku langgananku 👀). Kalau kurang beruntung dan tidak suka dengan apa yang novel initawarkan tentu aku hanya bisa gigit jari.
Jujur saja aku sempat khawatir inilah yang akan terjadi ketika membaca seperempat awal novel ini. Less menuturkan kisah Arthur Less, seorang penulis pria paruh baya di tengah masa sulit dalam ranah personal/profesional yang melakukan perjalanan 80 hari ke berbagai tempat di dunia. Sekilas premis ini terdengar familiar dan biasa saja. Nothing newreally. Ini adalah premis yang entah bagaimana aku asumsikan merupakan resep menuju critical acclaim; tulisan serius (yang di dalam-dalamkan padahal trivial) tentang seorang pria yang mencari jati diri/makna hidup lewat kunjungannya ke berbagai tempat baru/tidak biasa. Ketika mendengar istilah literary fiction, jenis tulisan yang aku bayangkan adalah tulisan introspektif & suram. Biasanya bukan bacaan menyenangkan yang mengundang senyum. Aku bersyukur karena Less tidak mengikuti jalur ini.
Setelah membaca beragam wawancara Andrew Sean Greerterkait novel Less di internet, tidak mengherankan mungkin kalau pada awalnya memang jalur inilah yang ingin ditempuh Greer;
ASG’s decided to make it comedy! (Adrienne Westenfeld – Esquire)
An important realization (Elizabeth Flock – PBS)
Saking meta-nya, Geer bahkan membuat penulis protagonis cerita kita, Arthur Less, menulis novel semacam ini untuk buku keduanya (yang gagal). Sebelum akhirnya disadarkan tokoh lain bahwa buku jenis ini terlampau pretentious dan tidak akan menyenangkan untuk dibaca. Ulasan dari The Guardian ini bahkan di buka dengan momen meta yang aku bicarakan di atas;
Saking meta-nya aku pun pusing sendiri (Patrick Gale – The Guardian)
Ketika menamatkan novel ini untuk pertama kali, aku kesulitan untuk menjelaskan alasan dibalik kecintaanku padanya. Fakta bahwa Less “menyimpang” dari jalur yang biasanya diambil penulis literary fiction pemenang perhargaan bisa jadi adalah salah satu alasannya. Kesadaran bahwa buku ini mengambil premis lama yang dibungkus dalam bentuk baru yang lebih menyenangkan datang setelah aku membaca novel fiksi romantis lain (yang protagonisnya juga adalah penulis di tengah kesulitan personal dan finansial).
“You never told me what you write, Everett. I’m sure it’s something really groundbreaking and important. Totally new and fresh. Like a story about a disillusioned white guy, wandering the world, misunderstood and coldly horny.”
Kutipan tersebut diucapkan oleh January Andrews, salah satu protagonis dalam novel Beach Read karya Emily Henry yang baru rilis pertengahan Mei 2020. Ketika membaca ini, aku entah mengapa merasa ter-called out karena sangat familiar dengan genre bacaan semacam ini. Beberapa minggu lalu, aku juga mengenal sepupu lebih sinister dari “genre” ini, terima kasih pada cuitan seseorang di Twitter;
Porny gay novel/memoir about an American who goes to a foreign country and screws around with a native then ditches him to go back to the US: a genre
Novel yang langsung muncul di kepala karena cuitan ini adalah novel What Belongs to You-nyaGarth Greenwell. Aku gagal paham dengan apa yang sebenarnya ingin novel ini kisahkan. There’s no point in this story I feel. Gaya penulisannya juga membuat sakit kepala alih-alih indah. Secara superfisial, novel ini berbagi kesamaan dengan Less; mengisahkan tentang perjalanan seorang pria kulit putih yang melarikan diri dari kenyataan dengan melakukan perjalanan ke negeri asing.
Less berhasil menurutku karena ditulis dengan self-aware. Alih-alih membuat Less menjadi the-next-deep-and-oh-so-serious-fiction, penulis memutuskan untuk bersenang-senang dan memasukan humor & kebahagiaan sebanyak yang dia bisa dalam cerita. Protagonis kita mengalami kesulitan bertubi-tubi sepanjang cerita, sampai akhirnya dia belajar dari kesalahan serta ketidaktahuannya untuk akhirnya mencicipi kebahagiaan di akhir. The author truly making fun of his protagonist in this one, it’s fun to read until the end. Dalam wawancaranya dengan Esquire, Geer membeberkan ini;
Pada akhirnya, yang membuatku begitu menikmati Less adalah kisah romantis & outlook positif yang kadang diikuti momen bittersweet dalam ceritanya. Aku tidak menyangka kisah romantis bisa begitu memuaskan & se-nyastra kisah yang satu ini. Arthur Less bukanlah seorang saint tanpa dosa (meskipun ada sesuatu yang “naif” tentang karakternya). Di masa lalu dia melakukan banyak tindakan questionable. Hanya saja, setelah melihat bagaimana Arthur sampai pada kesadaran diri baru di akhir perjalanannya, sebagai pembaca aku ikut bersorak untuknya.
This is exactly me at the end of Less (Adrienne Westenfeld – Esquire)
Less boleh saja menjadi bacaan berhasil untukku. Namun ternyata beberapa pembaca di Goodreads malah merasakan sebaliknya.
Kalau kamu ingin membaca literary fiction pemenang Pulitzer, tapi tidak mood dengan bacaan serius & suram… Aku harap kamu memberi buku ini kesempatan.